Ini Tampang Tentara Penjajah Zionis Israel yang Mati Dibantai Pasukan Hamas Palestina
- ynetnews.com
VIVA – Sejumlah tentara Israel tewas dalam pertempuran yang pecah di Jalur Gaza, Palestina, Rabu 1 November 2023. Pasukan penjajah Zionis Israel ini meregang nyawa terkena serangan rudal anti-tank dan peluncur granat anggota Hamas Palestina.
Dalam laporan yang dikutip VIVA Militer dari Ynetnews, para tentara Israel yang tewas berasal dari Batalyon ke-77 Brigade Lapis Baja ke-7 dan Batalyon Tzabar Brigade Givati Angkatan Darat Israel.
Nama pertama adalah Letnan Ariel Reich (24), perwira Batalyon ke-77 yang tergabung dalam formasi Badai Golan. Selain Reich, anggota Batalyon ke-77 yang tewas adalah Kopral Asif Luger (21).
Sementara itu, tujuh tentara Israel lainnya yang meregang nyawa diketahui adalah anggota Batalyon Infanteri ke-424 atau yang dikenal dengan Tzabar, Brigade ke-84 yang dijuluki Givati.
VIVA Militer: Proses evakuasi mayat tentara Israel
- straitstimes.com
Ketujuh tentara Israel yang tewas adalah Sersan Adi Danan, Sersan Halel Solomon, Sersan Erez Mishlovsky, Sersan Adi Leon, Sersan Roei Dawi, Sersan Pdaya Mark, Sersan Roy Saragusti, Kopral Ido Ovadia dan Kopral Lior Siminovich.
Dua orang tentara Israel lainnya yang tewas merupakan anggota unit medis tempur. Keduanya adalah Sersan Itay Yehuda dan Sersan Shay Arvas.
Kematian lusinan prajurit adalah harga mahal yang harus dibayar militer Israel, usai memutuskan melancarkan invasi skala penuh jalur darat di Gaza.
Meski mendapat banyak resistensi, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, tetap bersikeras memerintahkan Pasukan Pertahanan Israel (IDF) menerobos Gaza.
VIVA Militer: Proses evakuasi mayat tentara Israel
- france24.com
Militer Israel mengklaim sejak memasuki Gaza, pihaknya telah menggempur 11.000 titik yang diklaim sebagai basis pasukan Hamas Palestina. Namun demikian, aksi militer Israel juga telah membantai lebih dari 8.800 warga sipil Palestina.
Korsel Alami Kekosongan Kepemimpinan usai Pemakzulan Presiden Yoon, Korut Mengintai
Pemakzulan parlemen terhadap Presiden Korsel memicu kekhawatiran atas kesiapan militer terhadap ancaman Korea Utara, karena mereka mengalami kekosongan kepemimpinan.
