Kisah Anak Sang Singa Serikat Islam Jadi Jenderal TNI AD
- Disjarah TNI AD
VIVA – Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) ke-4, Jenderal Anumerta TNI (Purn) Bambang Utoyo ternyata memiliki garis keturunan yang menarik untuk diketahui.Â
Di dalam darah mantan orang nomor satu di kesatuan TNI Angkatan Darat era Presiden Soekarno itu, ternyata mengalir darah seorang pejuang, yang cukup ditakuti para penjajah Belanda ketika itu. Beliau adalah Bawadiman Hardjosapoetro.Â
Iya, Bambang Utoyo adalah anak kedua dari perkawinan Bawadiman Hardjosapoetro dengan Umsjiah. Ayah Bambang Utoyo, Bawadiman Hardjosapoetro merupakan salah satu aktivis Serikat Islam (SI) yang paling ditakuti oleh para kolonial Belanda.
Sampai-sampai, Bawadiman di Jawa Barat mendapat julukan "Pejuang Singa Mulangjaya" atau seorang pejuang muda yang gagah berani ke medan juang.
Sebagai aktivis Serikat Islam, ayah Bambang Utoyo tentunya menentang keras penindasan yang kerap kali dilakukan para kolonial Belanda di masa itu. Bahkan, dia dicap oleh Belanda sebagai pemberontak dan seringkali ditangkap dan dimasukkan penjara oleh kolonial Belanda.Â
"Ayah Bambang Utoyo adalah salah seorang Anggota Serikat Islam yang aktif menentang pemerintah Kolonial Belanda, sehingga dia sering ditangkap Belanda," dikutip VIVA Militer dari buku yang berjudul "Biografi Bambang Utoyo, Jiwa Ragaku untuk Negeri Tercinta" Disjarah Angkatan Darat, Sabtu, 26 September 2020.
Ayah Bambang Utoyo, Bawadiman Hardjosapoetro tercatat terakhir ditangkap dan dimasukkan ke dalam bui atau penjara ketika Bambang Utoyo masih berusia 13 tahun. Ketika itu Bambang Utoyo bersama keluarganya tinggal di Bogor.Â
Pada tahun 1933, terjadi sebuah pemberontakan besar-besaran melawan kolonial Belanda di Bogor. Bawadiman bersama masyarakat melakukan perlawanan sengit terhadap pemerintahan Belanda. Sampai-sampai penjajah Belanda menyerbu kediaman Bambang Utoyo untuk mencari sang ayah tercinta.Â
Akhirnya, ayah Bambang Utoyo, Bawadiman Hardjosapoetro ditangkap dan dimasukan ke penjara Sukamiskin, Bandung. Dalam peristiwa itu Bambang Utoyo harus kehilangan dua orang saudaranya, yaitu seorang kakak perempuannya meninggal dunia, dan satu orang adiknya hilang tak jelas kemana rimbanya.Â
Selama ayahnya di penjara, Bambang Utoyo bersama dua adiknya dibawa oleh ibunya, Umsjiah untuk tinggal di rumah tantenya untuk menghindari ancaman kolonial Belanda.
Kemudian, setelah ayahnya keluar dari penjara Sukamiskin, Bambang Utoyo bersama adik-adiknya dan ibunya diboyong Sang Ayah ke Semarang. Kemudian pada tahun 1937, ayah Bambang Utoyo meninggal dunia dan dimakamkan di Semarang.
Sejak saat itu Bambang Utoyo sebagai seorang anak laki-laki pertama dalam keluarga harus hidup prihatin dan penuh perjuangan bersama dua saudaranya yang lain dan ibunya. Sampai pada akhirnya, tahun 1938 Sang Ibu tercinta harus menitipkan Bambang Utoyo dan kedua adiknya untuk ikut dan tinggal bersama saudara ayahnya, R.Soenhadji ke Palembang.
Kisah kecil kehidupan KSAD ke-4 itu sungguh memprihatinkan, dia harus tinggal berpindah-pindah dari kota satu ke kota lainnya karena mengikuti jejak ayahnya yang merupakan seorang petarung melawan para penjajah Belanda.Â
Namun, siapa sangka nasib baik berpihak kepada Bambang Utoyo. Seperti pepatah kuno mengatakan "Buah jatuh tak jauh dari pohonnya" karena kegigihan dan keberanian Bambang Utoyo dalam berjuang melawan para penjajah, Bambang Utoyo memiliki karier di dunia militer yang cukup baik.Â
Dia tercatat pernah menjabat sebagai Komandan Divisi Garuda II di Palembang, Sumatera Selatan ketika berpangkat Letnan Kolonel. Ketika itu, dia memimpin perlawanan tentara  rakyat dan para front pejuang rakyat melawan kolonial Belanda di Palembang yang dikenal dengan peristiwa perang Lima Hari Lima Malam.Â
Meskipun Bambang Utoyo sempat mengalami kecelakaan granat yang membuat tangan kanannya harus diamputasi atau dipotong, hal itu tidak menyurutkan semangat juangnya menghadapi Belanda di Palembang.Â
Dia sempat mengajukan pensiun pada tanggal 5 September 1952 dari kedinasan di tentara karena sakit. Namun, Presiden Soekarno pada tanggal 25 November 1952 mengaktifkan dia lagi sebagai Panglima Tentara Teritorium (TT) II di Palembang dengan pangkat Kolonel.
Bambang Utoyo diaktifkan lagi menjadi Panglima TT II di Palembang karena dianggap mampu mengatasi situasi di Sumatera Selatan yang pada saat itu tengah memanas.Â
Sampai pada akhirnya, pada tanggal 10 Juni 1955 Presiden Ir.Soekarno menetapkan Bambang Utoyo sebagai KSAD dengan pangkat Jenderal Mayor menggantikan Jenderal Mayor Bambang Sugeng. Dan Jenderal Mayor Bambang Utoyo secara resmi dilantik Presiden Soekarno pada tanggal 27 Juni 1955 untuk memimpin TNI matra Angkatan Darat atau KSAD ke-4 di Istana Negara dengan acara yang sangat sederhana.