Kisah Laksamana Eddy, Komandan Kapal Perang Terbaik Indonesia

VIVA Militer: Laksamana Raden Eddy Martadinata (kanan)
Sumber :

VIVA – Belanda sempat menandatangani perjanjian Renville dengan Indonesia, pada tanggal 17 Januari 1948. Namun tetap saja, negeri Kincir Angin itu kembali melakukan agresi militernya. 

Antisipasi Bencana Nasional, Pangkogabwilhan II Cek Kesiapan Pasukan PRCPB Yonzipur 10 Kostrad

Untuk menjaga aset-aset penting, MBU-ALRI dipindahkan dari Yogyakarta ke Aceh. Sehingga Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) beserta stafnya dipindahkan ke Aceh.

Tapi sebelum berangkat ke Aceh, Letkol Djajadiningrat menunjuk Raden Eddy Martadinata menjadi wakil ALRI di Aceh.

4 Kapal Perang Terlibat Dalam Latma Helang Laut Antara TNI AL dan Royal Brunei Navy di Laut Jawa

Berdasarkan pantauan VIVA Militer melalui catatan sejarah Museum TNI Senin 7 September 2020, ketika baru saja pindah, Belanda melancarkan agresi militer lagi. Saat itu ALRI berusaha untuk menembus blokade Belanda demi menyelundupkan senjata, demi memenuhi kebutuhan senjata tentara Republik Indonesia.

Peristiwa menembus blokade Belanda dikenal dengan Armada Penyelundup, yang dipimpin Mayor John Lie. Kemudian pada tanggal 1 Juli 1949, pimpinan angkatan laut memutuskan untuk memindahkan ALRI ke Yogya. Sementara itu ALRI yang berada di Aceh, sepenuhnya dipimpin Eddy. 

Kabar Duka TNI, Kolonel Leonardo Meninggal Dunia

Sehari sesudah Pemerintah Belanda mengakui kedaulatan RI, AL Belanda menyerahkan dua buah kapal perang jenis corvet yaitu HMS Morotai yang kemudian menjadi Kapal Perang Republik Indonesia (KRI) Hang Tuah. 

Lalu HMS Tidore, berubah nama menjadi menjadi KRI Patiunus. Ketika itu, Eddy ditunjuk sebagai komandan kapal KRI Hang Tuah. Peristiwa yang terjadi pada 28 Desember 1949, membuat pria kelahiran 1921 itu merasa senang. Karena cita-citanya sejak kecil untuk menjadi seorang pelaut sejati, akhirnya tersampaikan.

VIVA Militer: Laksamana Raden Eddy Martadinata

KRI Hang Tuah dianggap kapal perang terbesar milik Indonesia saat itu. Sehingga, untuk memupuk semangat cinta bahari para pemuda, maka pada bulan Februari 1950 KRI Hang Tuah diperkenalkan kepada masyarakat Jakarta.

Operasi pertama yang dijalankan oleh KRI Hang Tuah adalah untuk menumpas kelompok saparatis Andi Azis di Makassar. Kapal perang itu juga membawa rombongan yang dipimpin oleh dr. J. Leomena ke Ambon.

Rombongan ini rencananya akan mengadakan perundingan dengan pihak Republik Maluku Selatan (RMS). Kelompok pemberontak yang dipimpin oleh dr. Soumokil. Tapi Leimena gagal melakukan perundingan, untuk itu pasukan KRI Hang Tuah kembali ikut menumpas pemberontakan RMS.

Penumpasan kelompok pemberontak yang dilakukan KRI Hang Tuah, diketahui juga dibantu kapal perang ALRI lainnya. Pria asal Bandung itu, hanya lima bulan menjadi komandan KRI Hang Tuah sebelum mendapat jabatan baru.

R.E Martadinata ditunjuk sebagai Kepala Staf Daerah Militer Surabaya. Jabatan inipun hanya dipegangnya selama tiga bulan saja, sambil menunggu untuk ditugaskan sebagai Kepala Staf Operasi ALRI.

Eddy disebut-sebut sebagai satu-satunya perwira terbaik yang berpengalaman dan memiliki pengetahuan yang luas dalam memimpin kapal perang.

Untuk itu, ia kembali ditunjuk sebagai komandan KRI Gajah Mada. Perlu diketahui, KRI Gajah Mada merupakan kapal perang bekas Belanda yang sebelumnya bernamanya HMS Tjerk Hidders.

Menjadi komandan KRI Gajah Mada pada 22 Februari 1951, merupakan tugas yang berat bagi Eddy. Karena ia harus menumpas pemberontakan bersenjata dan membasmi penyelundupan yang saat itu kerap kali terjadi di Indonesia.

Setelah bertugas selama 18 bulan bersama KRI Gajah Mada, pada bulan Agustus 1952, Eddy kembali dan menjabat sebagai  Kepala Staf Operasi IV (KSO IV) merangkap sebagai Perwira Perencana.

Baca: Kisah Pertempuran Sengit Laksamana TNI Menahan Gempuran Belanda

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya