Kisah Letjen Kentot, Perwira TNI Ajudan Setia Jenderal Soeharto
- WorthPoint
VIVA – Mematuhi perintah atasan dalam melaksanakan tugas sudah menjadi kewajiban dan ciri khas prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI). Salah satu Perwira Tinggi (Pati) TNI yang dikenal tegas adalah mendiang Letnan Jenderal TNI (Purn.) Kentot Harseno.
Tak banyak data yang diperoleh VIVA Militer untuk coba menceritakan sosok Letjen Kentot saat masih hidup dan menjalankan tugasnya sebagai prajurit TNI. Terutama data foto, cukup sulit untuk mencari gambar yang mengabadikan mantan Panglima Komando Daerah Militer Jayakarta (Pangdam Jaya).
Menurut data yang dikutip VIVA Militer dari situs resmi Akademi Militer (Akmil) TNI, Kentot lahir di Temanggung, Jawa Tengah, 18 September 1938. Kentot merupakan lulusan Akmil 1961. Tak sendiri, sejumlah nama besar juga lulus bersama Kentot.
Sebut saja mantan Gubernur Sumatera Utara, Letjen TNI (Purn.) Radja Inal Siregar, mantan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara RI, Letjen TNI (Purn.) Tiopan Bernhard Silalahi, mantan Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABR) dan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Jenderal TNI (Purn,) Feisal Tanjung, serta salah satu dari tujuh Pahlawan Revolusi, Kapten Czi. (Anumerta) Pierre Andries Tendean.
Saat pemerintahan Orde Baru masih berkuasa di bawah komando Jenderal Besar TNI (Purn.) H. M. Soeharto, Kentot memiliki karier yang cukup cemerlang. Saat berpangkat Kolonek TNI, Kentot pernah menjadi ajudan Presiden Soeharto mulai dari 1978 hingga 1981.
Dalam buku berjudul "Dari Soekarno Sampai SBY: Intrik & Lobi Politik Para Penguasa" karya Prof. Dr. Tjipta Lesmana tahun 1990, Kentot disebut naik pangkat menajdi Mayor Jenderal (Mayjen) TNI, dan ditunjuk menjadi Panglima Kodam Jaya.
Kentot didapuk menggantikan Mayor Jenderal TNI Soerjadi Soedirdja. Soerjadi sendiri diketahui adalah mantan Gubernur DKI Jakarta, Menkopolkam, dan Menteri Dalam Negeri dan Otonomo Daerah Indonesia.
Pada saat menjadi Pangdam Jaya, Kentot dikabarkan penah diutus Soeharto untuk menangkap sejumlah tokoh pensiunan Jenderal TNI dan intelektual sipil, yang tergabung dalam Kelompok Petisi 50. Petisi 50 adalah sebuah dokumen yang berisi tentangan penggunaan filsafat negara Pancasila oleh Presiden Soeharto, terhadap lawan-lawan politiknya.
Beberapa tokoh TNI yang ikut menandatangani Petisi 50 adalah mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD), Jenderal Besar TNI (Purn) Abdul Haris Nasution, mantan Gubernur DKI Jakarta, Letjen TNI KKO (Purn) Ali Sadikin, dan mantan Kepala Kepolisian RI (Kapolri), Jenderal Pol. (Purn.) Hoegeng Imam Santoso.
Dalam sebuah buku lainnya "Pers Bertanya Bang Ali Menjawab" karya Ramadhan Karta Hadimadja yang terbit pada 1995, Letjen Ali Sadikin mengaku pernah didatangi oleh Kentot. Dari sini juga, VIVA Militer mengetahui bahwa Kentot dipanggil dengan sapaan "Seno" oleh para perwira militer Indonesia lainnya.
Dalam buku tersebut, Ali menyebut bahwa Kentot datang ke rumahnya dengan pakaian seragam lengkap. Ali juga mengatakan Kentot bersikap sopan dan tetap menggunakan tata krama ala TNI.
Setelah didatangi Kentot, Ali menghubungi Laksamana TNI (Purn) Soedomo, perwira tinggi TNI Angkatan Laut (AL), yang juga pernah menjabat Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Menkopolkam, Panglima Komando Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib), dan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL).
Setelah mendapat jawaban dari Soedomo bahwa ada kekeliruan dengan maksud kedatangan Kentot, Ali pun tenang dan akhirnya mengerti dengan situasi.
Kentot yang juga merupakan anggota Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang kini bernama Komando Pasukan Khusus (Kopassus), menghabiskan waktu 33 tahun dalam karier kemiliterannya. Kentot meninggal dunia di Jakarta, 5 Oktober 2008 pada usia 70 tahun.