Cara Hyundai atasi Suramnya Industri Otomotif di 2025
- Hyundai Motor Indonesia
VIVA – Penjualan mobil baru terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Ada beberapa faktor di balik merosotnya penjualan, salah satunya harga mobil yang semakin tinggi sehingga tidak sesuai dengan pendapatan rata-rata orang RI.
Selain itu daya beli masyarakat yang menurun juga salah satu dampak dari kondisi ekonomi masing-masing individu. Di mana jumlah kredit macet meningkat, sehingga leasing memperketat calon debitur yang mengajukan cicilan mobil baru.
Alhasil semakin selektfinya lembaga pembiayaan membuat konsumen lebih sulit memiliki mobil baru dengan cara kredit. Sehingga dari berbagai masalah itu, hadirnya brand baru dan banyaknya model yang ditawarkan saat ini seakan tidak memengaruhi penetrasi market.
Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia, atau Gaikindo, penjualan mobil domestik tertinggi sebesar 1,23 juta unit pada 2013. Hal itu ditopang oleh pertumbuhan ekonomi yang mendekati 6 persen, serta program mobil LCGC (Low Cost Green Car).
Kemudian pasar mobil tak bergerak dari level satu juta unit, bahkan sempat merosot ke 532 ribu unit pada 2020 akibat pandemi Covid-19. Lalu, bangkit pada 2021, berkat insentif PPnBM. Namun, tren itu tak berubah banyak memasuki 2022 hingga 2023, di mana penjualan mobil hanya mencapai satu juta unit.
Memasuki tahun ini minat beli masyarakat terhadap mobil baru terus mengalami penurunan, tercatat angka retail selama Januari-Oktober 2024 hanya 730.637 unit, menurun 11,5 persen dibandingkan tahun lalu dengan periode yang sama, yaitu 825.689 unit.
Walaupun tahun ini sudah berdarah-darah, namun tahun depan diprediksi akan lebih parah dari tahun ini, mengingat ada rencana penerapan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) menjadi 12 persen, dan belum adanya kepastian terkait insentif untuk industri otomotif.
Berkaca dari kondisi tersebut, Chief Marketing Officer PT Hyundai Motors Indonesia (HMID), Budi Nur Mukmin memprediksi jika penjualan mobil tahun depan tidak akan lebih baik dari tahun ini, bahkan kembali mengalami penurunan.
"Isu PPN 12 persen, pelaku industri otomotif sekarang ini menyikapi isu ini sangat hati-hati, tentu kami menghormati keputusan pemerintah. Tapi harus diakui, PPN 12 persen akan membawa resiko ke pasar, kita masih hitung akan membawa seberapa besar (efek buruknya)," ujarnya di Bandung, Jawa Barat, dikutip, Sabtu 7 Desember 2024.
Menurut Budi kenaikkan pajak itu malah menambah masalah baru, setelah Non Performing Loan (NPL), atau kredit bermasalah tinggi, lalu daya beli masyarakat yang menurun. Maka tidak heran jika beberapa pakar memprediksi industri otomotif perlu waspada.
"Kemarin saya sempat membaca analisa dari ekspertise ekonom turun 8 persen, atau 750 ribu tahun depan. Jadi ini tantangan berat buat industri otomotif," katanya.
Salah satu cara Hyundai untuk menarik perhatian konsumen di tengah kondisi yang diprediksi lebih sulit di tahun depan, yaitu menghadirkan banyak produk baru demi merangsang pasar.
"Tahun depan situasi enggak mudah, dari segi brand yang bisa kita lakukan meluncurkan produk baru agar menarik perhatian masyarakat. Hampir tiap bulan, minggu depan jangan lupa datang, jadi ini salah satu upaya kita agar masyarakat bergairah, untuk mengcover resiko market loss," lanjutnya.