Jenderal Senior Kopassus Ungkap Insiden Berdarah Pembentukan Satgultor

VIVA Militer: Sintong Panjaitan saat masih berpangkat Letnan Kolonel TNI
Sumber :
  • Youtube

VIVA – Siapa yang tidak kenal dengan Letnan Jenderal (Letjen) TNI Sintong Panjaitan? Iya, dia adalah seorang Purnawirawan Jenderal Korps Baret Merah Kopassus kelahiran Sumatera Utara, 4 September tahun 1980.

Intelijen Jerman: Rusia Sedang Persiapkan Perang dengan NATO

Pengalaman tempur di berbagai operasi yang pernah dilakukan oleh Sintong Panjaitan tak perlu diragukan lagi. Mantan Danjen Kopassus itu pernah terlibat dalam berbagai operasi diantaranya, Operasi Kilat penumpasan gerombolan DI/TII pimpinan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan pada tahun 1964-1965, Operasi perebutan stasiun RRI dari pemberontak PKI, Operasi Perebutan Irian Barat di tahun 1969, Operasi Woyla atau yang dikenal dengan pembebasan pesawat Garuda DC-9 dari tangan teroris yang terjadi di Woyla pada tanggal 31 Maret tahun 1981, hingga operasi militer di Timor Timur pada tahun 1991.

Nama Sintong Panjaitan mulai ramai diperbincangkan publik ketika dia memimpin Satuan Anti-Teror 81 atau Satgultor 81 Kopassus yang terjun dalam operasi pembebasan pesawat Garuda DC-9 Woyla yang disandera oleh kelompok teroris di Bandara Don Muang.

Ancam Amerika dan Kroninya, Misteri Senjata Super Rusia Akhirnya Terbongkar

Sebab, ketika itu pasukan khusus Anti-teror masih tergolong baru. Dan Sintong berhasil membuktikan kepada dunia internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) memiliki satuan khusus Anti-teror yang memiliki kemampuan dalam penanggulangan terorisme.

Dilansir VIVA Militer dari Youtube Puspen TNI, Selasa, 30 Maret 2021, Letjen TNI Sintong mengisahkan, bahwa pembentukan satuan khusus anti-teror TNI Angkatan Darat atau yang dikenal dengan sebutan Satuan Penanggulangan Terorisme (Satgultor) Kopassus adalah sebuah perjalanan sejarah yang tidak dapat dilupakan bagi dirinya pribadi.

Gak Ada Ampun, Sersan TNI Ini Diseret ke Meja Hijau Lalu Dijebloskan ke Tahanan

Sebab, lanjut Sintong, jauh sebelum peristiwa pembebasan pesawat Garuda di Woyla, sejumlah prajurit pilihan yang tergabung dalam Para Komando Angkatan Darat dan Kopassandha telah diperintahkan oleh pimpinan TNI Angkatan Darat untuk membuat satuan khusus yang memiliki kemampuan dalam menghadapi ancaman terorisme.

satgultor lumpuhkan pembajak pesawat

Photo :
  • ANTARA/Widodo S Jusuf

"Karena waktu itu sekitar tahun 70an ada peristiwa pembajakan pesawat milik salah satu maskapai indonesia pertama kali, yaitu peristiwa Vickers viscount Merpati Airlines dengan nomor penerbangan MZ-171. Dengan demikian dibentuklah satuan anti-teror yang dinamakan Satgultor (Satuan Penanggulangan Teroris)," kata Letjen TNI Sintong Panjaitan.

Setelah Satgultor dibentuk, TNI mengirim beberapa prajurit pilihannya itu untuk melakukan studi banding dan latihan ke Belanda, Inggris, dan Jerman. Diantaranya, Jenderal TNI (Purn) Luhut Binsat Panjaitan, Letjen TNI (Purn) Prabowo Subianto, dan Letjen TNI (Purn) Sintong Panjaitan.
   
"Nah, di sini lah kami mulai melakukan aktivitas latihan-latihan yang berhubungan dengan pembajakan-pembajakan yang dilakukan oleh terorisme. Jadi setelah dibentuk satuan itu, kami berlatih," ujarnya.

Sintong menjelaskan, Satgultor Kopassus yang awalnya berasal dari Group 4 Sandhi Yudha ketika itu sudah mulai menggencarkan latihan-latihan penanggulangan teror di Markas Kopassus.

"Sehingga waktu itu latihan-latihan anti-teror yang dilakukan sangat-sangat berat. Karena mereka harus bertindak secara sendiri-sendiri, tetapi harus ada feeling antara satu dengan temannya yang lain, terutama dengan latihan ledakan-ledakan. Itu sudah seperti mainan kami tiap hari itu, kemudian latihan montinering, bagaimana kita bisa menyusup ke mana-mana, sampai malam-malam pun kita laksanakan latihan itu," katanya.

Sintong juga mengungkapkan, dalam proses pembentukan Satgultor menjadi satuan khusus penanggulangan terorisme yang benar-benar handal ketika itu, dirinya harus kehilangan 11 orang teman-teman dekatnya yang tewas akibat ledakan bom pada saat latihan.

VIVA Militer: Ilustrasi latihan Satgultor Kopassus

Photo :
  • youtube

"Karena begitu beratnya latihan itu, kita sudah kehilangan 11 orang yang gugur dalam latihan anti-teror itu. 11 orang itu merupakan orang-orang terbaiknya dulu di situ, ada 11 orang, saya itu sampai nangis karena kehilangan orang-orang terbaik ketika latihan itu, termasuk ajudan saya namanya Miskar," ujarnya.

Sambil menghela nafas panjang, Sintong kembali menceritakan, tewasnya 11 orang personel Satgultor Kopassus ketika itu terjadi ketika dirinya hendak melakukan demonstrasi menyambut kedatangan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Makmun Murod.

Dalam insiden tersebut, dirinya pun hampir tewas akibat serpihan ledakan mengantam perutnya hingga dirinya bersimbah darah.

"Nah, waktu itu datang Pak Edy Sudrajat, saya ditangkap, kau masuk ke Ambulance kata Pak Eddy kepada saya. Loh ada apa pak, kok saya disuruh ke ambulance. Itu kau lihat perut mu itu," kata Sintong mengisahkan percakapannya dengan mantan KSAD ke-16, Jenderal TNI (Purn) Edy Sudrajat.

"Pas saya lihat, loh kok ada darah banyak di perut saya. Saya tidak sadar itu. Orang di rumah pun sudah ramai, Pak Sintong kena, Pak Sintong kena, ternyata perut saya kena,” tambahnya.

Menurut Sintong, luka robek diperutnya itu disebabkan serpihan ledakan bom ketika itu terpental hingga menyebabkan besi Kopel Rim yang dipakai bersama seragam PDL nya merobek dan masuk ke perutnya. “Tapi untungnya tidak masuk ke dalam perut saya semua, Akhirnya saya dibawa ke RSPAD," paparnya.

Sintong pun menegaskan, Satuan Anti-Teror Kopassus yang pertama kali berdiri jauh sebelum pembebasan sandera di Bandara Don Muang pada tahun 1981 adalah Satgultor Kopassandha atau Sat-81. Baru kemudian pada tahun 1982 nama itu dirubah menjadi Detasemen Khusus Anti-Teror Kopassandha atau Den-81.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya