Permintaan Naik, Camry Terbaru Banyak Dipesan Pejabat
- VIVA/Jeffry Yanto
VIVA – Meski harga Camry terbaru yang belum lama ini diluncurkan punya kenaikan harga berarti, namun peminatnya justru lebih banyak dari versi sebelumnya.
Melihat di situs resmi TAM, Camry lama dijual mulai harga Rp599,15 juta sampai Rp791 juta. Sementara harga baru Camry saat ini dari Rp613,35 juta hingga Rp806,6 juta. Artinya ada kenaikan di kisaran belasan juta rupiah untuk masing-masing tipe.
PT Toyota Astra Motor (TAM) mengklaim sejak diluncurkan pada Januari 2019, jumlah pemesanan Camry baru kini sudah mencapai 400 unit. Atas angka tersebut, Direktur Marketing PT TAM, Anton Jimmy, mengatakan permintaan itu di luar dari ekspektasinya.
“Yang pesan Camry baru sebelumnya sudah pakai, ada dari merek lain di kelas yang sama atau dari Corolla naik ke Camry ada. Yang menarik konsumen Camry baru dari perusahaan dan goverment lebih dari 60 persen,” ujarnya di Yogyakarta.
Menurutnya jumlah pemesanan Camry didominasi pemerintah ketimbang perusahaan swasta. Sebab dari 60 persen jika diibaratkan tiga mobil, maka dua adalah milik pemerintah. Mobil untuk pejabat itu sedianya bakal digunakan untuk eselon satu.
“Yah eselon tertentu ya, eselon satu. Tapi belum hybrid, karena LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah) maksimal price di Rp700 juta, sedangkan harga hybrid di atas itu, walaupun goverment maunya hybrid,” tuturnya.
Antre Tiga Bulan
Sementara itu besarnya peminat Camry membuat calon konsumen harus rela antre untuk mendapatkannya. Waktu tunggunya bisa mencapai dua hingga tiga bulan.
Hal ini terjadi mengingat kuota impor kendaraan mewah dibatasi. Toyota pun dikatakan berusaha melobi pemerintah dengan menggenjot performa ekspor terlebih dahulu.
“Kemarin kami bicara ADM dan TMMIN, rasanya akan ekspor dulu kira-kira mungkin tahun ini targetnya 2.000 unit dan menambah tiga negara destinasi. Pada saat itu baru kami bicara, Pak, Camry banyak yang menunggu (naikan kuota impor) termasuk pemerintah nunggu,” tuturnya.
“Satu sisi ingin memenuhi kebutuhan konsumen, satu sisi kan kita naikkan produksi di Thailand harus bertahap, kami melihat neraca ekspor-impor. Kami enggak mau impornya naik ketinggian, sementara ekspornya enggak naik. Jadi harus balance,” sambungnya. (kwo)