Cerita Mendebarkan Biker VIVA.co.id Jelajahi Himalaya
- VIVA.co.id/Dian Tami
VIVA.co.id – Perkenalkan, nama saya Dian Tami Kosasih. Saya merupakan jurnalis perempuan di VIVA.co.id, yang biasa mengisi rubrikasi otomotif. Kali ini, saya akan berbagi pengalaman seru perjalanan di atas motor untuk menaklukkan Pegunungan Himalaya yang terkenal mengerikan dan tak bersahabat buat manusia.
Jika bicara riding kali ini, sejujurnya menjadi pengalaman yang tak terlupakan buat saya. Sebab, saya merupakan peserta perempuan satu-satunya dari Indonesia dari tiga media Tanah Air yang diundang Royal Enfield. Selain itu, ini merupakan kali pertama saya menginjakkan kaki di tanah India, terlebih langsung ke medan ekstrem seperti pegunungan Himalaya.
Saya merasa mendapatkan sambutan hangat para biker di sana, terlebih Royal Enfiled selaku pabrikan yang mengundang saya. Saat saya datang ke daratan India, pabrikan motor asal India itu diketahui juga tengah menggelar acara tahunan ke-13, Royal Enfield Himalayan Odyssey.
Untuk sampai ke Pegunungan Himalaya, saya harus menempuh perjalanan udara selama 10 jam dari Jakarta, tempat saya tinggal. Saya tiba ke New Delhi sekira pukul 21.00 malam waktu setempat. Jujur, saat kaki menginjakkan tanah yang terkenal akan film Bollywoodnya itu, tampak jauh dari ekspektasi saya. Saya masih bisa melihat seekor anjing yang sedang makan di sekitaran airport.Â
Saya dijemput seorang pria India yang membawa mobil sedan Vios, lengkap dengan nama tulisan hotel yang akan saya singgahi. Saya memang harus beristirahat, karena pukul 04.00 pagi harus melanjutkan perjalanan menuju Leh atau yang populer Ladakh.
Hari kedua, saya melanjutkan perjalanan dari New Delhi menggunakan pesawat. Sejak di depan airport, terlihat pemeriksaan tiket dan paspor telah dilakukan petugas keamanan setempat. Berbeda dengan Indonesia, petugas keamanan India terlihat seperti polisi atau tentara, karena lengkap membawa senjata.
Royal Enfield Himalayan, motor yang digunakan VIVA.co.id jelajah Himalaya. Foto: Dian Tami/VIVA.co.id
Setelah mengirim tas dan koper, saya melanjutkan perjalanan menuju pemeriksaan paspor. Antrean di sini sangat panjang, karena petugas harus memeriksa seluruh penumpang pesawat berdasarkan jenis kelamin. Untuk pria terdapat pintu pemeriksaan lebih banyak dibandingkan dengan wanita, sehingga saya harus berada di pemeriksaan ini selama satu jam dan berlari mengejar pesawat yang berada di pintu 52.
Setelah menempuh perjalanan udara selama satu jam, saya akhirnya sampai di airport tertinggi di dunia. Berada di tengah-tengah pegunungan dan perbukitan, sejak turun pesawat kita sudah disuguhkan pemandangan yang luar biasa. Â
Sebelum keluar airport, para turis mancanegara diwajibkan mengisi formulir data diri dan menunjukkan paspor negara asal. Pemandangan tak kalah luar biasa disuguhkan selama perjalanan menuju hotel.
Tak kalah menarik, penduduk yang menghuni Leh terlihat sangat beragam. Selain terdapat penduduk dengan wajah khas India, di kota pariwisata tersebut juga terdapat penduduk bermata sipit dengan kulit putih dan berpipi merah layaknya penduduk negara tetangga, yakni Nepal dan Tibet.
Penduduk Leh masih dihuni dengan mayoritas beragama Hindu. Meski demikian, kafe dan tempat belanja di Leh lebih banyak dihiasi dengan gambar dan pernak pernik agama Budha. Selain itu, karena merupakan salah satu jalan menuju Himalaya, membuat Leh menjadi salah satu bagian penting di India yang selalu ramai dikunjungi turis mancanegara dan lokal.
Saat saya mencoba mencari makanan khas dari kota tersebut, saya tidak menemukan satu pun makanan khas. Semuanya telah terkontaminasi dengan banyaknya turis mancanegara yang berlibur di sana. Rata-rata setiap restoran menyediakan 20 sampai 30 pilihan makanan, seperti nasi, pizza, dan pasta.
Makanan yang bisa dijumpai di Ladakh. Foto: VIVA.co.id/Dian Tami
Seperti kota-kota India pada umumnya, di sini hewan peliharaan seperti sapi bebas berkeliaran mencari makan tanpa khawatir tertabrak di jalan. Sapi di India memang merupakan salah satu hewan yang diagung-agungkan, sehingga tak ada penertiban sapi, hingga tak adanya restoran yang menyediakan makanan dengan bahan dasar sapi.
Jika digambarkan, satu hari melihat kota tersebut tidaklah cukup. Namun saya harus menjaga kesehatan dan melanjutkan perjalanan agar bisa menembus jalanan Himalaya dengan menggunakan sepeda motor Royal Enfield Himalayan selama tujuh hari.
Bersambung...