Kasus Kartel Honda-Yamaha

AISI: Honda-Yamaha Tak Sekongkol, Mereka Justru Perang Besar

Honda BeAt eSP vs Yamaha Mio M3 125 CW. KPPU mencium adanya kartel harga di kelas sekuter matik milik Honda dan Yamaha.
Sumber :
  • Blogotive.com

VIVA.co.id – Dua raksasa sepeda motor Honda dan Yamaha diindikasi melakukan kecurangan dengan melakukan pengaturan harga alias kartel untuk memonopoli pasar dan membatasi kompetisi pada model skuter matik (skutik) 110-125cc. Dugaan praktik curang itu diungkap Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang mengaku memiliki bukti kuat untuk memperkarakan kedua pabrikan motor asal Jepang itu.

Bursa Asia Perkasa, Rencana Merger Nissan dan Honda Jadi Sorotan Investor

Menanggapi hal itu, Ketua Umum Asosiasi Industri Sepedamotor Indonesia (AISI) Gunadi Shindhuwinata menyatakan apa yang gencar dituduhkan KPPU belakangan tidak benar. Sejauh ini, AISI melihat kedua pabrikan yang dituding sekongkol itu justru sebaliknya, melakukan perang dan kompetisi dengan sengit.

"Dugaan kartel itu tak pernah ada, mereka justru perang berdarah-darah merebut pasar, tidak ada itu sekongkol. Di AISI sendiri, asosiasi ini tak pernah bikin perjanjian kartel. Kami yang tahu kondisi sebenarnya," kata Gunadi kepada VIVA.co.id, Kamis, 21 Juli 2016.

Yamaha Sangat Hati-hati untuk Jual Motor Listrik di Indonesia, Kenapa?

Soal tudingan harga skutik yang membengkak dan jauh dari biaya produksi, AISI juga mengaku kaget dengan angka-angka yang disebutkan KPPU. Sebab, perkiraan harga produksi versi KPPU jauh dari angka sebenarnya.

"Darimana mereka tahu, mereka bukan industriawan. Justru harga skutik saat ini di Indonesia paling kompetitif, harga kita bersaing, bagus. Saya pikir industri roda dua kita saat ini coba melakukan yang terbaik, maka itu jangan diganggu dengan hal-hal seperti ini," ujarnya.

Bukan Toyota, Merek Jepang Ini Siap Selamatkan Nissan

Meski demikian, AISI mengaku menghormati langkah hukum yang ditempuh KPPU terhadap persoalan ini. Di mana, kata Gunadi, KPPU memang memiliki kewenangan soal perkara demikian. Namun dia meminta rasionalitas yang dikedepankan.

Gunadi menyatakan AISI juga pernah dipanggil KPPU untuk memberikan penjelasan terkait situasi di pasar sebenarnya, dan disaksikan pihak Astra Honda Motor (AHM) dan Yamaha Indonesia Motor Manufacturing (YIMM).

"Sebenarnya kalau dituding kartel pasti ada keuntungan di kedua pihak, tetapi sebenarnya di lapangan tidak seperti itu. Kalau mau tahu yang sebenarnya, pasar kita (roda dua) sedang jeblok. Makanya jangan diganggu dengan hal-hal seperti ini," kata dia.

KPPU ungkap bukti Honda-Yamaha sekongkol

Sebelumnya, KPPU menyatakan, Honda-Yamaha diindikasi kuat melakukan praktik culas kartel dengan memonopoli harga skutik 110-125cc. Banderol yang dipatok, disebut di luar nalar sebuah produk, demi mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.

Dengan begitu, masyarakat menjadi pihak yang dirugikan atas dugaan kartel Honda-Yamaha tersebut. Sebab, idealnya, harga motor yang dijual saat ini dapat memiliki harga jual yang lebih murah.

Kata Ketua KPPU Syarkawi Rauf, sejauh ini pihaknya telah menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan yang berlangsung Selasa, 19 Juli 2016. Kata dia, Honda dan Yamaha sejauh ini telah memonopoli pasar dan bersekongkol melakukan praktik usaha tidak sehat terhadap harga jual sepeda motor jenis skuter matik (skutik) 110-125cc di Indonesia.

"Untuk diperkarakan, tentu wajib memenuhi dua alat bukti, dan kami sudah memilikinya. Bukti yang kami miliki yakni bukti komunikasi yang dijalin keduanya terkait itu (sekongkol harga), dokumen-dokumen," kata Syarkawi saat dihubungi VIVA.co.id, Rabu, 20 Juli 2016.

KPPU juga menemukan adanya pergerakan harga motor skutik Yamaha dan Honda yang saling beriringan. Kenaikan harga motor skutik Yamaha selalu mengikuti kenaikan harga motor skutik Honda. "Sebenarnya, biaya produksi mereka itu cuma Rp7-8 jutaan, tapi kini dijual mahal (di atas Rp15 juta per unit). Mereka jual hingga dua kali lipat," kata dia.

Idealnya, kata Syarkawi, mereka jual motor-motor skutiknya dengan harga Rp10 jutaan dengan asumsi margin yang diambil sekitar 20 persen. "Sebenarnya angka itu cukuplah bagi mereka untuk mendapatkan keuntungan,” kata dia.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya