Surya Paloh Anggap Wajar Prabowo Sebut Pemerintahan Jokowi Salah Arah
- VIVA/Nur Faishal
VIVA – Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh, menganggap wajar kritik calon presiden Prabowo Subianto beberapa waktu lalu bahwa arah kebijakan pemerintah sejak Orde Baru hingga era Joko Widodo salah arah. Menurut Paloh, sebagai oposisi Prabowo wajar menyampaikan perbedaan pendapat lebih-lebih di negara demokrasi seperti Indonesia.
“Pak Prabowo dalam posisi sebagai oposisi, yang menantang, men-challenge, wajar dong kalau beliau berbicara tidak seirama dengan (pihak) yang sedang mempertahankan, dalam hal ini Pak Jokowi,” kata Paloh usai konsolidasi dengan kader di kantor Badan Pemenangan Pemilu Nasdem Jatim di Surabaya pada Sabtu malam, 9 Februari 2019.
Menurut Paloh, di masa pesta demokrasi seperti sekarang, tidak mungkin semua berpikiran sama. “Pasti ada pro-kontra di sana, ada katakanlah saling kritik, saya melihat itu sebagai hal yang lumrah,” ujarnya.
Hal yang pasti, Paloh menegaskan bahwa Nasdem menyokong penuh pemenangan Jokowi-Ma’ruf Amin pada Pilpres kali ini. Dia menargetkan partainya menyumbang 70 persen untuk kemenangan petahana. Kemenangan Pilpres, kata dia, juga ditargetkan berseiring dengan perolehan kursi di pemilu legislatif.
Prabowo sebelumnya menyampaikan kritik terhadap pemerintah saat menghadiri HUT Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia atau KSPI di Sport Mall Kelapa Gading, Jakarta, pada Rabu, 6 Februari 2019. “Dari awal, dari sekian belas tahun, sekian puluh tahun, dari saya masih di dalam Orde Baru saya sudah melihat arah perkembangan, arah pembangunan Indonesia, sebenarnya arahnya menuju arah yang keliru,” katanya.
Banyak sektor diurai Prabowo dalam kritiknya itu, di antaranya soal kebijakan ekonomi. Dia menyebut kebocoran anggaran negara saat ini sebesar 25 persen. “Saya hitung kebocoran dari anggaran rata-rata taksiran saya, mungkin lebih sebetulnya taksiran saya adalah 25 persen anggaran itu bocor. Bocornya macam-macam," ujar pimpinan tertinggi Partai Gerindra itu.
Prabowo menduga, kebocoran anggaran terjadi karena ada penggelembungan harga proyek dari yang seharusnya. Misalnya harga proyek 100 lalu di-mark up menjadi 150. “Itu namanya apa, penggelembungan, namanya mark up. Bayangkan jembatan harganya 100 ditulis 150-230. Ini terjadi terus-menerus. Saudara-saudara kita harus jujur dan objektif. Masalah ini sudah berjalan lama. Tapi ini harus kita hentikan, harus kita kurangi," katanya.