Jenderal Marinir TNI Tewas, Kepalanya Bolong Ditembus Peluru
- Youtube
VIVA – Tak banyak orang tahu sosok Letnan Jenderal KKO (Purn.) Hartono, Komandan Korps Marinir (Dankormar) TNI Angkatan Laut ke-3. Kiprah Hartono bersama satuan elite Tentara Nasional Indonesia dengan ciri khas baret ungu, harus berakhir tragis.
Nama Hartono diabadikan menjadi nama ksatrian di Brigade Infanteri (Brigif) 2/Marinir, yang terletak di Cilandak, Jakarta Selatan. Namun, nama Hartono baru dijadikan nama ksatrian milik Korps Marinir TNI Angkatan Laut 37 tahun setelah kematiannya.
Hartono merupakan Purnawirawan Perwira Tinggi (Pati) TNI Angkatan Laut, yang berasal dari satuan elite Korps Komando (KKO) yang sekarang bernama Korps Marinir. Sepanjang kariernya, Hartono mencapai puncak setelah ditunjuk menjadi Komandan KKO periode 5 November 1961 hingga 16 Oktober 1968.
Dikutip VIVA Militer dari buku "Hartono Jenderal Marinir di Tengah Prahara", semasa hidupnya Hartono dikenal sebagai seorang loyalis Presiden Republik Indonesia (RI) Pertama, Soekarno (Bung Karno). Di bawah kepemimpinan Hartono, Korps Marinir menjadi satuan elite yang paling setia membela Bung Karno.Â
Bahkan saat kekuasaan Soekarno mulai runtuh, Hartono dan Korps Marinir tetap menunjukkan kesetiannya. Beberapa pernyataan dibuat oleh Hartono untuk membuktikan bahwa ia dan pasukannya akan senantiasa membela Bung Karno sebagai pemimpin besar revolusi.
Beberapa pernyataan Hartono yang menunjukkan loyalitasnya kepada Bung Karno adalah sebagai berikut:
"Putih kata Bung Karno, putih kata KKO. Hitam kata Bung Karno, hitam kata KKO."
"Apapun yang terjadi, KKO akan tetap berdiri di belakang pemimpin besar revolusi Bung Karno dan tetap loyal terhadap segala keputusan-keputusan yang diambil beliau."
Setelah Soekarno turun tahta pada 12 Maret 1967, dimulai lah era kepemimpinan Presiden RI kedua, Jenderal TNI (Purn.) Soeharto. Seiring dengan bergantinya kepemimpinan, Hartono pun dicopot dari posisinya sebagai Komandan Korps Marinir pada 16 Oktober 1968.
Oleh Presiden Soeharto Hartono kemudian dipercaya untuk mengisi jabatan sebagai Duta Besar RI di Pyongyang, Korea Utara (Korut). Meski banyak pihak menganggap Hartono "dibuang" namun ia tetap menunjukkan dedikasinya sebagai abdi negara.
Hartono pun memboyong istri dan keempat anaknya ke Pyongyang untuk menjalankan tugas barunya sebagai Duta Besar RI. Siapa sangka, pada suatu ketika Hartono diminta pulang ke Jakarta lantaran ada data intelijen yang menyebut bahwa dirinya terlibat peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang didalangi Partai Komunis Indonesia (PKI).
Tak gentar sedikitpun, Hartono pun menerima panggilan tersebut dan bertemu dengan Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib), Jenderal TNI Sumitro.
Usai pertemuannya dengan Sumitro, Hartono sempat pulang ke rumah ibunya. Pada suatu subuh, rumah ibu Hartono didatangi orang tak dikenal. Tanpa curiga sama sekali, Hartono pun menerima kedatangan tamu tak diundang itu. Sementara, ibu Hartono membuatkan minum di dapur untuk para tamu usai menunaikan ibadah Salat Subuh.
Tiba-tiba, terdengar letusan senapan yang memecah kesunyian subuh di rumah ibu Hartono. Sang ibu pun segera bergegas ke ruang tamu untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.
 Alangkah terkejutnya sang ibu, saat melilhat Hartono sudah tergeletak bersimbah darah. Kepala Hartono berlubang ditembus peluru. Sementara di dekat tubuh Hartono tergeletak sebuah pistol.Â
Tubuh kaku Hartono pun segera dibawa ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto untuk diotopsi. Usai otopsi, Hartono dinyatakan meninggal dunia akibat bunuh diri dikarenakan satu dan lain hal.Â
Hartono dianggap gagal menjalankan tugas sebagai Duta Besar RI di Korut, serta pengurangan postur kekuatan KKO di era kepemimpinan Presiden Soeharto.
Namun demikian, kematian Hartono hingga saat ini masih misterius. Pihak keluarga yang diwakili oleh sang istri, Grace Hartono, masih merasa ada kejanggalan usai kematian sang suami.