Konsumen Mobil di RI, Pertaruhkan Nyawa Demi Harga Murah
- VIVA.co.id/Ayatullah Humaeni (Bogor)
VIVA.co.id – Saat ini beragam fitur keselamatan aktif sudah tersemat pada mobil. Di antaranya electronic stability control atau ESP untuk mencegah mobil tergelincir, anti-lock braking system (ABS) untuk pengereman yang lebih stabil, hill start assist (HSA) untuk mencegah mobil mundur saat tanjakan dan masih banyak lagi.
Namun dari serangkaian teknologi keselamatan yang ada, ESP lah yang cukup berperan mencegah kecelakaan. Menurut IIHS dan NHTSA sebagai badan regulasi keselamatan otomotif di Amerika Serikat, sepertiga dari total kecelakaan fatal dapat dicegah dengan teknologi ini.
Tapi, di Indonesia untuk beberapa mobil yang diproduksi lokal dengan harga bersahabat seperti Toyota Avanza masih enggan untuk menanamkan fitur ini karena terkait harga jualnya. Maka tak heran kalau fitur ini rata-rata hanya ditemui di mobil-mobil kelas premium.
“Indonesia itu agak unik, price sensitif jadi nambah ini (ESP) orang mikirnya jadi mahal. Padahal enggak juga, di Malaysia pemerintahnya sampai menerapkan pada 2018 mobil baru yang di produksi harus memiliki ESP,” ujar Bernard Simanjuntak, Sales Manager Original Equipment Bosch kepada VIVA.co.id.
Menurut Bernard, mungkin dari level kesadaran pemerintah, pabrikan atau pasar memang berbeda dan kebetulan di Malaysia menjadi basis ASEAN NCAP (New Car Assessment Porgram for Asian Countries), maka sejak 5-6 tahun yang lalu negara tetangga ini sudah aware dengan teknologi ini.
“Kalau di Indonesia baru saat ini saja, ESP (Electronic Stability Program) mulai dipromosikan, nanti kita melihat ke depannya kalau NCAP akan melebarkan sayapnya ke Indonesia kita bisa memanfaatkan itu, tapi kalau tidak kita akan menggunakan lokal company,” katanya.
Oleh sebab itu, perusahaan asal Jerman ini mulai menggaet universitas untuk membuktikan pentingnya ESP di mobil. Ia mengatakan, saat ini pihaknya sedang berkolaborasi dengan Universitas Indonesia untuk melihat sejauh mana penggunaan ESP mengurangi tingkat kecelakaan di Indonesia.
“Jadi UI hanya meriset saja, mereka menyediakan datanya. Misalnya saat ini rate kecelakaan 100 orang dalam sehari karena pengereman kemudian kami menyediakan partnya dan mereka coba lagi, apakah dengan penambahan part ini tingkat kecelakaan akan berkurang,” katanya.
Thailand sebenarnya sudah aware dengan teknologi ini sejak 5 tahun yang lalu, tapi untuk meriset lebih dalam apakah teknologi ini akan mengurangi angka kecelakaan, negara ini belum mempunyai data kecelakaan sehingga belum berjalan. (mus)