Perjuangan Mengibarkan Merah Putih di Pentas Otomotif Dunia
- Dok: Shell
VIVA – Kecintaan masyarakat Indonesia terhadap dunia otomotif tidak hanya bisa dilihat dari banyaknya jumlah kendaraan yang ada di negeri ini, namun juga sejumlah upaya dan prestasi untuk mengembangkannya.
Hal itu dilakukan para mahasiswa yang berasal dari berbagai universitas, mulai dari Aceh hingga Banjarmasin. Sudah 10 kali bendera Merah Putih berkibar saat dimulainya ajang Shell Eco-marathon, baik di tingkat Asia maupun dunia.
Mengandalkan ilmu dan pengalaman yang mereka dapatkan, para mahasiswa itu berjuang membuat kendaraan yang ramah energi di ajang tahunan tersebut. Dua tahun lalu adalah salah satu momen paling membahagiakan, di mana lima tim dari Tanah Air menguasai podium SEM Asia 2018 di kelas UrbanConcept.
Dikutip VIVA Otomotif dari laman resmi Shell, Kamis 31 Desember 2020, posisi pertama ditempati tim dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, disusul Universitas Gadjah Mada dan Universitas Negeri Yogyakarta. Kemudian, ada tim dari Universitas Indonesia serta Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Semangat mereka seakan tidak terbendung, karena setelah itu ITS Team 2 yang mewakili Indonesia di ajang Shell Eco-marathon Drivers World Championship yang berlangsung di London, Inggris, berhasil menjadi juara dunia.
Di balik semua kesuksesan itu, ada banyak kisah perjuangan dari para peserta mahasiswa. Mulai dari pengadaan bahan untuk ikut kompetisi, hingga kendala teknis yang dialami selama lomba berlangsung. Contohnya saat SEM Asia 2018, yang diikuti oleh 26 tim dari Indonesia.
Untuk membangun mobil yang irit energi tersebut, biayanya tidak murah. Sekitar puluhan hingga ratusan juta rupiah rela dirogoh sejumlah tim mahasiswa yang ikut berkompetisi. Mereka mendapatkannya dari dana kampus, sponsor hingga sumbangan.
"Kami harus beli bahan. Sekitar Rp150-200 juta untuk membuat mobil. Ongkos kirim sudah termasuk," ujar Manajer Tim Malem Diwa Urban dari Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Agung Saputra saat ditemui di Singapura.
Menariknya, saat itu adalah pertama kalinya Universitas Syiah Kuala mengikuti ajang tersebut. Tujuannya sederhana, ingin membuktikan bahwa perguruan tingginya berani berlomba dalam skala internasional.
"Banyak yang berpendangan, pendidikan di Aceh itu lemah dan sebagainya. Kami ingin membuktikan, Aceh sudah berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya," tuturnya.
Sementara itu, Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, Kalimantan Selatan menghabiskan biaya sebanyak Rp200 juta untuk perlombaan, termasuk ongkos membawa mobil ke Singapura.
"Total hampir Rp200 juta, Rp150 juta itu biaya non-teknis. Biaya akomodasi cukup besar. Material sangat sulit, kami datangkan dari Jakarta, Surabaya dan Bandung. Di Kalimantan Selatan sendiri, ini adalah hal yang baru," tutur dosen pembimbing tim dari Lambung Mangkurat, Ahmad Kusaeri Samlawi.
Bukan hanya kendala material, mereka juga butuh waktu sangat lama untuk membuat kendaraan yang sesuai dengan regulasi panitia. Rata-rata proyek tersebut sudah dimulai sejak satu tahun sebelum ajang lomba.
“Kurang lebih satu tahun waktu yang dibutuhkan. Kami desain, dan harus dipastikan ini sesuai dengan regulasi. Bentuk dan struktur yang kuat. Bukan hanya besar, mobil juga harus ringan,” ungkap Agung.