Hutan Mangrove: “Pahlawan” untuk Nelayan dan Petani di Desa Kacepi
- Desa Kacepi
VIVA – Sebagian wilayah di Maluku memang menyimpan hasil bumi yang tidak bisa diremehkan. Tambang emas, salah satunya. Faktanya, tambang emas di Maluku, tepatnya di Maluku Utara ini menjadi daya tarik utama masyarakat Desa Kacepi, Kecamatan Pulau Gebe, Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara untuk bisa memperoleh Rupiah.
Meski tambang emas bisa menjadi lahan pekerjaan yang menggiurkan, tidak sedikit penduduk di Desa Kacepi justru memilih profesi lain sebagai nelayan dan petani. Dua profesi inilah yang menjadi profesi yang ditekuni masyarakat Desa Kacepi.
Untuk diketahui, Desa Kacepi memiliki penduduk yang 75 persen berprofesi sebagai pekerja tambang dan sisanya berprofesi sebagai nelayan dan pekebun kelapa. Namun demikian, keadaan alam dan tanaman di desa tersebut ternyata membuat nelayan dan petani harus mengalami penurunan pendapatan dalam setahunnya.
“Penerimaan penduduk terutama yang berprofesi sebagai nelayan pendapatannya relatif tidak menentu karena selalu ada jeda waktu di mana pendapatannya menurun,” jelas Muhammad salah satu Bendahara di Desa Kacepi kepada tim Viva melalui Whatsapp.
Sebabnya, lanjut Muhammad karena nelayan tidak akan melaut ketika musim angin besar tiba yang biasanya terjadi di bulan Agustus – November. “Begitupun untuk petani kelapa pendapatannya menurun karena pekebun kelapa harus menunggu jeda masa panen selama 3 – 6 bulan,” katanya.
Untuk itu, Muhammad menjelaskan guna mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah desa melihat adanya potensi yang bisa dikembangkan dari hutan mangrove yang ada di Desa Kacepi. “Kami berinovasi mencoba memaksimalkan potensi yang ada di desa. Setelah bermusyawarah, akhirnya diputuskan untuk mengelola hutan mangrove menjadi destinasi wisata," ujar Muhammad.
Hutan mangrove ini, sambung Muhammad, memiliki lokasi yang strategis karena berhadapan dengan Pulau Faou dengan pemandangan laut yang indah dan potensial dijadikan destinasi wisata. “Namun sayangnya, hutan mangrove ini juga terancam keberadaannya karena penebangan liar yang dilakukan oleh masyarakat,” jelasnya.
Melihat adanya potensi wisata di sana, Pemerintah Desa Kacepi mengajak warga untuk membuat perencanaan pengelolaan destinasi wisata. "Di antaranya dengan melakukan survei lokasi sebagai acuan pembuatan desain tata ruang, membuat perencanaan bisnis, dan melakukan pengerjaan teknis penataan fasilitas dan sarana prasarana publik lokasi wisata," kata Muhammad.
Proses pemanfaatan hutan mangrove inipun dilalui dalam beberapa tahapan. “Awal tahun 2018 Pemerintah Desa Kacepi melakukan koordinasi masyarakat untuk menangani masalah, seperti penebangan liar di hutan mangrove, juga menurunnya pendapatan petani dan pekebun. Selanjutnya, pemerintah desa menyampaikan usulan untuk bersama-sama mengelola dan menata hutan mangrove sebagai destinasi wisata. Baru kemudian setelah usulan disetujui pemerintah desa membentuk kelompok kerja beranggotakan 5 orang, untuk membuat perencanaan pengelolaan destinasi wisata hutan mangrove,” terang Muhammad.
Setelah mempelajari hasil survei dan menuju tahap pengerjaan, pemerintah desa dan warga langsung memanfaatkan program dana desa dari pemerintah pusat tahun anggaran 2018 sebesar Rp130 juta. Dana tersebut disalurkan untuk membiayai seluruh kebutuhan pengembangan lokasi wisata. Sebut saja untuk membangun berbagai fasilitas seperti tempat makan, karaoke, tempat berenang, gazebo, toilet, ruang serba guna dan tempat berfoto selfie agar lebih menarik wisatawan.
"Terciptanya wisata hutan mangrove dapat menjadi wadah edukasi, hiburan sekaligus pelindung dari abrasi dan tsunami bagi masyarakat Desa Kacepi ataupun Masyarakat Pulau Gebe," lanjut Muhammad.
Kini berkat inovasi wisata hutan mangrove, warga Desa Kacepi yang berprofesi sebagai nelayan dan petani kelapa dapat memiliki penghasilan tambahan. “Dengan adanya wisata hutan mangrove ini pendapatan petani dan pekebun kelapa yang melakukan wirausaha di daerah wisata ini bisa mencapai kurang lebih sekitar Rp. 500.000/minggu,” kata Muhammad.
Tidak hanya itu saja, berkat hutan mangrove sejak Januari – April 2019, hutan wisata ini mampu menambah pundi PADes berkisar antara Rp15 juta – 20 juta per bulan dengan jumlah pengunjung sekitar 1.500 orang/bulan. “Tiket masuk hutan wisata ini Rp2.000 untuk anak-anak dan Rp5.000 untuk orang dewasa,” ujarnya.
Inovasi warga yang diinisiasi oleh Dirjen PMD Kemendesa PDTT ini sekarang sudah membuahkan hasil, hutan mangrove di Desa Kacepi mulai dikenal publik berkat sejumlah pengunjung yang menceritakan pengalamannya di media sosial.