Isu Kartel, Honda Beberkan Alasan Jual Motor Rp15 Jutaan
- VIVAnews/Herdi Muhardi
VIVA.co.id – PT Astra Honda Motor (AHM) dan PT Yamaha Indonesia Motor Manufacuring (YIMM) dituduh terlibat persekongkolan mengatur harga jual sepeda motor.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menuding keduanya telah melakukan praktik curang dengan memonopoli pasar skuter matik (skutik) dan kemudian membuat kesepakatan harga alias kartel motor skuter matik berkapasitas mesin 110cc dan 125cc.
Menurut KPPU, biaya produksi motor matik di kelas 110cc dan 125cc rata-rata hanya sebesar Rp7,5-8 juta per unit. Namun, dua produsen motor itu menjual dengan kisaran harga Rp15 juta per unit.
Tudingan KPPU itu dibantah oleh AHM. Deputy Head of Corporate Communication AHM, Ahmad Muhibuddin, bahkan mempertanyakan dasar KPPU soal harga pembuatan satu motor skutik.
"Harga yang KPPU sampaikan itu dari mana angkanya? harga Rp7 juta untuk biaya produksi dan harga yang telalu tinggi itu bisa dibandingkan dan dicek, apa kemahalan atau kemurahan," Kata Muhib di Cikarang.
Ia menjelaskan, harga yang ditawarkan oleh AHM saat ini sudah berdasarkan perkembangan pasar yang ada di Indonesia.
"Banyak (hitungannya). Mulai dari material, pajak yang harus kami bayar. Kalau bicara komponen harga, sebaiknya KPPU menjelaskan, yang ideal itu seperti apa. Toh sekarang tidak ada pemain motor yang menjual harga motor seperti itu. Termasuk produsen motor yang baru datang ke indonesia," ungkapnya.
Selain itu, pertimbangan lain Honda menetapkan harga di atas bayangan KPPU adalah adanya faktor margin, ongkos angkut dan lain sebagainya.
"Harga yang ditawarkan ke konsumen itu sudah harga yang terbaik di Indonesia. Bandingkan dengan harga motor di luar Indonesia, benar tidak harga itu kemahalan," ujarnya.
Sementara itu, Direktur Marketing AHM, Margono Tanuwijaya menjelaskan, faktor lain yang memengaruhi harga jual yakni nilai tukar mata uang.
"Kalau harga naik kan biasa. Dolar naik, pasti menaikkan harga. Cost naik, naik harga. Pasti kami di dalam menentukan harga, penentunya daya beli konsumen, produk value. Itu umum di dalam dunia marketing. Termasuk ongkos angkut, bea balik nama (BBN). Pokoknya, masalah ini nanti dibuktikan di persidangan," ungkap Margono.