Logo BBC

Jumlah Caleg Perempuan Bertambah, tapi Mengapa Kuota Belum Tercapai?

Warga mengikuti kampanye dialogis calon anggota legislatif (celeg) dari salah satu dari empat partai lokal (Parlok) Aceh di Desa Ilie Ulee Kareng, Banda Aceh, Aceh, Sabtu (23/2/2019). - ANTARA FOTO/Irwansyah Putra
Warga mengikuti kampanye dialogis calon anggota legislatif (celeg) dari salah satu dari empat partai lokal (Parlok) Aceh di Desa Ilie Ulee Kareng, Banda Aceh, Aceh, Sabtu (23/2/2019). - ANTARA FOTO/Irwansyah Putra
Sumber :
  • bbc

"Dalam hal pendanaan politik ada keterbatasan akses yang dimiliki caleg perempuan. Biaya ini bukan cuma operasional kampanye, tapi ongkos politik misalnya ada pencalonan di partai terkait penentuan nomor urut yang harus dibayar," jelas Hurriyah kepada BBC News Indonesia.

"Tantangan lain, calo-calo di berbagai daerah yang biasanya memanfaatkan ketidaktahuan caleg perempuan dengan menawarkan sejumlah suara tapi harus bayar," sambungnya.

Berdasarkan penelitian Puskapol UI, profil caleg perempuan masih didominasi hubungan kekeluargaan, selebriti, dan pengusaha. Kelompok itu disebut paling banyak terpilih karena memiliki dana besar dan populer. Sedangkan dari pegiat kemanusiaan atau kader partai, masih minim.

"Kalau ingin ideal dari segi kualitasnya, caleg harusnya dihasilkan dari kaderisasi partai. Sementara profil caleg dari orang dekat, kerabat itu agak sulit mengharapkan kualitas. Apalagi tidak semua parpol serius menyiapkan caleg-calegnya agar mampu berkontestasi," ungkapnya.

Bagaimanapun harapan agar kuota 30% perwakilan perempuan di parlemen, harus tercapai. Sebab mereka cenderung satu suara dan meninggalkan ego partai ketika berhadapan dengan persoalan-persoalan yang menyangkut anak dan perempuan.

"Misalnya isu bahan pokok, gizi buruk, kesehatan anak, itu sekat-sekat partai hilang. Berbeda dengan laki-laki, nggak bisa. Mereka nggak punya sikap yang sama terhadap suatu isu. Ego partainya selalu muncul, itu politik ala laki-laki."