Pedagang Kopi dan Eks Tukang Ojek Mengadu Nasib Menjadi Wakil Rakyat
- bbc
"Nanti Bapak tolong pilih Eha Soleha ya, Pak. Ini kartu nama saya, Eha Soleha, caleg PPP nomor 6," ujar Eha sambil menyerahkan brosur kampanyenya.
Bagi Roni yang sehari-hari berdagang di pasar, kehadiran Eha sebagai caleg yang memiliki latar belakang serupa dengannya membawa harapan.
"Bu Eha kalau mau nyalon bagus sekali ya," ujarnya.
Meski hanya mengenal Eha sebagai pedagang kopi keliling, ia berharap Eha bisa membantu para pedagang kecil.
"Keluhan pembeli itu biasanya pada harga. Pengennya dimurahin lah harga semuanya bahan-bahan jualan kita," harap Roni kepada Eha.
Harapan yang sama dilontarkan Jariyah, pedagang sayur lainnya yang terkejut saat tahu Eha nyaleg .
"Ya Tuhan, betul nyaleg ? Nong nyaleg ?" ujarnya sembari memeluk Eha.
Jariyah tidak bisa mencoblos nama Eha di surat suara karena berbeda dapil. Namun ia senang ada pedagang kecil yang terjun dalam pileg.
"Ibu kan nggak bisa sukses, cuma kayak gini, cuma pedagang. Susah Ibu ini, kan cuma orang kecil," tuturnya dalam bahasa Jawa Banten. "Iya lah didukung aja, orang kecil sama kayak saya. "
Untuk memenuhi kuota 30% caleg perempuan
Berstatus pedagang kopi keliling, pendidikan yang dikenyam Eha tidak sembarangan.
Ia menuntaskan seluruh jenjang pendidikan dasar dan menengah, lantas melanjutkan studinya ke bangku perkuliahan dan menyelesaikan pendidikan D3 Bahasa Inggris di sebuah akademi bahasa asing pada 1999 di Jakarta Barat.
"Saya waktu itu cita-citanya pengen jadi guru agama, Pak. (Tapi) saya waktu itu nggak lulus di kuliah perguruan tinggi itu," tutur Eha di kontrakannya seusai berjualan kopi.
Selepas menyelesaikan gelar diplomanya, Eha bekerja sebagai guru honorer dari satu sekolah ke sekolah lain. Dengan status tersebut, setiap bulan Eha digaji Rp50 ribu.
"(Dulu) ngajar tiap hari, Pak," ungkapnya. "Saya memeriksa kelas-kelas, piket, nyapu , buang sampah, dan kalau ada guru PNS yang tidak datang, saya menggantikan."
Belakangan, Eha harus menanggung hidup tiga anggota keluarganya yang lain: sang ibu, anak perempuan tunggalnya, dan seorang adik laki-laki.
Sejak berpisah dari suaminya, penghasilan Eha sebagai guru honorer tak bisa menutupi biaya hidup sehari-hari.
Akhirnya, ia memutuskan untuk berhenti mengajar dan memilih menjadi pedagang kopi keliling tahun 2014 silam.
Setiap hari ia menjajakan kopi kepada para pedagang dan pengunjung Pasar Kranggot dari pukul satu dini hari hingga pukul delapan pagi. Penghasilannya dari berdagang kopi berkali lipat lebih besar dibandingkan penghasilannya sebagai guru honorer.
"Karena saya senang dagang, jadi setiap hari saya dapat uang itu, gampangnya mah , kadang angkanya Rp50 ribu (per hari), atau 40 atau 30," katanya.
Dari pekerjaan itu juga lah Eha akhirnya bertemu dengan Ahmad Hamdi, Panitia Anak Cabang PPP Kecamatan Cibeber, Kota Cilegon. Hamdi adalah pelanggan kopi Eha yang pada tahun lalu menawarinya untuk maju sebagai caleg dari PPP.
"Awalnya kita kesulitan mencari caleg perempuan untuk memenuhi kuota 30% suara perempuan. Kita musyawarah di kantor DPC untuk merekrut caleg-caleg perempuan, karena kader-kader kita kan banyak yang sudah nggak mau jadi kader lagi," jelas Hamdi saat ditemui BBC di kesempatan berbeda.