Jenderal TNI Wiranto: Dulu SBY Masih Bisa Saya Perintah
- Youtube
VIVA – Masih segar dalam ingatan sosok seorang Jenderal TNI (Purn.) Wiranto, bagaimana meletusnya Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 di Jakarta. Saat itu, Wiranto tengah mengemban amanat sebagai Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), merangkap Menteri Pertahanan dan Keamanan.
Tepatnya pada 21 Mei 1998, Presiden Republil Indonesia (RI) saat itu, Jenderal Besar TNI (Purn.) Soeharto, memutuskan untuk mundur dari jabatannya. Mantan Panglima ABRI ke-5 memilih meletakkan jabatannya, untuk menghindari perpecahan dan meletusnya ketidakstabilan di Indonesia.
Dalam pantauan VIVA Militer dalam sebuah video yang diunggah oleh Institut Teknologi Bandung (ITB), Wiranto mengisahkan pengalamannya yang sangat berharga di depan sejumlah mahasiswa, di Aula Barat ITB, 31 Oktober 2019.
Dikatakan Wiranto, sebenarnya ia bisa saja mengambil alih pemerintahan di mana saat itu tengah mengalami kekosongan kekuasaan. Akan tetapi menurutnya, ada perhitungan seksama yang dilakukannya beserta staf-stafnya. Dalam hal ini, Mayjen TNI Zacky Anwar Makarim, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Badan Intelijen ABRI (BIA), dan Letjen TNI Susilo Bambang Yudhoyono, yang memegang posisi sebagai Kepala Staf Sosial Politik ABRI.
"Mengapa saya tidak mengambil alih seperti militer di Thailand misalnya. Kesempatan gampang sekali, saya Menteri Pertahanan, Panglima ABRI, saya juga diangkat menjadi Panglima Komando Keamanan dan Keselamatan Nasional. Saya boleh menentukan kebijakan tingkat nasional," ujar Wiranto.
"Gampang sekali, enggak usah kampanye, enggak usah bikin partai jadi presiden pasti. Tetapi pada saat saya tanya kepada staf, apakah kalau saya mengambil alih ini, pengorbanannya apa saja, risikonya apa saja," katanya.
Setelah itu, Wiranto pun mendapatkan jawaban dari Zacky di mana ada tiga risiko besar yang harus dihadapi jika mengambil alih pemerintahan. Selain masalah ekonomi, Wiranto juga dihadapkan dengan kemungkinan bentrokan antara personel ABRI yang sekarang menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI), dengan ribuan mahasiswa yang menduduki Gedung DPR/MPR.
"Risiko pertama tentunya kita harus menurunkan Dollar yang Rp15.000 kursnya menjadi Rp2.300. Yang kedua, ekonomi kita terpuruk dan harus memperbaiki itu. Butuh satu hubungan bilateral maupun regional. Pemerintahan militer waktu itu pasti ditolak oleh dunia internasional," ucap Wiranto melanjutkan.
"Tetapi yang ketiga, saya tanya kepada staf saya namanya Mayor Jenderal Zaky Anwar Makarim, 'Kalau saya mengambil alih, berarti saya akan membuat pemerintahan berjalan wajar dan kemudian kita rebut Gedung DPR/MPR. Berapa korban mahasiswa? Ada perhitungan korban di ilmu militer. Mayjen Zaky Makarim menghitung dan menjawab, 'Paling tidak 200 atau 250 mahasiswa mati Pak'," katanya.
Wiranto seketika tersadar bahwa tidak mungkin mengorbankan nyawa ratusan mahasiswa hanya demi kekuasaan. Di sini juga letak kisah Wiranto yang saat itu menjadi atasan Letjen TNI Susilo Bambang Yudhoyono atau yang lebih dikenal dengan SBY, yang di kemudian hari menjadi Presiden RI ke-6.
"Dan saya cepat berpikir bahwa, tidak mungkin saya mengorbankan adik-adik saya, anak-anak saya, hanya demi sebuah kekuasaan. Dan itu lah yang membuat saya memutuskan untuk tidak kita ambil. Besok kita serahkan kepada Wakil Presiden," ujar Wiranto lagi.
"Yang bertanya terakhir waktu itu Pak SBY. Letnan Jenderal SBY waktu itu Kepala Staf Sosial Politik saya. Beliau nanya, 'Apakah Bapak akan ambil alih besok?' Saya jawab 'Tidak, kita serahkan kepada Wakil Presiden'. Kita buat pernyataan politik, catat, beliau mencatat waktu itu. Masih bisa saya perintah waktu itu, sekarang enggak bisa," katanya.
Pada akhirnya, setelah Presiden Soeharto lengeser pemerintahan Republik Indonesia dilanjutkan oleh Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Presiden RI.