Dokumen PBB Bocor, Bukti Rusia Kirim Ribuan Tentara Bayaran ke Libya
- Global Sentinel
VIVA – Ketegangan di Libya hingga kini masih terus terjadi. Tampaknya ketegangan antara Pasukan Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) dengan Tentara Nasional Libya (LNA) di bawah komando Marsekal Khalifa Haftart idak akan pernah surut. Meskipun, sekian kali kesepakatan gencatan senjata antar pihak telah diberlakukan.
Terlebih lagi, dengan adanya campur tangan negara-negara asing yang mempunyai berbagai macam kepentingan di Libya. Sepertinya, mendambakan Libya damai jauh dari harapan.
Baru-baru ini sebuah dokumen PBB bocor ke publik. Dokumen itu berisi hasil laporan pemantau sanksi independen yang ditujukan kepada Komite Sanksi Dewan Keamanan PBB.
Dalam dokumen setebal 57 halaman, terungkap bahwa salah satu perusahaan kotraktor militer swasta Rusia, Wagner Group, telah mengerahkan sekitar 1200 tentara bayaran ke Libya untuk mendukung dan memperkuat pasukan Haftar.
Hal ini dilakukan untuk demi menguasai Libya dan melenyapkan GNA yang didukung Turki dan Amerika Serikat (AS).
Menurut Pemantau Sanksi PBB dalam laporannya, Wagner Group telah mengirim orang-orang yang terlatih untuk menjalankan tugas-tugas militer khusus, termasuk tim runduk jitu atau sniper.
"Kami sudah lama tahu bahwa tentara bayaran Rusia beroperasi di Libya tetapi kami mungkin tidak tahu skala operasinya," tulis jurnalis Al-Jazeera, James Bays.
Pengerahan pasukan Rusia ke Libya juga dibenarkan oleh PBB. Bahkan, para Pemantau Sanksi PBB mengakui telah mengidentifikasi sejumlah penerbangan dari Rusia ke Libya Timur sejak Agustus 2018 lalu hingga Agustus 2019, diduga kuat penerbangan yang menggunakan pesawat sipil itu terkait dengan Grup Wagner atau perusahaan terkaitnya.
Dalam laporan itu juga menjelaskan secara rinci 122 operator Wagner yang telah beroperasi di Libya selama ini. 122 operator itu terdiri dari 39 kelompok sniper spesialis Wagner dan 83 operator lainnya merupakan unit tempurnya.
Juru Bicara Sekertaris Jenderal PBB, Stephane Dujarric mengatakan sangat prihatin dengan kondisi tersebut. Menurut Dujarric, keterlibatan Rusia di Libya justru akan memperkeruh suasana di Libya.
"Kami sangat prihatin. Itu adalah sesuatu yang tidak membantu rakyat Libya," kata Stephane.
Perlu diketahui, konflik di Libya bermula sejak Amerika Serikat (AS) memberlakukan embargo senjata ke Libya pada 2011 silam. Ketika itu gerakan internal Libya untuk menggulingkan rezim Muamar Gaddafi menguat. Sampai pada akhirnya Gaddafi tewas terbunuh oleh pasukan pemberontak Misratah.
Pasca kematian Gaddafi, perang saudara di Libya terus berkecamuk. Libya pun terpecah belah antara wilayah-wilayah yang dikendalikan oleh GNA yaitu Tripoli, dan wilayah Barat Laut. Sementara Tentara Nasional Libya (LNA) Khalifa Haftar memegang kendali di wilayah timur di Benghazi.
Haftar sering kali melakukan serangan untuk merebut Tripoli dari dominasi pasukan GNA. Begitu juga sebaliknya. Keduanya juga memiliki back up atau dukungan dari negara luar, Haftar didukung oleh UAE, Mesir, dan Rusia. Sementara GNA didukung oleh Turki dan AS.