Insentif Mobil Hybrid dan Kenaikan Gaji Bisa Dongkrak Penjualan Mobil Baru
- VIVA.co.id/M Ali Wafa
VIVA – Memiliki mobil baru menjadi impian sebagian orang Indonesia, dengan kendaraan roda empat tersebut perjalanan jarak jauh bersama keluarga menjadi lebih nyaman, dan sebagai penunjang gaya hidup.
Bukan hanya itu, mobil juga bisa digunakan untuk usaha, salah satunya menjadi taksi online, dan hal lainnya. Namun karena harganya semakin mahal, orang RI semakin sulit beli mobil baru, begitupun ketika mengajukan kredit.
Pendapatan rata-rata orang Indonesia saat ini menjadi salah satu faktor penjualan mobil baru menurun, dan stagnan. Padahal semakin banyak brand baru, namun karena gaji tidak sesuai kriteria leasing menyulitkan untuk mengajukan kredit.
Setiap tahun penjualan mobil terus mengalami penurunan dan terjebak di angka satu juta unit, bahkan pencapaian tertinggi minat beli masyarakat terhadap mobil baru terjadi sejak beberapa tahun silam.
Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia, atau Gaikindo, penjualan mobil domestik tertinggi sebesar 1,23 juta unit pada 2013. Hal itu ditopang oleh pertumbuhan ekonomi yang mendekati 6 persen, serta program mobil LCGC (Low Cost Green Car).
Kemudian pasar mobil tak bergerak dari level satu juta unit, bahkan sempat merosot ke 532 ribu unit pada 2020 akibat pandemi Covid-19. Lalu, bangkit pada 2021, berkat insentif PPnBM. Namun, tren itu tak berubah banyak memasuki 2022 hingga 2023, di mana penjualan mobil hanya mencapai satu juta unit.
Memasuki tahun ini minat beli masyarakat terhadap mobil baru terus mengalami penurunan, tercatat angka retail selama Januari-Oktober 2024 hanya 730.637 unit, menurun 11,5 persen dibandingkan tahun lalu dengan periode yang sama, yaitu 825.689 unit.
Berbagai cara dilakukan asosiasi demi mendongkrak penjualan salah satunya melalui pameran yang digelar Gaikindo. Lalu produsen, serta jaring diler menawarkan berbagai promo, diskon, dan merilis produk baru demi menarik perhatian konsumen.
Tapi semua cara tersebut masih belum ampuh mengkerek penjualan di tahun ini. Lantas apa yang perlu dilakukan demi merangsang daya beli masyarakat terhadap mobil baru jika semua cara tersebut gagal?
Melalui Focus Group Discussion (FGD) yang digelar Viva.co.id dengan tema 'Mengakhiri One Million Trap, Menyongsong Era Rendah Emisi', perwakilan Kementerian Koordinator Perekonomian, Gaikindo, dan pakar ekonomi berusaha mencari solusi untuk mengembalikan minat beli masyarakat terhadap mobil baru.
Menurut Asisten Deputi Pengembangan Industri Kemenko Perekonomian, Ekko Harjanto, kemampuan daya beli masyarakat harus didorong melalui peningkatan pendapatan, sehingga bukan hanya memenuhi kebutuhan pokok, melainkan skunder layiknya kendaraan.
"Tentunya kita mesti mendorong faktor ekonomi lain, salah satunya investasi, otomatis akan menyerap banyak lapangan pekerjaaan, memberikan multiplayer efek ke sektor ekonomi lainnya," ujar Ekko di Hotel JS Luwansa, Jakarta Selatan, Rabu 4 Desember 2024.
Lebih lanjut dia menjelaskan, upaya-upaya lain yang dilakukan pemerintah untuk pemulihan permintaan pasar memperluas insentif, baik untuk mobil bermesin pembakaran, ataupun kendaraan listrik, dan menggenjot penggunaan produk lokal.
"Dari sisi demand berupaya meningkatkan daya beli masyarakat dengan cara mengkontrol inflasi, dan program menarik LCGC," tuturnya.
Sementara menurut Ekonom Senior sekaligus Komisaris BCA, Cyrillus Harinowo, salah satu daya beli masyarakat melemah terhadap mobil baru diduga akibat pajak dan BBNKB (Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor) yang terlalu mahal di Indonesia.
"Ini bisa saja orang mulai berfikir untuk enggak perlu sering beli mobil meskipun mampu. Kedua wait and see, mulai masuknya mobil listrik, mobil china, akhirnya orang menahan pembelian. Jadi apakah kemudian kita bisa membalikan situasi ini, bagaimana mengubah sentimen masyarakat campaign yang lebih positif, karena isu kelemahan daya beli masih tanda tanya," katanya.
Menurutnya pemerintah perlu memperluas insentif, atau memberikan keringanan terutama untuk mobil-mobil yang memiliki teknologi ramah lingkungan layiknya hybrid. Sehingga bukan hanya berfokus pada EV (Electric Vehicle), melainkan ke semua teknologi yang dianggap realistis.
"Mestinya mobil hybrid juga bisa di fasilitasi, jadi kalau kita bicara Indonesia harusnya mobil hybrid lebih baik, dan bisa dibantu," katanya.