Kisah Brigjen TNI Pemberani, Bongkar Atap Markas Polisi Jepang

VIVA Militer: Brigadir Jenderal TNI Ignatius Slamet Rijadi
Sumber :

VIVA – Soekamto dilahirkan di Kampung Danukusuman, Solo, pada tanggal 28 Mei 1926. Tapi saat usianya belum genap satu tahun, namanya diganti menjadi Slamet. Karena saat kecil, Soekamto sering sakit-sakitan.

Hizbullah Tembakkan 250 Roket ke Israel, Sejumlah Orang Luka-luka

Seiring dengan bertumbuh dewasa, guru Slamet menambahkan lagi nama di belakangnya menjadi Ignatius Slamet Rijadi. Kemudian, nama itulah yang digunakannya hingga beranjak dewasa. 

Berdasarkan catatan sejarah yang dihimpun VIVA Militer dari Museum TNI Rabu 9 September 2020, ternyata jiwa militer yang mengalir di darahnya berasal dari sang ayah. Karena sang ayah merupakan seorang perwira, bernama Idris Prawiropralebdo.

TNI AL Kerahkan 19.793 Pasukan dan Sejumlah Kapal Perang Andalan untuk Distribusikan Logistik Pilkada 2024

Meski terbilang memiliki sifat pendiam, tapi jangan salah, Slamet memiliki sifat yang tegas dan juga pemberani. Dua sifat ini ditunjukkannya ketika adanya peralihan kekuasaan, yang berlangsung di Solo oleh Jepang.

Jepang menduduki kerajaan yang dipimpin Suchokan Wanabe. Kemudian dua pemuda, menjadi perwakilan dari masyarakat yang ingin melakukan perundingan dengan pihak Jepang. Perundingan yang dilakukan Muljadi Djojomartono dan Suadi, berlangsung di Markas Kempeitai (polisi militer Jepang).

Iran Bersiap Serang Balik Israel, Kata Penasihat Senior Ali Khamenei

Tapi ketika dua pemuda itu tiba di Kempeitai, ternyata ada seorang yang sudah lebih dulu berhasil menerobos ke dalam markas. Markas Jepang pada saat itu, dikenal dengan penjagaannya yang begitu ketat.

Sehingga ketika ada seseorang yang berhasil menerobos masuk, tentu hal ini membuat pihak Jepang terkejut. Pemuda pemberani itu adalah Slamet Rijadi. Ia berhasil masuk Markas Kempeitai dengan meloncati tembok dan membongkar atap markas.

VIVA Militer: Brigadir Jenderal TNI Ignatius Slamet Rijadi

Di balik sifatnya yang pemberani, ternyata Rijadi juga memiliki kepintaran di atas anak-anak seusianya. Saat ingin melanjutkan sekolahnya ke Meet Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Afdeling B pada tahun 1940, ia terpaksa meninggalkan harapannya untuk melanjutkan sekolah. Karena pada saat itu terjadi Perang Dunia II. 

Slamet Rijadipun mengikuti kegiatan pertahanan Bumi Putera, meski usianya saat itu baru 15 tahun. Ketika Jepang kembali menduduki Indonesia, Negeri Sakura itu mulai membentuk pasukan militer.

Tentunya, Rijadi tidak ingin ketinggalan akan hal itu. Sehingga, iapun memutuskan untuk mengikuti pendidikan di Sekolah Pelayaran Tinggi dan memperoleh ijazah navigasi. Selain itu, pria asal Solo juga lulus dengan predikat juara pertama.

Memiliki minat lebih dalam bidang kelautan, hal ini membuat RIjadi ingin mengikuti kursus tambahan. Usai lulus, Rijadi kemudian diangkat menjadi navigator pada kapal-kapal kayu yang berlayar di seluruh pulau Indonesia.

Menjelang Proklamasi Republik Indonesia, Rijadi yang memiliki sifat pemberani kembali melancarkan aksinya. Ia berhasil melarikan sebuah kapal kayu milik Jepang. Tapi usaha Jepang untuk menangkapnya, tidak pernah berhasil. Hingga Jepang menyerah kepada Sekutu.

Tidak hanya berhenti sampai di situ, Rijadi juga berhasil menghimpun kekuatan perjuangan yang terdiri dari pemuda bekas Peta-Heiho atau Kaigun. 

Karena keberhasilan dan keberaniannya dalam menghadapi Jepang, sesaat setelah terbentuknya Tentara Keamanan Rakyat (TKR), ia pun diangkat sebagai Komandan Batalyon II Divisi X dalam usia yang masih sangat muda yaitu 19 tahun.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya