Penghianat TNI AD yang Jual Amunisi ke OPM Harus Dihukum Tegas
- Website Ammoland.com
VIVA – Beberapa waktu lalu masyarakat Indonesia dikagetkan dengan peristiwa memalukan yang terjadi di institusi TNI Angkatan Darat. Sebab ada oknum prajurit TNI Angkatan Darat yang tertangkap menjual amunisi kepada kelompok separatis bersenjata OPM di Papua.
Bahkan, peristiwa penangkapan seorang oknum prajurit TNI Angkatan Darat itu sempat viral di media sosial. Dalam video pendek berdurasi sekitar 1 menit 51 detik yang diperoleh VIVA Militer, terlihat jelas bahwa seorang prajurit TNI Angkatan Darat yang bernama Praka Asben Kurniawan Gagola dari satuan Yonif 743/PSY mengaku menjual amunisi sebanyak 10 butir peluru tajam kepada kelompok OPM bernama Fabianus Sani melalui perantara John Sondegau senilai Rp2 juta atau Rp200 ribu per peluru.
Ironisnya, pada saat diinterogasi Praka Asben mengaku bahwa dirinya menjual amunisi untuk kebutuhan makan selama berada di daerah operasi, Papua.
"Siap, Saya baru jual satu kali, uangnya untuk bantu makan-makan," kata Praka Asben ketika diinterogasi dalam video pendek tersebut.
Tidak hanya itu, Praka Asben pun dengan sadar mengakui kesalahannya karena telah menjadi pengkhianat bangsa. Karena peluru yang dijualnya ke OPM dapat dipastikan digunakan kelompok separatis OPM untuk menembak prajurit dan masyarakat sipil yang ada di Papua.
Menanggapi hal tersebut, Pengamat Terorisme dan Intelijen dari The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya mengatakan, apa yang dilakukan oleh oknum prajurit TNI Angkatan Darat itu tidak dapat ditolerir. Dia menegaskan, pimpinan TNI Angkatan Darat harus berani mengambil tindakan tegas kepada prajuritnya yang telah memperjual-belikan amunisi secara ilegal tersebut.
"Setiap ada pelanggaran oleh personel TNI baik di wilayah perang atau damai harus diberikan sanksi sesuai UU yang berlaku," ujar Harits Abu Ulya, pengamat Terorisme dan Intelijen dari The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) di Jakarta, Senin, 13 Juni 2022.
Lebih jauh Harits menambahkan, pembinaan pada anggota harus menjadi salah satu prioritas bagi pimpinan. Sehingga kedepannya tidak ada lagi anggota yang nakal dengan menjual amunisi dan lainnya. Karena melalui proses pembinaan semua anggota bisa dirawat konsistensinya kepada doktrin-doktrin Sapta Marga, serta dapat meningkatkan kualitas personel prajurit TNI.
"Pengawasan internal kepada anggota harus berjalan dengan maksimal dan ekstra, terutama di daerah konflik," ujarnya.
Menurutnya, kasus penjualan amunisi oleh oknum prajurit TNI AD itu membuktikan bahwa banyak celah yang bisa membuat prajurit terkooptasi dengan lingkungan luar dan akhirnya mendegradasi mental dan moral prajurit yang berujung lahirnya tindakan indisipliner atau pelanggaran berat lainnya. Oleh karena itu khusus prajurit yang diterjunkan di wilayah konflik sudah selayaknya mendapatkan tunjangan yang lebih.
"Ke depan jangan ada lagi masalah perut atau ekonomi yang tidak terpenuhi bagi prajurit. Jangan sampai ada hak-hak dari prajurit yang diberikan oleh satuan nya disunat. Ini menjadi ujian dari kepemimpinan komandan satuan yang bertugas di sana. Selain itu tentu, proses rekrutmen prajurit perlu ditinjau sehingga orang - orang yang menjadi prajurit adalah warga pilihan terbaik," katanya.
"Faktor ekonomi prajurit maupun keluarga prajurit yang ditinggalkan bisa memicu munculnya persoalan di saat seorang prajurit menggemban tugas negara. Mereka di garis depan dan mereka bertaruh nyawa dalam tugasnya. Maka negara selayaknya memberikan perhatian moril dan material secara proporsional," tambahnya.
Sementara itu, Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (KaBais) Soleman B. Pontoh mengatakan, adanya oknum TNI Angkatan Darat yang menjual amunisi ke pihak musuh merupakan fenomena gunung es. Karena diluar oknum-oknum yang tertangkap itu masih banyak juga oknum lainnya yang melakukan hal yang sama. Oleh karena itu perlu jalan keluar atau solusi yang cepat agar tindakan tersebut tidak berulang di kemudian hari.
"Saat ini yang terungkap baru oknum-oknum itu. Di luar itu saya kira banyak," kata Soleman Pontoh.
Soleman juga mempertanyakan penamaan untuk kelompok bersenjata di Papua seperti Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Menurutnya, penamaan itu harus sesuai dengan situasi di lapangan, sehingga pasukan yang diturunkan juga tepat apakah polisi atau tentara. Sebab, lanjutnya, penamaan kelompok tersebut juga membedakan dalam penanganannya.
"Kalau kelompok kriminal maka polisi yang diturunkan. Kalau kelompok senjata ya tentara yang diturunkan. Selain itu juga pastikan jumlah kelompok yang melawan tersebut. Sehingga polisi atau tentara yang diturunkan juga bisa mengukur berapa jumlahnya," ujarnya.