Detik-detik Pembunuhan Sadis Panglima AD Jenderal TNI Ahmad Yani
- Wikipedia
VIVA – Jenderal Ahmad Yani memangku jabatan sebagai Panglima Angkatan Darat pada 23 Juni 1962 hingga 1 Oktober 1965.
Namun pada saat itu situasi politik di Tanah Air sedang tak bersahabat. Sebab, ranah politik sedang didominasi Partai Komunis Indonesia (PKI).
Walau begitu, sebagai seorang yang berjuang mengusir penjajah Belanda dan merebut kemerdekaan, Jenderal Ahmad Yani tetap berdiri kokoh di belakang pemerintah. Apalagi beliau baru memadamkan pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
Nah memang ketika itu Presiden Soekarno bertindak cepat, agar terjadi keseimbangan politik dan PKI tak menguasai penuh maka dibuatlah garis balance of power antara PKI dan Angkatan Bersenjata.
Dalam sejarah hidup Jenderal Ahmad Yani yang dikutip VIVA Militer dari Museum TNI, Selasa 11 Agustus 2020, Ahmad Yani sebenarnya tak nyaman dengan kondisi negara saat itu.
Apalagi beliau orang yang menjunjung tinggi nilai disiplin militer. Hanya saja di satu sisi dia juga harus patuh kepada Presiden sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata.
Suatu ketika Angkatan Darat mendapat tuduhan-tuduhan yang tidak didasarkan dengan kebenaran. Dokumen Gillchrist disebarluaskan ke masyarakat, dokumen itu menyebutkan keterlibatan AD dalam rencana serangan salah satu negara asing ke Indonesia.
Mendengar adanya ancaman dari negara asing, PKI melalui Presiden menuntut untuk segera dibentuk Angkatan Kelima yaitu yang di mana kaum buruh dan tani yang merupakan massa PKI harus dipersenjatai. Mendengar gagasan itu, Yani dengan tegas menolaknya.
Begitu pula ketika Yani menolak gagasan Nasakomisasi ABRI yang juga diusulkan dari PKI. Karena itulah pertentangan antara Yani dengan PKI kian meruncing.
Segala cara dihalalkan PKI untuk bagaimana mereka dapat merebut dan menguasai negara. Termasuk mengadu domba tiga matra TNI
Puncak dari usaha itu adalah pemberontakan yang dilancarkan pada tanggal 30 September 1965. Pemberontakan inilah yang kemudian lebih dikenal dengan peristiwa G.30.S/PKI.
Memang sasaran pertama dari pemberontakan itu dengan melumpuhkan AD. Sehingga pejabat-pejabat AD harus diculik dan dibunuh, termasuk Jenderal Ahmad Yani.
Detik-detik pembunuhan sadis
Pada tanggal 1 Oktober 1965, tepat di rumah Ahmad Yani yang terletak di ujung Jalan Lembang, Jakarta sekelompok penculik berhasil menyergap pasukan pengawal.
Setelah itu Sersan Tumiran dalam pakaian seragam Cakrabirawa (pasukan Pengawal Istana) masuk ke dalam rumah dan memerintahkan Embok Milah (asisten rumah tangga) untuk membangunkan Jenderal Yani. Karena tidak berani, ia meminta Eddy (putra bungsu Yani) untuk membangunkan ayahnya.
Beberapa anggota penculik lainnya yang masuk melalui pintu samping menimbulkan kegaduhan sehingga membangunkan semua anak-anak Yani. Mendengar itu, Jenderal Yani segera bangun dan keluar ke ruang tamu belakang untuk menemui utusan tersebut.
Saat itu Yani sama sekali tidak curiga, karena yang datang adalah anggota Cakrabirawa. Sersan Raswad yang memakai tanda pangkat Kapten meminta Jenderal Yani yang diperintahkan Presiden untuk menghadap ke Istana.
Pada saat itu sempat terjadi adu mulut antara Yani dengan Tumiran. Karena waktu itu Yani ingin bersiap diri, namun ditentang oleh Tumiran yang menyebabkan Yani naik pitam. Yani sempat melontarkan kata-kata pada Tumiran tentang apa yang ia ketahui.
Kemudian Yani melangkah masuk ke ruangan tengah dengan menutup pintu kaca. Kemudian Praka Dokrin terkena tempelengan dari Yani. Tanpa ragu, Sersan Giyadi yang berdiri di samping Dokrin melepaskan begitu banyak tembakan ke arah Yani yang sedang membelakangi pintu kaca.
Setelah itu peluru-peluru menembus pintu kaca dan mengenai tubuh Jenderal Yani dan iapun rubuh tak berdaya dengan tubuh yang bersimbah darah. Dalam keadaan berlumuran darah, tubuhnya diseret ke perkarangan rumah dan dilemparkan begitu saja ke dalam truk.
Jenazahnya dimasukkan ke dalam sebuah sumur tua di Lubang Buaya bersama dengan para korban lainnya yang juga para petinggi di jajaran Pemerintahan. Pada tanggal 3 Oktober 1965, sumur itu ditemukan. Pada Hari Ulang Tahun ABRI ke 20, jenazah-jenazah korban pengkhianatan PKI dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kali Bata dengan upacara militer yang khidmat sekaligus mengharukan.
Berkat pengabdiannya kepada negara, tokoh Angkatan Darat yang memiliki 13 tanda jasa dan sekaligus ayah dari 8 orang anak dianugerahkan kepadanya gelar Pahlawan Revolusi pada tanggal 5 Oktober 1965.
Baca: PKI dengan berani mengadu domba dengan ketiga matra.