Desa Kacepi Kelola Hutan Mangrove untuk Tingkatkan Pendapatan Nelayan
- Dok. Desa Kacepi
Bagi penduduk Desa Kacepi, Kecamatan Pulau Gebe, Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara, menjadi penambang emas menjadi pilihan utama sebagai mata pencaharian. Hampir 75 persen penduduk desa berprofesi sebagai pekerja tambang emas dan sisanya berprofesi sebagai nelayan dan petani kelapa.
Jika penambang emas memiliki pendapatan yang cukup, lain halnya dengan nelayan dan petani kelapa. Dua profesi ini dihadapkan pada keadaan di mana pendapatan mereka relatif tidak menentu. Hal ini disebabkan oleh adanya jeda waktu di mana pendapatan dua profesi ini menurun.
Penurunan pendapatan pada nelayan terjadi saat mereka tidak melaut ketika musim angin besar tiba yang biasanya terjadi di bulan Agustus–November. Pun untuk petani kelapa, pendapatannya menurun karena mereka harus menunggu jeda masa panen selama 3–6 bulan.
Inovasi Kelola Hutan Mangrove
Awal tahun 2018, Pemerintah Desa Kacepi berkoordinasi dan bermusyawarah dengan masyarakat untuk menghadapi masalah tidak menentunya pendapatan petani dan nelayan. Pemerintah Desa menyampaikan usulan inovasi untuk bersama-sama mengelola dan menata hutan mangrove sebagai destinasi wisata.
Ide inovasi ini muncul karena Desa Kacepi memiliki hutan mangrove yang berhadapan dengan Pulau Faou yang memiliki pemandangan laut yang indah sehingga potensial untuk dijadikan sebagai destinasi wisata. Sayangnya, keberlangsungan hutan ini terancam karena penebangan liar yang dilakukan oleh masyarakat. Padahal, keberadaan hutan ini mampu menahan abrasi laut yang terus mengikis Pulau Gebe.
Setelah usulan disetujui, Pemerintah Desa membentuk kelompok kerja beranggotakan lima orang untuk membuat perencanaan pengelolaan destinasi wisata. Kelompok kerja tersebut bertugas untuk melakukan survei lokasi sebagai acuan pembuatan desain tata ruang destinasi hutan mangrove, membuat perencanaan bisnis, dan melakukan pengerjaan teknis penataan fasilitas dan sarana prasarana publik lokasi wisata.
Berdasarkan hasil survei itulah kemudian ditentukan lokasi hutan mangrove yang akan dijadikan destinasi wisata desa, bentuk pengelolaan serta pengerjaan teknisnya. Berdasar survei itu pula didapat peran pemberdayaan masyarakat dalam bentuk wirausaha menjual minuman dan makanan serta jasa fotografer yang menunjang wisata ini.
Setelah mempelajari hasil survei yang dinilai cukup layak untuk diterapkan, Pemerintah Desa kemudian menyetujui rencana teknis pengelolaan hutan mangrove dan memberikan Dana Desa Tahun Anggaran 2018 sebesar Rp130.000.000 untuk membiayai seluruh kebutuhan pengembangan lokasi wisata.
Di lokasi wisata yang dinamakan Wisata Hutan Mangrove Wajat Kali ini dibangun berbagai fasilitas, seperti tempat makan, karaoke, tempat berenang, gazebo, toilet, ruang serbaguna, dan tempat berfoto selfie agar lebih menarik wisatawan.
Berkat inovasi wisata yang dilakukan Pemerintah Desa Kacepi, saat ini Kecamatan Pulau Gebe untuk pertama kalinya memiliki destinasi wisata baru berbasis hutan mangrove yang ada di Desa Kacepi. Dengan adanya wisata ini, Desa Kacepi mulai dikenal publik berkat efek viral melalui media sosial dari para wisatawan yang berkunjung ke sana.
Keberadaan wisata hutan mangrove juga menumbuhkan multiplayer effect terhadap tumbuhnya pelaku ekonomi baru, seperti warung-warung makanan dan minuman yang dikelola masyarakat. Dengan adanya wisata hutan mangrove ini, pendapatan nelayan dan petani kelapa yang melakukan wirausaha di daerah wisata ini bisa mencapai kurang lebih sekitar Rp500.000/minggu.
Sejak Januari–April 2019, hutan wisata ini mampu menambah pundi PADes berkisar antara Rp15 juta– 20 juta per bulan dengan jumlah pengunjung sekitar 1.500 orang/bulan. Tiket masuk hutan wisata ini sebesar Rp2.000 untuk anak-anak dan Rp5.000 untuk orang dewasa.
Sayangnya, karena belum ada lembaga desa yang mengelola hutan wisata mangrove maka Tim Mangrove Kacepi bersama Konunitas Natural yang mengambil alih pengelolaan Wisata Hutan Mangrove Wajat Kali.