Sadis, Dalam 3 Bulan 102 Warga Sipil Jadi Korban Perang di Libya
- Daily Sabah
VIVA – Dewan Kehormatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) mulai mempersoalkan kehadiran tentara bayaran Rusia dan Mesir di Libya sepanjang konflik saudara berlangsung.Â
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyatakan, konflik di Libya kini telah memasuki fase baru, terlebih lagi ketika masuknya campur tangan asing akhir-akhir ini yang jauh lebih mengerikan. Dia mengecam keras keterlibatan negara-negara asing di Libya, terlebih lagi tentang keberadaan pasukan militer yang berkumpul di kota Sirte, antara Tripoli bagian barat dan Benghazi timur.
Dia mencatat, selama bulan April hingga Juni 2020 tercatat sekitar 120 warga sipil tewas dan 254 warga sipil cedera akibat konflik berkepanjangan antara Tentara Nasional Libya (LNA) pimpinan Khalifa Haftar yang didukung Rusia dan Mesir dengan pasukan militer Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) yang didukung Turki.Â
"Antara April dan Juni tahun ini misi PBB telah mendokumentasikan setidaknya 102 kematian warga sipil dan 254 warga sipil cedera - peningkatan 172 persen dibandingkan dengan kuartal pertama tahun 2020. Ada juga setidaknya 21 serangan terhadap fasilitas medis, ambulans dan tenaga medis," kata Gutteres saat konfrensi video DK PBB tingkat menteri dikutip VIVA Militer dari Al-Jazeera News, Kamis, 9 Juli 2020.
"Kami sangat prihatin dengan peningkatan militer yang mengkhawatirkan di sekitar kota, dan tingginya campur tangan asing dalam konflik yang melanggar embargo senjata PBB, resolusi DK PBB, dan komitmen yang dibuat oleh Negara-negara Anggota di Berlin," tambah Guterres.Â
Dalam rapat tersebut, DK PBB juga memunculkan laporan rahasia yang sebelumnya pernah dirilis oleh Komite Sanksi Libya UNSC yang menyebut bahwa kontraktor militer swasta Rusia Wagner Group telah mengerahkan 1.200 tentara bayaran ke Libya untuk memperkuat pasukan Khalifa Haftar.Â
Namun, tudingan itu dibantah keras  oleh Duta Besar Rusia untuk PBB, Vassily Nebenzia. Dia menegaskan bahwa pemerintah Rusia tidak pernah campur tangan dalam urusan konflik yang terjadi di Rusia.
"Tetapi kita tahu tentang personil militer negara-negara lain, termasuk dari negara-negara yang menuduh kita, untuk hadir di tanah Libya, Timur dan Barat. Kami menyerukan semua negara yang memiliki pengaruh pada partai-partai Libya untuk mendorong sebuah gencatan senjata," kata Nebenzia.
Sebagaimana diketahui, Libya terjerumus ke dalam kekacauan oleh pemberontakan yang didukung NATO tahun 2011 yang menggulingkan dan membunuh pemimpin lamanya, Muammar Khadafi.
Sejak 2014, negara kaya minyak itu terpecah, dengan pemerintah yang diakui secara internasional mengendalikan ibukota, Tripoli, dan barat laut, sementara Tentara Nasional Libya (LNA) yang dipimpin komandan militer pemberontak Khalifa Haftar di Benghazi mengontrol Libya bagian timur.
Pasukan Khalifa Haftar didukung oleh Uni Emirat Arab (UEA), Mesir dan Rusia. Sementara pasukan pemerintah atua GNA didukung oleh Turki. Hingga hari ini kedua kubu yang memperebutkan pengaruh di Libya itu masih terlibat dalam serangkaian pertempuran.Â
Baca:Â Sadis, GNA Temukan Kuburan Massal Di Bekas Markas Khalifa Haftar