Kisah Heroik Letkol Terbaik TNI di Detik-detik Terakhir Kematian

VIVA Militer: Brigadir Jenderal TNI Ignatius Slamet Rijadi
Sumber :

VIVA – Ketika Tentara Nasional Indonesia (TNI) melancarkan serangan kedua pada tanggal 3 November 1950, ternyata di saat yang bersamaan, komandan Republik Maluku Selatan (RMS) juga merencanakan serangan yang besar.

Kasat Reskrim Polres Teluk Bintuni Hilang Usai Kontak Tembak dengan KKB, TNI Bantu Pencarian

Menurut catatan sejarah dihimpun VIVA Militer melalui Museum TNI Selasa 15 September 2020, ternyata RMS ingin menyerang pos pertahanan TNI, guna mematahkan hasil kepungan yang sudah berhasil dilakukan TNI.

Ketika serangan kedua berlangsung, terjadilah pertempuran sengit antara pasukan RMS yang berisikan pasukan Baret Hijau dan Baret Merah (eks Koninklijk Luchtmacht, Angkatan Udara kerajaan Belanda) dengan pasukan TNI.

Terpopuler: Enzo Allie Jadi Lulusan Terbaik Kopassus, Polisi Tantang Warga Duel Carok

Tapi dengan kelengkapan senjatanya, TNI berhasil menghancurkan dan bahkan membakar panser lawan dengan senjata berat. Meskipun sebenarnya, TNI mampu meluluhlantakan RMS hanya dalam satu serangan saja.

Dua grup pasukan yang dipimpin oleh Letkol Ignatius Slamet Rijadi dan Mayor Surjo Subandrio, mereka didaratkan di Benteng Victoria. Benteng ini merupakan punggung Kota Ambon. Tujuannya mereka didaratkan di sana adalah untuk merebut Kota Ambon.

KRI SIM-367 Gantikan KRI Diponegoro, Satgas MTF TNI AL Siap Jaga Perdamaian Dunia

Dalam pertempuran yang terjadi hanya dalam beberapa jam saja di Waitatiri, pasukan RMS dapat dipukul mundur. Lalu pasukan RMS hanya bersisakan 2000 pasukan dan memutuskan untuk mundur.

Pagi harinya, pasukan Achmad Wiranatakusumah baru mendarat di sana. Tapi sebelum mereka mendarat, tentara TNI yang kelelahan karena sudah berperang kurang berjaga-jaga. Sehingga keadaan ini sangat dimanfaatkan RMS.

Mereka menyamar sebagai pasukan TNI dengan membawa bendera Merah Putih. Saat itulah, pasukan RMS mulai menyerang TNI. Kemudian, situasi ini menjadi semakin kacau karena sulit membedakan mana kawan dan lawan.

Pertempuran inipun berlangsung cukup lama, hingga malam harinya. Pertempuran ini juga memakan banyak korban. Melihat kondisi seperti itu, Letkol Rijadi mengerahkan pasukannya pada pagi hari tanggal 4 November 1950.

Berbekal dengan pengalamannya, iapun menilai bahwa kekacauan yang terjadi adalah akibat taktik dari pihak lawan yang memanfaatkan kondisi lelah TNI. Sehingga RIjadipun berinisiatif untuk memimpin langsung pasukannya dengan berada di barisan paling depan.

Tapi karena pertempuran yang tidak dapat terelakkan, membuat Letkol Rijadi tertembak di depan benteng kuno Victoria. Tembakan yang mengenai tubuhnya itu terjadi ketika, ia turun dari panser untuk memberikan arahan kepada pasukannya.

Meskipun sudah diberikan pertolongan, pada pukul 21.15 pada tanggal 4 November 1950, Letkol Ignatius Slamet Rijadi dinyatakan gugur dalam peperangan. Dalam hembusan terakhirnya saja, ia masih menyemangati pasukannya dengan memegang perutnya yang  terus mengeluarkan darah.

“Mari, mari, kita terus masuk benteng! Mari, mari, maju....,” kata Letkol Ignatius Slamet Rijadi yang suaranya semakin lama semakin tak terdengar. 

Saat gugur, Letkol Ignatius Slamet Rijadi masih sangat muda. Ia tewas dalam peperangan ketika berusia 24 tahun. Hingga menghembuskan napas terakhirnya, Rijadi tidak pernah menyerah pada lawan meski nyawa sebagai taruhannya.

Letnan Kolonel Slamet Rijadi dimakamkan dengan upacara militer sederhana pada sebuah makam darurat di tengah kebun kelapa Pantai Tulehu, Pulau Ambon bagian timur pada tanggal 5 November 1950.

Setelah kondisi keamanan di Ambon dan Maluku pulih, makam Slamet Rijadi dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Ambon. Sesuai keinginannya, ia ingin dimakamkan di atas tanah di mana ia gugur.

Kemudian pada bulan November tahun 2007, pemerintah Indonesia menganugerahkan Letkol Ignatius Slamet Rijadi sebagai Pahlawan Nasional.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya