Lembaga Survei Gugat Aturan Hitung Cepat di UU Pemilu
- VIVA/Fajar Ginanjar Mukti
VIVA – Lembaga-lembaga survei yang tergabung dalam Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROPI), menggugat ketentuan hitung cepat (quick count) Pilpres 2019 yang diatur dalam UU No 7/2017 Tentang Pemilu.
Menurut kuasa hukum AROPI, Veri Junaidi, gugatan yang dilayangkan ke Mahkamah Konstitusi dilakukan terhadap tiga pasal dalam dasar hukum pemilu itu.
"Kami mengajukan permohonan ke MK terkait beberapa ketentuan pasal dalam undang-undang pemilu," ujar Veri di Gedung MK Jakarta Pusat, Jumat 15 Maret 2019.
Adapun ketiga pasal itu adalah Pasal 449, 509, dan 540. Veri menyampaikan, AROPI menggugat ayat (2) dan (5) Pasal 449 yang melarang pengumuman hasil survei saat masa tenang, serta ketentuan untuk hanya mengumumkan hasil hitung cepat dua jam setelah TPS di Indonesia barat ditutup.
Ketentuan serupa sempat muncul di undang-undang yang menjadi dasar hukum pemilu-pemilu yang lalu, dan telah dibatalkan pula oleh MK penerapannya.
"Beberapa ketentuan pasal ini, sudah dibatalkan oleh MK dua kali, pada 2009 dan 2012. Ketentuan sebelumnya ada di Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012, dan Nomor 10 Tahun 2008. Keduanya pernah dibatalkan MK," ujar Veri.
Sementara, pasal 509 dan 540 UU No 7/2017 mengatur sanksi pidana atas pelanggaran. Veri menegaskan, lembaga-lembaga survei yang tergabung dalam AROPI bermaksud memenuhi hak publik untuk bisa mengetahui proyeksi hasil pemilu secara cepat melalui metodologi keilmuan mereka.
"Ini menyangkut soal hak publik untuk mendapat informasi secara cepat. Kita tahu bahwa pemilu ini kan proses rekapnya akan panjang. Oleh karena itu dibutuhkan transparansi, akuntabilitas, dan percepatan informasi, sehingga hasil hitung cepat bisa menjadi pembanding informasi bagi publik," ujar Veri. (ren)