Pedagang Kopi dan Eks Tukang Ojek Mengadu Nasib Menjadi Wakil Rakyat
- bbc
Seperti tahun 2014 lalu, panggung pemilu legislatif tahun ini kembali diramaikan sejumlah kandidat dari masyarakat ekonomi kurang mampu. Tanpa modal uang yang besar, para caleg ini menebar harapan kepada mereka yang senasib sepenanggungan.
Awi, panggilan akrab Abdul Wahid Ibrahim, kembali mencalonkan diri sebagai anggota DPRD Kota Manado. Lima tahun lalu, kandidat petahana itu mengaku banyak yang meragukannya mengingat profesi sehari-harinya adalah tukang ojek pangkalan.
"Paradigma (cara) mereka berpikir itu bahwa tidak mungkin, impossible , kalau tukang ojek itu bisa jadi anggota DPR(D)," tutur Awi, dengan dialek Manadonya, mengingat kembali perjuangannya dulu.
Awi berhenti ngojek sejak terpilih menjadi anggota DPRD Kota Manado dalam Pileg 2014 melalui Partai Amanat Nasional. Kala itu, ia memperoleh 1.119 suara yang cukup mengantarkannya duduk di kursi anggota dewan.
"Dari pemetaan politik, target saya (tahun ini) 3.000 (suara)," ujarnya kepada Rivan Dwiastono, wartawan BBC Indonesia, usai bertatap muka dengan konstituennya di Bunaken Kepulauan, Sulawesi Utara, 22 Maret lalu.
Sementara itu, 3.400 kilometer barat daya Manado, tepatnya di kota Cilegon, Banten, Eha Soleha tengah menapaki jalan yang sama seperti yang dijejak Awi tahun 2014 lalu. Eha mantap menjadi caleg di tengah kesehariannya berjualan kopi keliling di pasar.
"Saya jadi caleg awalnya ditawari sama pelanggan tetap kopi saya," ungkap Eha di petak kontrakannya di desa Sukmajaya, Cilegon, 18 Maret silam.
Sang pelanggan merupakan anggota Partai Persatuan Pembangunan yang bertugas mencari kandidat caleg. Eha mengaku, pelanggannya tersebut tengah mencari sosok caleg perempuan.
"Dia itu sedang mencari caleg karena untuk memenuhi kuota, bahwa perempuan harus ada 30% di dewan," katanya.
Eha awalnya tak paham apa tugas seorang anggota dewan. Perlahan, ia mempelajari tugas dan tanggung jawab yang mesti diembannya jika terpilih nanti.
"Di DPR(D) itu kerjanya nanti rapat, membuat undang-undang, membuat anggaran, persetujuan anggaran, gitu. Jadi saya nih lagi belajar politik, lagi belajar tentang dewan," bebernya polos dan lantang.
Menjajakan kopi sambil `menjual diri`
Eha merapikan keranjang berisi dagangannya di salah satu sudut halaman Pasar Kranggot, Cilegon, Banten. Rentengan kopi sachet berbagai merek, setumpuk gelas plastik, dan sebundel kertas fotokopi bergambar wajahnya ia susun rapi di dalam keranjang itu.
"Yang asli habis, Pak, makanya difotokopi," jelas Eha sambil memperlihatkan kertas selebaran itu kepada BBC.
`Coblos Eha Soleha, caleg DPRD Kota Cilegon, nomor urut 6` terbaca dari tulisan tangan yang ia bubuhkan di bawah foto dirinya saat diwawancarai presenter kondang Najwa Shihab awal Maret lalu.
Jam masih menunjukkan pukul dua pagi. Meski gelap, aktivitas pasar sudah mulai ramai. Saatnya Eha menjajakan kopi.
Langkahnya cekatan, dengan keranjang di tangan kanan, serta termos air panas di tangan kiri. "Pak haji, ngopi?" sapa Eha kepada salah seorang pedagang sayur.
Tak semua orang yang ditawarinya membeli kopi. Titel caleg dan kertas selebaran kampanye baru akan ia sampaikan ketika ada pembeli.
"Bapak rumahnya di mana, Pak?" tanya Eha kepada seorang pedagang sayur lain yang meminta dibuatkan kopi. Pertanyaan itu agar tahu apakah orang tersebut berasal dari daerah pemilihannya atau tidak.
"Kramat," jawab pedagang itu singkat, sibuk menyusun barang dagangannya. Tidak masuk dapil , pikir Eha.
Ia lantas menjalankan rencana cadangan: mengajak si pedagang mencoblos partainya saja. "Pak, saya caleg PPP. Nanti (pemilu) milih PPP ya, Pak," balas Eha sambil tersenyum, disambut diam si pedagang.
Hal itu berulang kali ia lakukan saat menemui pembeli yang tidak berasal dari daerah pemilihannya. Hal berbeda dilakoni jika sang pembeli merupakan konstituennya, seperti kepada Roni, pemilik sebuah kios bumbu dapur.