Konspirasi Amerika Dukung Turki, Usir Militer Asing di Libya
- Al Jazeera
VIVA – Amerika Serikat (AS) selalu memainkan perannya sebagai polisi dunia di seluruh pelosok negeri. Baru-baru ini AS kembali menunjukkan ketidaksukaannya terhadap kehadiran militer asing di Libya. Pemerintahan Donald Trump menganggap kehadiran militer asing seperti tentara bayaran Rusia, Mesir, Uni Emirat Arab, dan Prancis yang mendukung Tentara Nasional Libya (LNA) pimpinan Jenderal Khalifah Haftar dalam menghadapi pemerintahan nasional Libya hasil kesepakatan PBB (GNA) sebuah kejahatan yang luar biasa.
Penasehat Keamanan Amerika Serikat (AS), Robert O'Brein pada hari Selasa, 4 Agustus kemarin kembali mengeluarkan pernyataan pedas terhadap sejumlah negara-negara yang saat ini mendukung pasukan Khalifah Haftar menentang pemerintahan GNA yang dipimpin oleh Perdana Menteri Fayez Mustafa al-Sarraj.
"Amerika Serikat mengutuk keterlibatan militer asing di Libya, termasuk penggunaan tentara bayaran dan kontraktor militer swasta di Libya," kata Robert O'Brein dikutip VIVA Militer dari Reuters, Rabu, 5 Agustus 2020.
Dia menambahkan, Presiden AS Donald Trump telah berbicara dengan beberapa pemimpin dunia tentang situsasi di Libya yang beberapa pekan terakhir ini memanas.
Menurut O'Brein, Presiden Trump membahas dengan sejumlah pemimpin dunia itu perlunya menurunkan eskalasi di Libya dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron, Presiden Mesir Abdel Fattah Al-Sisi, dan Putra Mahkota Uni Emirat Arab, Mohammad bin Zayed. Tapi, O'Brein tidak menjelaskan apakah Trump juga membahas persoalan di Libya itu dengan para pemimpin Turki.
Karena sebenarnya Turki juga telah banyak ikut campur di Libya dengan mendukung pemerintahan Libya hasil kesepakatan nasional yang dikomandoi oleh Fayez al-Sarraj. Dukungan Turki kepada pemerintahan Libya bukanlah dukungan hampa belaka, Pemerintahan Recep Tayiip Erdogan mendapatkan kontrak kerjasama dengan pemerintahan Fayez al-Sarraj untuk melakukan eksplorasi sumber daya minyak di Laut Mediterania atas persetujuan al-Sarraj.
Hanya saja O'Brein mengatakan, upaya keterlibatan asing untuk mengeksploitasi konflik menimbulkan bahaya besar bagi stabilitas regional dan perdaganan global.
O'Brein juga mendesak semua pihak untuk memungkinkan National Oil Corp Libya untuk melanjutkan pekerjaannya, dengan transparansi penuh, dan untuk menerapkan solusi demiliterisasi untuk Sirte dan al-Jufra. Tidak hanya itu, O'Brein juga mengajak semua negara-negara asing yang bersitegang di Libya dapat menghormati embargo senjata PBB dan menyelesaikan gencatan senjata di bawah pembicaraan yang dipimpin PBB.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres telah memperingatkan bahwa ada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya, yaitu campur tangan asing dan tentara bayaran di negara penghasil minyak Libya.
O'Brein juga secara terang-terangan mengatakan bahwa Amerika Serikat sangat terganggu oleh meningkatnya konflik di Libya, serta intervensi oleh kekuatan asing merusak kepentingan keamanan kolektif Amerika Serikat dan sekutunya di Timur Tengah.
Dengan demikian sangat jelas bagaimana posisi Amerika Serikat (AS) di Libya yang mengklaim dirinya seolah-olah netral. Amerika sama sekali tidak menginginkan Libya dikendalikan oleh Tentara Nasional Libya (LNA) pimpinan Marsekal Khalifa Haftar. Sebab, jika Libya dimenangkan oleh Khalifa Haftar, berarti itu merupakan kemenangan bagi Rusia, Mesir, UEA, dan Prancis yang saat ini berada di kubu Khalifa Haftar. Begitu juga sebaliknya, kalau konflik Libya ini berhasil dimenangkan oleh pemerintahan Libya hasil kesepakatan internasional yang dipimpin oleh Fayez al-Sarraj, itu berarti kemenangan bagi Turki dan Amerika Serikat.
Untuk diketahui, konflik Libya pecah setelah penggulingan pemimpin Muammar Gaddafi yang didukung NATO pada 2011. Sejak 2014, negara itu terpecah, dengan pemerintah yang diakui secara internasional dibawah kendali Fayez al-Sarraj dengan mengendalikan ibukota, Tripoli, dan barat laut, sementara pemimpin militer Khalifa Haftar di Benghazi memerintah di timur.
Masing-masing kubu memiliki dukungan negara asing, Khalifa Haftar didukung Rusia, Mesir, UEA, dan Prancis, sementara Pemerintahan Libya hasil kesepakatan nasional (GNA) didukung oleh Turki dan Amerika.
Baca : Gila, Ternyata Rusia Punya 'Monster Nuklir' yang Bisa Membuat Tsunami