Horor, Jenderal Perang TNI Rela Punguti Isi Kepala Mayat Anak Buahnya
- Instagram/@penkostrad
VIVA – Perang, bagi sebagian orang sudah pasti adalah momen yang sangat menyeramkan. Akan tetapi bagi seorang prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI), perang adalah sebuah medan pengabdian yang nyata untuk membuktikan loyalitas kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Tak terkecuali bagi sosok Jenderal TNI Dudung Abdurachman, yang belum genap sebulan diangkat menjadi Kepala Staf TNI Angkatan Darat (Kasad). Dudung yang dikenal sebagai pimpinan yang berani dan tegas, ternyata pernah punya pengalaman tempur di palagan Timor-Timur (sekarang Timor Leste).
Dudung mengisahkan pengalamannya berada di medan pertempuran, dalam acara Podcast Deddy Corbuzier, saat ia baru menamatkan pendidikan militer di Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) tahun 1988.
"Saya pertama lulus Letnan Dua (Letda) tahun 1988, saya tujuh tahun di Timor-Timur perang kerjanya. Perang, tembak-tembakan. Jelas lah, masa, tidur di sana," kata Dudung dikutip VIVA Militer dari Podcast Deddy Corbuzier.
Saat diterjunkan ke Timor-Timur, Dudung menduduki sejumlah jabatan Komandan Pleton (Danton) Kompi B Batalyon Infanteri 744/Satya Yudha Bhakti. Tak tanggung, Dudung yang merupakan anggota satuan elite Raider TNI, dipercaya untuk memimpin tim khusus yang berisi prajurit-prajurit pilihan.
"Jadi di (Yonif) 744 itu begini. Jadi misalnya seorang perwira itu nawa satu pleton. Saya biasanya bawa pasti tim khusus terus," tutur Dudung.
"Tim khusus itu dipilih orang-orang yang bagus-bagus, rata-rata putra daerah, dipimpin Danton yang fisiknya kuat dan segala macam. Dulu saya timsus, Timsus, Timsus Casador, pernah ditunjuk timsus itu," ucapnya.
Berada dalam pertempuran, pria kelahiran Bandung 19 November 1965 ini tak menampik bahwa ia pernah mengalami momen mengerikan. Ya, Dudung pernah menyaksikan sejumlah anak buahnya tewas diterjang peluru tajam musuh.
Pengalaman menyeramkan dikisahkan Dudung, saat ia memimpin Tim Khusus Casador. Ada seorang anggota TNI Angkatan Darat bernama Prajurit Dua (Prada) I Wayan Widane, yang gugur ditembak anggota Front Revolusi Kemerdekaan Timor Leste (Fretilin).
Menurut Dudung, mendiang Wayan tengah mencari sejumlah batu di sekitar sungai. Sejak awal, Dudung sudah mengatakan kepada pimpinan Wayan yang diketahui bernama Letnan Fajar, untuk tidak naik ke atas pegunungan. Akan tetapi, Wayan mencari batu tumpuan hingga menaiki pegunungan.
Saat mencari batu tumpuan itu lah, tubuh Wayan roboh diterjang timah panas di bagian kepala. Diceritakan Dudung, luka tembak di bagian kepala membuat isinya berhamburan.
Dudung dan anak buahnya mendapat panggilan dan langsung bergerak menuju posisi jenazah. Tanpa merasa jijik sedikitpun, Dudung memunguti isi kepala sang prajurit dan memasukkannya kembali ke dalam kepalanya.
"Pernah, jadi saya ada teman, saya Timsus Casador, saya bilang sama teman saya ada namanya Letnan Fajar. Saya bilang 'Jar, dulu saya pernah di situ. Jangan naik ke atas, kamu kalau mau masak di bawah saja," lanjut Dudung.
"Akhirnya ada anggota itu I Wayan Widane namanya, Prada (Prajurit Dua) itu, rupanya cari batu untuk tumpuan dapur. Naik ke atas dihajar kepalanya, jebol. Terbongkar di sini (sambil menunjuk bagian kepala belakang)," jelasnya.
Setelah itu, Dudung juga sempat menutupi bagian kepala jenazah Wayan dengan kain berwarna hijau. Hingga pada akhirnya, jenazah Prada I Wayan Widane dievakuasi dengan helikopter.
"Saya ke tempat jenazah itu, ada evakuasi lah heli. Sudah gitu, saya masuk-masukin tuh otaknya ke dalam kepalanya itu. Sudah gitu diikat pake kain warna hijau itu. Heli datang saya bilang, 'Jar, sudah mati. Bilang belum, belum,' ucap Dudung.
"Sudah melotot matanya kita tutup, kita ikat, kita tutup belakangnya itu, otaknya sudah masuk semua baru dibawa evakuasi," katanya.
Meski demikian, pengalaman mengerikan itu sama sekali tak membuat nyali mantan Panglima Komando Cadangan Strategis TNI Angkatan Darat (Pangkostrad) itu ciut.
"(Anak buah gugur tertembak musuh) ada, ya kita kan sudah sama-sama. Mau berangkat tugas operasi ke hutan itu risikonya mati. Sama saja dengan anak buah yang lain ya sama saja," tegas Dudung.
"Prajurit saja berani mati masa kita enggak berani. Prajurit itu kan puluhan tahun di situ. Kita perwira baru lulus Letnan Dua, mereka sudah puluhan tahun di situ," ujarnya.