Tak Takut Mati, Jenderal Kopassus TNI Datangi Sarang Teroris Sendirian

VIVA Militer: Letjen TNI (Purn.) Sutiyoso saat masih berdinas di Kopassus TNI
Sumber :
  • Instagram/@h_sutiyoso

VIVA – Hampir genap lima tahun sejak penyerahan diri pemimpin Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang juga anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Nurdin bin Ismail Amat alias Din Minimi. Din Minimi akhirnya menyerah kepada pemerintah Republik Indonesia, berkat jasa seorang mantan Perwira Tinggi (Pati) TNI Angkatan Darat, Letjen TNI (Purn.) Sutiyoso.

Terpopuler: Kronologi Polisi Tembak Pelajar hingga Tewas, Bapak Kopassus yang Ditakuti Elite Militer RI

Lewat pantauan VIVA Militer dalam video acara Saatnya Perempuan Bicara, Sabtu 5 Desember 2020, mantan Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) Jaya/Jayakarta itu mengisahkan proses penyerahan diri Din Minimi.

Tepatnya pada 28 Desember 2015, Sutiyoso akhirnya bisa bertemu langsung dengan Din Minimi. Akan tetapi, bukan perkara mudah bagi Sutiyoso untuk bisa bertemu dengan pentolan teroris itu.

Pecah Telur, Teman Satu Leting AHY Jadi Jenderal Pertama di Lulusan Akmil 2000

Sutiyoso yang saat itu menjabat sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), mengaku cukup kesulitan untuk mendapatkan informasi perihal nomor telepon Din Minimi. Akan tetapi, berkat jasa seorang warga negara Finlandia yang diketahui bernama Juha Christensen, akhirnya Sutiyoso akhirnya bisa mendapatkan nomor kontak Din Minimi. 

Pria yang pernah pernah berdinas di kesatuan elite Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI Angkatan Darat, membawa misi penting untuk membuat Din Minimi menyerah dan menawarkan amnesti. Tentu saja, Sutiyoso sudah lebih dulu melaporkannya kepada Presiden Republik Indonesia (RI), Ir. H. Joko Widodo.

Ini Dia Sosok yang Paling Ditakuti dan Disegani di Pasukan Elite Militer Indonesia, Dijuluki Bapak Kopassus

"Jadi, saya mendapatkan nomor teleponnya Nurdin sebagai komandannya GAM di Aceh itu enggah mudah. Lewat (Juha) Joshua namanya, orang dari Finlandia, saya dapat nomor itu. Saya dikenalkan pertama, terus saya berkomunikasi. Hanya satu urusan kita yaitu amnseti," ujar Sutiyoso.

"Amnesti itu bisa kita berikan, saat GAM itu menyerah tapi satu kali dan kelompok ini belum pernah mendapatkan amnesti. Saya sudah konsultasikan semuanya ini kan harus saya laporkan kepada presiden," katanya.

Setelah mendapatkan nomor telepon Din Minimi, Sutiyoso pun melakukan kontak. Kemampuan intelijen yang didapat Sutiyoso saat berdinas bersama Kopassus tentu memudahkannya untuk bisa membujuk Din melakukan pertemuan.

Benar saja, Din akhirnya mau bertemu Sutiyoso pada 28 Desember 2015. Akan tetapi, Din menegaskan bahwa ia mau bertemu dengan Sutiyoso asalkan di markasnya. Meskipun bisa mengutus anak buahnya, Sutiyoso memilih untuk melakukan misi itu sendiri. Pasalnya memang Din tidak akan mau berunding dengan orang selain Sutiyoso.

"Akhirnya pas tanggal 26 Desember 2015 komunikasi, saya ingin ketemu langsung dengan dia, dia menyanggupi. 'Kita ketemu tanggal 28 Pak, tapi tempatnya di tempat saya Pak'. Oleh karena itu pada saat saya mendarat di Lhoksumawe, saya langsung ketemu dua pejabat Polda dan menjelaskan pengejaran saya membawa misi khusus," ucap Sutiyoso melanjutkan.

"(Kalau enggak bertemu saya) dia enggak akan mau. Dan yang kedua dalam hitungan saya haqul yaqin enggak apa-apa. Yang paling penting pada saat ketemu kelompok itu adalah menunjukkan muka yang bersahabat, itu yang paling penting," katanya lagi.

Dengan nyali besar, Sutiyoso akhirnya mendatangi markas Din Minimi dan kelompoknya. Di sisi lain, pria kelahiran Semarang, 6 Desember 1944, tahu betul risiko apa yang bisa terjadi terhadap dirinya. Akan tetapi, sebagai seorang mantan prajurit dan abdi negara, Sutiyoso tetap berani menjalankan misinya.

Keyakinan besar Sutiyoso akhirnya berbuah hasil. Din Minimi dan kelompoknya mau menyerahkan diri. Didampingi Sutiyoso, Din Minimi kembali ke rumahnya di Desa Ladang Baro, Kecamatan Julok, Aceh Timur, Aceh. Setelah bernegosiasi, Din Minimi mau melucuti senjata. Din menyerahkan 15 unit senjata, di antaranya 13 unit senapan AK45, satu unit SS1 buatan Pindad, satu pelontar granat, dan sejumlah amunisi.

"Memang risikonya kan saya bisa dibantai, dan pasti jadi berita besar matinya seorang jenderal atau Kepala Bin. Yang kedua juga bisa disandera ditukar dengan logistik. Tapi sekali lagi, orang pemahaman jika pernah melakukan seperti itu akan punya keyakinan," ucap Sutiyoso.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya