Mbak Tutut Ungkap Cerita di Balik Lengsernya Soeharto
- Istimewa
VIVA – Putri sulung Presiden Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana yang akrab dipanggil Mbak Tutut ikut menyoroti perkembangan Pemilu 2019 yang semakin panas. Dia berharap semua warga harus menghargai perbedaan.
“Indonesia yang kita inginkan adalah bangsa yang bersatu dan tidak saling cakar. Kita ingin mengembalikan Indonesia yang makmur, menjadi bangsa yang rukun, gotong royong, dan saling bantu berjuang meski ada perbedaan,” ucap Tutut dalam keterangan persnya, Jumat 22 Maret 2019.
Dia menjelaskan pula, dalam ajaran agama Islam menyebut jika perbedaan adalah rahmat. Dengan demikian, dia berharap tidak perlu saling menjelek-jelekkan.
“Apa yang bisa kita lakukan, lakukanlah. Mulailah dari yang kecil,” ujar Tutut.
Tutut mengatakan, memulai dari yang kecil untuk membangun bangsa adalah anjuran Ibu Tien Soeharto, ibunda tercinta.
“Ibu Tien mengatakan, perbuatan kecil tapi menjadi bagian pembangunan bangsa itu lebih utama, daripada membangun sesuatu yang besar tapi menimbulkan masalah,” kata Tutut.
Kepada kader Partai Berkarya, partai yang dinakhodai Tommy Soeharto, Mbak Tutut juga berpesan untuk tidak menyusahkan bangsa. Setiap kader Partai Berkarya harus menunjukkan program yang dimiliki untuk membantu negeri.
Dia tidak hanya mengingat pesan Ibu Tien, tapi masih belum lupa nasihat almarhum Presiden ke-2 Soeharto, sang ayah tercinta. Salah satunya, berikan apa pun untuk bangsa, meski mungkin hanya sebungkus nasi atau uang Rp10 ribu.
“Jika tidak ada sama sekali untuk diberikan, berilah senyum. Makanya, bapak selalu tersenyum, dan dikenang dengan julukan smiling general,” ujar dia.
Nasihat lain Soeharto kepada anak-anaknya, kata Tutut, adalah tidak boleh dendam. Sebab, dendam tidak menyelesaikan masalah, tapi membuat masalah baru.
Tutut juga bercerita jelang Soeharto mengambil keputusan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia. Cerita dimulai ketika dia memanggil seluruh anaknya, dan menyampaikan keinginan mengundurkan diri.
“Bagaimana menurut kalian? Masyarakat sudah ramai meminta bapak berhenti. Saya jawab, apa pun keputusan bapak kami tetap mendukung bapak berhenti karena sudah tidak dikehendaki rakyat,” lanjut Tutut.
Yang juga tidak bisa dilupakan Tutut adalah ketika Soeharto memintanya mencarikan buku UUD 1945. Saat itu, masih menurut Tutut, Soeharto mengatakan, “Bapak mau berhenti jadi presiden tapi saya mau memakai kata yang sesuai UUD 45. Bapak tidak mau mengatakan mengundurkan diri, tapi berhenti dari presiden”.
“Saya katakan kepada bapak, kan berhenti dan mengundurkan diri sama. Bapak mengatakan, tidak. Mengundurkan diri artinya sebagai mandataris rakyat, bapak mundur karena tidak mampu melaksanakan tugas. Berhenti artinya bapak, sebagai mandataris rakyat, disuruh berhenti karena tidak dipercaya lagi. Bukan karena kemauan bapak, tapi karena kehendak masyarakat,” kata Tutut menirukan pernyataan ayahnya.
Menurut Tutut, ayahnya tidak pernah melanggar undang-undang. “Malam hari, bapak memanggil kami berenam dan menyampaikan keputusan berhenti, adik saya mengatakan jangan dulu berhenti, beri kami kesempatan membuktikan bahwa sebagian besar rakyat Indonesia mencintai bapak,” kata Tutut.
Respons Soeharto saat itu, lanjut Tutut, adalah sabar. Kalian tidak boleh dendam. Dendam tidak menyelesaikan masalah, tapi membuat masalah lebih besar. “Tidak hanya sekali Pak Harto mengingatkan anak-anaknya untuk tidak dendam, tapi setiap hari,” ujarnya.
Tidak jarang pula ayahnya menambah nasihatnya dengan, “Gusti Allah ora sare (tidak tidur). Suatu saat rakyat akan tahu mana yang salah dan benar”. Menurut Tutut, dari hari ke hari nasihat itu menyadarkan dia dan adik-adiknya bahwa keputusan ayahnya mengundurkan diri adalah yang terbaik untuknya dan keluarga.
“Setelah belajar Alquran, saya akhirnya tahu semua nasihat bapak adalah ajaran Allah SWT. Pak Harto selalu bersandar kepada Allah SWT,” kata dia.