Lebih dari 28 Ribu Bocah Tewas dalam Perang Afghanistan
- Daily Beast
VIVA – Perang Afghanistan yang berkecamuk selama lebih dari 15 tahun, menimbulkan jumlah korban jiwa mencapai jutaan. Yang terbaru, Dana Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF), merilis data jumlah korban jiwa anak-anak yang menjadi korban perang di Afghanistan.
Konflik bersenjata di Afghanistan setidaknya sudah berlangsung sejak 2001. Invasi militer Amerika Serikat (AS) di negara yang terletak di wilayah Asia Selatan dan Asia Tengah ini, membuat Afghanistan dilanda kehancuran di semua sektor.
Anak-anak menjadi yang terdampak sangat parah. Jutaan anak Afghanistan kehilangan orang tua dan tempat tinggal. Bahkan, anak-anak tak berdosa ikut meregang nyawa dalam perang yang berkecamuk.
Menurut data yang dikutip VIVA Militer dari UNICEF, Afghanistan memiliki jumlah korban jiwa tertinggi yang timbul dari anak-anak. Dengan jumlah total lebih dari 28.500 jiwa, korban anak-anak di Afghanistan merupakan yang tertinggi di dunia dan terverifikasi secara global.
"Afghanistan misalnya, memiliki jumlah korban anak terverifikasi tertinggi sejak 2005. Lebih dari 28.500 (jiwa) terhitung 27 persen dari semua korban anak terverifikasi secara global," bunyi pernyataan UNICEF.
Selain Afghanistan, Yaman, Suriah dan Ethiopia Utara juga menjadi "neraka" bagi anak-anak. Jutaan nyawa anak-anak melayang akibat perang dan kekerasan yang berlangsung dalam konflik bersenjata.
Tahun demi tahun, pihak-pihak yang berkonflik terus menunjukkan pengabaian yang mengerikan terhadap hak dan kesejahteraan anak-anak," tegas Direktur Eksekutif UNICEF, Henrietta Fore.
"Anak-anak menderita, dan anak-anak sekarat karena ketidakpedulian ini. Setiap upaya harus dilakukan untuk menjaga anak-anak ini aman dari bahaya," ujarnya.
PBB sendiri total sudah memverifikasi 266 ribu kasus pelanggaran berat terhadap anak-anak di lebih dari 30 situasi konflik di Afrika, Asia, Timur Tengah dan Amerika Latin selama 16 tahun terakhir.
Namun demikian, angka-angka tersebut merupakan kasus yang diverifikasi berdasarkan mekanisme pemantauan dan pelaporan yang dikepalai PBB. Itu berarti, kemungkinan besar jumlah kasus sebenarnya bisa jauh lebih tinggi.