Gerilya dengan 1 Paru-paru, Jenderal Soedirman Bikin Belanda Kewalahan

VIVA Militer: Jenderal Besar Soedirman
Sumber :
  • Wikipedia

VIVA – Perjalanan Soedirman sebagai panglima besar Tentara Nasional Indonesia (TNI) terbilang tidak mudah, bayangkan saja satuan yang berada di bawah kekuasaannya itu ternyata memiliki kelompok atau pada saat itu disebut laskar-laskar kecil lagi di dalamnya.

Danpuspom TNI Sebut Ada 254 Anggota Dipecat Buntut Terlibat Kasus Narkoba

Berdasarkan informasi yang dikumpulkan VIVA Militer Senin 13 Juli 2020, karena memiliki duri di dalam daging, tentu kedua satuan itu tidak dapat berjalan berdampingan dengan baik. Hal itulah yang membuat Jenderal Soedirman ingin menyatukannya.

VIVA Militer: Jenderal Besar Soedirman

Lanal Banten Kerahkan Kekuatan di Jalur Penyebrangan Merak hingga Kawasan Wisata untuk Amankan Libur Nataru 2024

Tepatnya pada bulan Mei 1947, pemerintah mengumumkan tentang pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Kemudian pada tanggal 3 Juni 1947 organisasi baru ini sudah terwujud dan sejak saat itu negara hanya akan mempunyai sebuah tentara.

Dengan begitu para laskar ini harus bergabung ke dalam TNI. Sementara itu Pak Dirman yang teguh pendiriannya bahwa “satu Negara hanya ada satu Tentara”  bekerja keras untuk menyatukan tetap semua kekuatan nasional itu.

Mengerikan, Anak Buah Jenderal TNI Maruli Nekat Terjang Banjir Besar Demi Selamatkan Dua Nyawa

Harus bekerja keras untuk menyatukan pasukan, Pak Dirman kembali dihadapkan dengan masalah perbedaan pendapat dengan pemerintah yang kerap terjadi. Perbedaan pendapat itu terjadi karena Pak Dirman ingin menyelesaikan pertentangan dengan Belanda melalui bidang militer, tapi pemerintah lebih memilih cara diplomasi.

Cara diplomasi yang ditempuh pemerintah melahirkan Perjanjian Linggajati, tapi lahirnya perjanjian ini malah tidak menyelesaikan masalah. Justru perjanjian ini menjadi jalan pembuka jalan bagi Belanda untuk melancarkan agresi militernya (21 Juli 1947).

Pria lulusan Holiandsch Inlandsche School ini kembali harus menghapi masalah internal yang ditandai dengan lahirnya golongan oposisi yang dibentuk oleh bekas Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin.

Lahirnya gerakan oposisi ini sempat menimbulkan kerusuhan yang terjadi di Solo antara pasukan Siliwangi dengan pasukan oposisi. Namun pasukan oposisi bertambah kuat ketika Musso, seorang komunis yang kembali ke Indonesia usai dari Uni Sovyet. Dengan begitu diperlukan kewibawaan Panglima Besar Soedirman untuk menyelesaikannya permasalahan tersebut.

Panglima Besar Jenderal Soedirman (kiri).

Sementara itu pada tanggal 18 September 1948 Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dipimpin Amir Syarifuddin, Musso dan kawan-kawannya melancarkan pemberontakan Madiun.

Pada saat pemberotakan Madiun digencarkan, Pak Dirman terpaksa tinggal dirumah setelah beberapa waktu sebelumnya menjalani operasi. Salah satu paru-parunya tidak berfungsi lagi, namun pemberontakan Madiun dapat dipadamkan dalam waktu singkat.

Pada tanggal 18 Desember 1948 Jenderal Soedirman kembali memegang pimpinan atas seluruh Angkatan Perang setelah menderita sakit beberapa waktu lamanya. Namun pada 19 Desember 1946 Belanda menerjunkan pasukannya yang bergerak menuju ibukota dan memulai agresi Militer II Belanda.

Masih dalam keadaan masih sakit, Panglima Besar Soedirman berangkat ke Istana untuk menerima instruksi dari Presiden. Presiden menasihatkan agar Pak Dirman kembali ke rumah karena masih sakit. Namun, nasihat itu tidak dipenuhi.

Selagi menunggu keputusan Pemerintah, Pak Dirman juga menyusun perintah untuk seluruh anggota Angkatan Perangnya. Perintah yang disiarkan juga oleh Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta itu pada pokoknya berbunyi : “Semua Angkatan Perang menjalankan rencana yang telah ditetapkan untuk menghadapi serangan Belanda”.

Keputusan pemerintah yang keluar saat itu adalah untuk tetap tinggal di dalam kota dan Presiden Soekarno juga meminta agar Jenderal Soedirman tetap tinggal di dalam kota, namun Soedirman memberikan jawaban di luar dugaannya. Panglima Besar menjawab: “Tempat saya yang terbaik adalah di tengah-tengah anak buah dan Saya akan meneruskan perjuangan gerilya dengan sekuat tenaga seluruh prajurit.”

VIVA Militer: Pasukan TNI Pada Masa Kemerdekaan Indonesia Tahun 1948

Setelah memberikan jawaban kepada Soekarno, Soedirman langsung meninggalkan Yogyakarta dan memulai perjalanan gerilya yang berlangsung selama kurang lebih tujuh bulan. Selama itulah pria kelahiran 1916 itu menghadapi berbagai kesulitan seperti sulitnya memperoleh obat-obatan dan harus berpindah tempat agar tidak tertangkap Belanda.

Singkat cerita, pada tanggal 1 Maret 1949 pasukan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto meluncurkan serangan ke Yogyakarta dan peristiwa ini menjadi titik balik bagi kemenangan TNI. 

Kemudian pada tanggal 7 Mei 1949, pemerintah menandatangani perjanjian Roem-Royen Statement. Dasar perjanjian itu mengungkapkan bahwa Presiden, Wakil Presiden dan pejabat-pejabat pemerintah yang dulunya ditawan Belanda di Pulau Bangka harus dikembalikan ke Yogyakarta.

Baca: Latihan Militer China di Tibet Bikin India Meradang Lagi

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya