Caleg Mantan Koruptor: Perlu Ditempel di TPS dan Diumumkan Meluas
- bbc
Pengumuman 49 caleg mantan koruptor oleh Komisi Pemilihan Umum dianggap tak sampai ke seluruh masyarakat dan nama-nama caleg perlu ditempel di tempat pemungutan suara (TPS).
Hal itu dikatakan Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, yang menganggap pengumuman nama-nama itu saja tidak cukup karena "Tidak semua pemilih Indonesia bisa mengakses internet."
KPU sendiri akan memuat 49 nama caleg itu di laman web resmi KPU pekan ini.
"Bagi para pemilih yang memiliki keterbatasan akses internet, mereka bisa dibantu mengenali para mantan napi korupsi ini kalau KPU juga mempublikasikan atau mengumumkan para mantan napi korupsi di TPS-TPS," kata Titi kepada wartawan BBC News Indonesia Rivan Dwisastono.
Dalam pengumuman yang dibacakan komisioner KPU, Ilham Saputra, Rabu (31/01) malam, 40 dari total 49 caleg eks-napi korupsi itu merupakan calon anggota DPRD, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Sementara sembilan nama lainnya merupakan caleg Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Partai Golkar menjadi partai dengan caleg mantan koruptor terbanyak yaitu delapan orang, sedangkan Gerindra kedua terbanyak dengan enam caleg.
Dari 16 partai politik peserta Pemilu 2019, hanya empat partai yang tidak mengajukan caleg ex-koruptor, yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Nasdem, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Pengumuman caleg eks koruptor agar pemilih bisa bijak memilih
Sejumlah calon pemilih yang dihubungi BBC News Indonesia menyatakan belum mendengar kabar siapa saja caleg mantan koruptor termasuk Idham, karyawan salah satu BUMN, dan Sonia, pemegang hak pilih yang bekerja di industri teknologi di Singapura,
Pengumuman nama-nama caleg eks-koruptor oleh KPU dilakukan sesuai peraturan yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
"Tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih..." bunyi awal salah satu poin dalam Pasal 182 dan Pasal 240 undang-undang tersebut.
"...Kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana," demikian poin tersebut diakhiri.
Meski belum tahu isi daftar caleg mantan koruptor itu, baik Idham maupun Sonia merasa pengumuman tersebut sudah sepatutnya dilakukan.
"Menurut saya sih bagus ya, karena kalau umur-umur kayak saya gini pasti aware (sadar) kalau korupsi itu enggak baik dan akan menjangkiti negara kita, jadi saya pikir perlu lah kalau itu disosialisasi secara luas," jelas Idham.
Sonia juga merasa diuntungkan dengan adanya pengumuman tersebut karena dapat membantu menjatuhkan pilihan ke caleg yang tidak bermasalah.
Senada dengan Idham dan Sonia, Robert, pemilih asal Lampung, dengan tegas menolak memilih caleg eks-koruptor. Baginya, mereka tak layak dipilih.
"Caleg yang koruptor itu sudah menodai bangsa dan negara, memiskinkan negara, jadi dia membuat miskin negara, berarti juga menciderai hati rakyat orang banyak," ujarnya lugas.
Di Semarang, Erna Virnia mengatakan caleg mantan koruptor ini memiliki hak untuk dipilih namun masyarakat lah yang perlu mengawasi bila menjatuhkan pilihan pada caleg seperti ini.
"Bila masyarakat dihadapkan pada caleg yang dinilai kurang baik justru kita sebagai rakyat Indonesia...memilih mereka dan mengawasi mereka jika terpilih," kata Erna.
KPU sendiri menyatakan bahwa pengumuman daftar caleg mantan napi korupsi dilakukan dengan tujuan untuk memberikan pilihan kepada masyarakat. Daftar rekam jejak pidana korupsi sejumlah caleg dapat memperkaya pertimbangan pemilih sebelum menjatuhkan pilihan.
"Kita meminta kepada masyarakat agar kemudian concern terhadap orang-orang ini," kata Ilham Saputra, komisioner KPU, kepada BBC, Kamis (31/1).
"Terserah masyarakat kemudian akan memilih atau tidak, tapi paling tidak, kami sudah mengumumkan, `ini loh mantan napi koruptor`," paparnya.
Nasib caleg eks-koruptor ada di tangan pemilih
Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz, berpandangan bahwa penyebarluasan daftar nama mantan koruptor yang kemudian mencalonkan diri menjadi anggota DPRD dan DPD harus dilakukan secara masif.
