Kisah Laksamana TNI yang Ikut Petisi Kritik Jenderal Soeharto
- VIVA Militer
VIVA – Sejak umur enam tahun, Mohammad Nazir Isa diasuh pamannya yang menjabat sebagai School Opzienner di Tanjung Pura, Langkat. Karena itulah, pria kelahiran 1910 itu mendapat keringanan untuk dapat bersekolah di sekolah Belanda.
Karena pada zaman itu, bagi kalangan masyarakat bawah yang ingin bersekolah, mereka diharuskan untuk memiliki uang agar bisa membayar uang sekolah. Sehingga banyak anak-anak, yang sejak kecilnya tidak diurus oleh orang tua kandung mereka.
Hal itu dilakukan agar anak mereka, dapat bersekolah untuk menempuh pendidikan yang layak. Sama halnya dengan Mohammad Nazir. Saat itu ia diasuh oleh pamannya, sehingga diperbolehkan masuk ke Europeesche Lagere School di Medan.
Berdasarkan catatan sejarah yang dihimpun VIVA Militer dari berbagai sumber Rabu 23 September 2020, usai menempuh pendidikan di Medan, Nazir kembali di bawa oleh pamannya yang lain, Abdul Samad.
Abdul Samad bekerja sebagai Hoof Opzichter di Jakarta, sehingga Nazir dapat masuk ke sekolah dasar  De Tweede Bijbel School. Kemudian ia melanjutkan sekolah ke Chrijstelike MULO.
Singkat cerita, usai lulus dari semua pendidikannya, Nazir bekerja sebagai pelaut di Belanda. Itu bisa terjadi atas rekomendasi yang diberikan oleh Ny. Poijt van Druten, yang ternyata adalah guru Nazir ketika ia menempuh pendidikan di MULO.
Tidak hanya berhenti di situ, setelah lama bekerja di dunia pelayaran, Nazir kemudian melanjutkan pendidikannya di sekolah pelayaran Michel Adrianzoon de Ruyter Belanda. Ia juga berhasil mendapatkan ijazah De Grotevaart (Ijazah Pelayaran Samudera) pada tahun 1938.
Saat mendapat ijazah itu, Nazir berusia 28 tahun dan menjadi orang Indonesia pertama yang bisa mendapatkan ijazah yang terbilang cukup tinggi dalam tingkat pelayaran Belanda. Nazir pun kembali ke Indonesia dan bekerja di perusahaan pelayaran Doggerbank.
Ketika Jepang masuk dan memerintah di Indonesia, pria berdarah Minang, Sumatera Barat itu bergabung dengan Angkatan Laut Kekaisaran Jepang. Setelah lima tahun berselang, tepatnya tahun 1943, Mohammad Nazi diangkat sebagai kepala Sekolah Pelayaran Tinggi di Semarang.
Setelah Indonesia mendapatkan kemerdekaannya, Nazir diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) yang ke-2 dengan pangkat Laksamana III. Ia dilantik untuk menggantikan Laksamana III Mas Pardi.
Selain diangkat menjadi KSAL, Nazir juga menjabat sebagai Menteri Pelayaran dalam Kabinet Djuanda. Atas jasa-jasanya dalam dunia Angkatan Laut ketika masa kemerdekaan Indonesia, ia memperoleh tanda jasa Bintang Gerilya, Sewindu APRI, Perang Kemerdekaan I dan II, Satyalencana VIII, XVI, dan Bintang Jalasena.
Ternyata, Laksamana III Mohammad Nazri diketahui pernah ikut dalam menandatangani Petisi 50 yang mengkritisi pemerintahan Jenderal Soeharto yang totaliter. Kini nama Mohammad Nazir diabadikan sebagai nama jalan di depan mako Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut V.
Baca:Â Kisah Marsekal TNI Terbangkan Jet Soviet di Tim Aerobatic Pertama AU