Kisah Panglima Muslim Pertama dalam Sejarah Militer Thailand (1)
- The Bangkok Post
VIVA – 2005 menjadi tahun emas bagi sosok Jenderal Sonthi Boonyaratglin. Saat itu, pria kelahiran 2 Oktober 1946 ini menduduki posisi penting dan mengubah sejarah dunia militer Thailand. Kariernya tak lantas berjalan mulus. Ia pernah beberapa kali melakukan hal kontroversial, termasuk pertikaiannya dengan Thaksin Shinawatra, Perdana Menteri Negeri Gajah Putih periode 2001 hingga 2006.
Menamatkan pendidikan di Akademi Militer (Akmil) Kerajaan Thailand Chulachomklao pada 1969, kualitas Boonyaratglin muda sudah terlihat. Sonthi menjadi bagian penting dari Korps Infanteri Tentara Kerajaan (Royal Army Infanteri Corps).
Tak cuma itu, Sonthi juga dipercaya untuk memimpin beberapa unit tempur termasuk dalam Komando Perang Khusus, pasukan elite Angkatan Darat Thailand yang berbasis di provinsi Lopburi. Pria asal Pathum Thani ini juga terlibat dalam beberapa pertempuran, salah satunya perang Vietnam yang meletus pada November 1955 hingga 30 April 1975.
Menurut data Wayback Machine, Thailand menjadi salah satu negara yang terlibat dalam Perang Vietnam. Tercatat, Thailand yang menjadi salah satu sekutu Amerika Serikat dan Australia, mengirimkan sekitar 256 ribu pasukan dalam perang itu mulai 1965 hingga 1973.
Saat itu, Sonthi berada di bawah komando dua sosok Panglima Tentara Kerajaan Thailand, Jenderal Thanom Kittikachron, dan Jenderal Praphas Charusathien.
Thanom pernah menjadi Panglima Tentara Kerajaan Thailand mulai 1967 hingga 1973. Thanom bahkan sempat menduduki posisi Perdana Menteri Thailand periode 1963 hingga 1973. Setelah Thanom menjadi Perdana Menteri, posisi Panglima ditempati oleh Prapas, yang menjabat sebagai Panglima Angkatan Darat Kerajaan Thailand periode 1964 hingga 1973.
Pasca Perang Vietnam, perjalanan karier Sonthi di militer Thailand semakin menanjak. Dengan dukungan dua mantan Panglima Tentara Kerajaan Thailand, Jenderal Surayud Chulanot dan Jenderal Prem Tinsulanonda, Sonthi pada akhirnya terpilih sebagai panglima tertinggi militer pada 2005.
Terpilihnya Sonthi mendobrak anggapan publik yang sebelumnya tak yakin bahwa ia takkan menduduki jabatan itu. Sebab menurut The Star, meski punya banyak pengalaman dalam Komando Perang Khusus (Special Warfare Command), Sonthi dianggap sebagai oposisi Thaksin yang menjabat Perdana Menteri Thailand saat itu.
Menjadi orang nomor satu di tubuh militer Thailand, Sonthi dihadapkan dengan banyak masalah. Krisis Thailand Selatan menjadi salah satu masalah serius yang harus diselesaikan Sonthi. Meskipun yakin bisa menyelesaikan konflik itu, nyatanya Sonthi lebih banyak mendapat gelombang kritik.
Sebab, klaim Sonthi bisa mengakhiri konflik dengan pendekatan "baru dan efektif" nyatanya hanya hisapan jempol. Pemberontakan yang dilakukan oleh gerakan separatis Melayu di tiga provinsi Thailand, Pattani, Yala, dan Narathiwat, tak lantas bisa diselesaikan.
Sonthi sempat menganggap bahwa mantan gerilyawan komunis yang pernah melakukan pemberontakan pada 1965 hingga 1983, jadi dalang konflik di Thailand Selatan. Akan tetapi, anggapan itu sepertinya salah. Sebab menurut data The Bangkok Post, kritik terhadap Angkatan Darat Kerajaan Thailand semakin meruncing.
Bagaimana tidak, meski mendapat dukungan penuh dari pemerintah Thailand untuk memerangi pihak pemberontak, Sonthi justru tak tahu siapa sosok dalang krisis ini. Sonthi juga mendapatkan resistensi dari Guberbur tiga provinsi Thailand selatan. Ketiga pemimpin daerah ini menganggap pernyataan Sonthi yang mengaitkan pemberontakan Thailand Selatan dengan anggota separatis komunis tak berkaitan.
"Kami masih belum mengetahui siapa dalang dan pemimpin para militan yang sedang kami hadapi ini. Tetapi, kami tidak sendirian. Ini adalah situasi yang sama di terjadi di seluruh dunia termasuk di Irak. Di mana, kami tak tahu banyak tentang musuh," ujar Sonthi dikutip The Bangkok Post.
Konflik di Thailand Selatan semakin mengerikan, setelah pada Agustus 2006 para pemberontak membom 22 bank di Provinsi Yala. Tak cuma itu, enam toko di kota Hat Yai, Provinsi Songkhla, yang berada dekat dengan perbatasan Malaysia, juga jadi sasaran pengeboman.
Lagi-lagi, Sonthi memberikan pernyataan yang menuduh Bersatu (Front Persatuan Kemerdekaan Pattani), sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pengeboman itu. Dalam analisanya, anggota Bersatu menjadikan 22 bank di Yala dan enam toko di Songkhla sebagai sasaran pengeboman sebagai bentuk sikap. Sebab Agustus adalah bulan di mana Bersatu lahir pada 1989.
Bersatu sendiri merupakan gabungan sejumlah organisasi separatis Thailand Selatan seperti Pattani United Liberation Organsation (Pulo), Barisan Revolusi Nasional Melayu Pattani (BRN), dan Gerakan Muhahideen Islam Pattani (GMIP). Di sisi lain, Sonthi sebenarnya ingin bernegosiasi dengan para anggota gerakan separatis ini. Sayangnya, keinginan ini bertentangan dengan apa yang dimau pemerintah.
Thaksin sama sekali tak mau pihaknya melakukan perundingan dengan para pemberontak. Hal ini yang membuat hubungan Sonthi dengan Thaksin menjadi semakin buruk.
"Kami telah mendengar bahwa Bersatu adalah dalang peristiwa ini. Ini mungkin sebuah front politik. Kami tidak tahu apakah itu benar atau tidak. Mengapa kita tak mencoba untuk mencari tahu siapa mereka," kata Sonthi dikutip Asia Sentinel.