"Ekspektasi ke KPU, kita berharap informasi ini didistribusikan sampai ke daerah, jadi tidak hanya tuntas dengan satu kali konferensi pers kemarin," pinta Donal.
Seperti usul Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, Donal juga meminta KPU bisa menaruh daftar tersebut di tempat pemungutan suara pada hari pencoblosan 17 April mendatang.
"Mereka (KPU sebaiknya) mencantumkan nama-nama itu di TPS, di daerah-daerah yang memang dapilnya ada mantan narapidana kasus korupsi nyaleg ," lanjutnya.
Bagi Donal, nasib para caleg eks-koruptor kini ada di tangan pemilih. Pasalnya, sebagai penjaga gawang, partai politik telah gagal menyaring sosok bersih dan justru meng- endorse mereka.
"Informasi KPU ini kan sangat berharga, harus dijadikan referensi pilihan, sehingga jadilah pemilih cerdas dengan memperhatikan rekam jejaknya," tutur Donal.
Hal serupa diungkapkan Titi, "peran-peran masyarakat sipil menjadi penting, khususnya media massa untuk terus mengingatkan masyarakat, mengedukasi masyarakat, agar bijak dan cermat dalam menentukan pilihannya di pemilu mendatang."
Kebijaksanaan pemilih dalam mencoblos caleg yang bersih menjadi perhatian Titi, jika bercermin pada hasil pemilihan kepala daerah serentak tahun 2018 lalu.
"Kan ada sembilan kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh KPK. Nah, dari sembilan itu kan dua tetap terpilih, di Maluku Utara dan di Tulung Agung," papar Titi.
"Dari hasil penelitian kami, juga disebabkan, alasan pertama, karena pemilih tidak tahu, jadi informasi itu (kasus korupsi yang melilit mereka) tidak sampai kepada masyarakat," lanjutnya.
Selain akses informasi yang terbatas, pencitraan yang dibangun oleh kandidat di hadapan konstituen juga menjadi faktor yang mempengaruhi keputusan pemilih. Hal tersebut terutama efektif di tengah pemilih yang minim pendidikan politik.
"Di banyak tempat, pemilih itu tidak mendapatkan pendidikan politik yang cukup, dan tidak terpapar informasi kepemiluan yang memadai, sehingga mereka bisa mengambil keputusan dengan benar," ungkap Titi.
Sementara itu, terkait usulan Perludem dan ICW agar daftar caleg eks-koruptor dipajang di TPS, komisioner KPU, Ilham Saputra, berkomentar, "Belum, itu belum kita pikirkan."
Ilham menyatakan bahwa sejauh ini tidak ada penanda khusus bagi caleg eks-koruptor, kecuali pengumuman yang dilakukan KPU Rabu lalu.
"Kita akan membuat (unggahan) di website kita terkait dengan orang-orang yang pernah terpidana korupsi ini," ujar Ilham.
Caleg eks-koruptor: Tak banyak dampaknya
Muhammad Taufik, calon anggota legislatif DPRD Provinsi DKI Jakarta dari Partai Gerindra, mengaku tak khawatir dengan pengumuman KPU. Taufik adalah satu dari 49 caleg eks-koruptor yang didata KPK.
"Enggak ada strategi, rakyat sudah tahu kok," kata Taufik santai saat dihubungi BBC News Indonesia. "KPU lebay lah, mestinya urusin aja DPT (daftar pemilih tetap), ini kan pencitraan aja KPU."
Nama Taufik bersanding dengan sejumlah mantan narapidana kasus korupsi lainnya, seperti Desy Yusnandi yang maju di DPRD Banten dari Partai Golkar, Welhelmus Tahalele dari Partai Hanura yang mencalonkan diri di DPRD Maluku Utara, hingga mantan gubernur Aceh, Abdullah Puteh, yang maju untuk duduk di kursi Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Taufik menganggap pengumuman KPU tak akan banyak berpengaruh terhadap kansnya untuk kembali duduk di parlemen.
"Konstituen saya kan udah tahu, dan saya kan udah berkomunikasi tahunan dengan konstituen saya. Aman aja. Buktinya, yang lalu saya mengumumkan diri, yang kemarin juga saya mengumumkan diri. Buktinya kan kepilih ," ujar Taufik menjelaskan.
Taufik justru meminta KPU menangani urusan lain yang dianggapnya lebih penting.
"Mendingan KPU urusin orang gila, urusin DPT, hadapin kasus Oesman Sapta, urusin debat supaya menarik," pungkasnya.