BPJS Kesehatan Bukan Kewajiban, tapi Kebutuhan
- BPJS Kesehatan
VIVA – Diskriminasi, menunggu waktu lama untuk mendapat tindakan medis, sulit cari kelas perawatan termasuk ICU, PICU, NICU, ruang isolasi dan lain sebagainya, adalah keluhan yang sering dilontarkan pasien pengguna fasilitas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Meski terdapat plus minus dalam pelayanannya, tidak dapat dipungkiri, keberadaan BPJS Kesehatan begitu penting bagi masyarakat; khususnya masyarakat menengah ke bawah.
Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fachmi Idris, menyadari masih ada kekurangan yang terjadi dalam praktiknya di lapangan.
"Jerman itu mulai tahun 1883, Inggris itu memulai dari tahun 1911, Jepang itu sejak 1965, kita baru mulai 2014. Jadi kalau ada kekurangan-kekurangan saya kira itu masih sangat wajar, tapi kami berkomitmen untuk memperbaiki".
Kepada VIVA, Fachmi menjelaskan bagaimana pencapaian dan kinerja BPJS Kesehatan, hingga kesadaran masyarakat betapa pentingnya jaminan kesehatan. Simak wawancara VIVA selengkapnya dengan Fachmi Idris, berikut petikannya:
Bagaimana Anda menanggapi banyaknya keluhan masyarakat terkait dengan pelayanan BPJS di rumah sakit?
Yang pertama kita terima kasih kepada semua pihak yang terus mendukung, memberikan saran, juga termasuk mengkritik yang sifatnya konstruktif terhadap program ini. Karena biar bagaimana pun program ini sangat dirasakan sekali oleh masyarakat. Yang harus dipahami adalah program ini adalah sinergi banyak faktor. Artinya, BPJS ini bukan pemain tunggal ya. Banyak sekali sinergi yang harus dilakukan dalam program terkait. Sebagai lembaga yang diamanatkan oleh undang-undang, saya melihatnya (keluhan-keluhan) ini tentu menggunakan indikator-indikator yang menjadi acuan kerja. Indikatornya itu yang sifatnya roadmap dan sifatnya Rancangan Program Jangka Menengah Nasional, yang operasional sehari-hari kita mengacu pada roadmap, karena di situ ditetapkan indikator capaian atau ukuran-ukuran terhadap program sepanjang lima tahun berjalan.
Tentu masyarakat memiliki penilaian tersendiri ya. Kalau kami menilai tentu mengacu pada indikator-indikator pada roadmap itu. Seperti misalnya, kepuasan peserta. Kalau bicara kepuasan peserta, kepuasan peserta ini berada di angka 75 persen masyarakat puas begitu kita memulai program ini di tahun 2014. Kemudian target kita itu pada tahun 2019 tingkat kepuasan masyarakat harus di angka 85 persen. Karena dari teori yang ada, kemudian dari benchmark berbagai negara untuk pelayanan publik, seperti jaminan kesehatan ini angka kepuasan masyarakat 85 persen, itu sudah angka yang sangat optimal. Artinya, tidak mungkin kepuasan masyarakat pada pelayanan publik itu di angka 100 persen. Itu kalau kita bicara teori ya.
Nah, kalau kita melihat angka yang ada itu, kita sejauh ini on the right track sebetulnya. Artinya, kalau kita bicara kepuasan masyarakat saat ini, kategorinya sudah tinggi sekarang. Terakhir di akhir tahun 2017 ini tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan BPJS ini di angka 79.5 persen. Dengan sampling sebanyak 90 ribu, margin error 0.4 persen, kemudian di hampir 300 kabupaten/kota yang kita survei. Jadi kita sebenarnya on the track dengan target kita di tahun 2019 nanti harus mencapai 85 persen. Jadi saya tidak menjawab soal keluhan itu, tapi kita menjawab dengan fakta kuantitatif yang ada. Kalau kualitatif kasuistik bisa saja terlaporkan seperti itu (adanya keluhan dari masyarakat).
Banyak juga kabar yang beredar bahwa adanya masyarakat pengguna JKN-KIS ini yang mendapatkan diskriminasi dari pihak rumah sakit, bagaimana Anda menanggapinya?
Saya ingin klarifikasi dulu tentang ‘banyak keluhan’ ini. Kalau bisa berapa angkanya, kalau dikatakan banyak keluhan itu. Karena bahasa banyak ini kan bahasa kualitatif kan. Begini, kalau kita melihat setiap hari itu jumlah yang dilayani di rumah sakit itu sekitar 500 ribu orang per hari atau 500 ribu pelayanan. Sampai semester I tahun 2017 itu kita melayani 400 juta lebih orang. Kalau kita bicara mikro, di RSCM itu kita melayani pasien rawat jalan itu 54 ribu orang per bulan. Belum lagi pasien rawat inapnya sekitar 3.000 per bulan, itu semua dilayani. Artinya sangat banyak yang dilayani. Ini kita bicara angka-angka itu ya. Kalau dari 54 ribu ada satu atau dua orang terdengar ada yang tidak dilayani, ini kita cek betul apa masalahnya pada saat itu. Jadi kita secara clear betul merapikan itu, karena kami sangat membutuhkan sekali informasi-informasi langsung. Karena kalau ada masalah kami tidak ingin membahas, tapi kita selesaikan.
Karena terakhir yang menilai banyak ditemukan masalah itu dari Ombudsman. Bahkan Ombudsman menilai bahwa salah satu alasan yang menyebabkan rumah sakit menolak pasien itu terkait dengan pembayaran klaim yang lambat. Bagaimana Anda menanggapi hal itu?
Kita harus melihatnya hati-hati ya. Artinya jangan sampai kita menghubungkan antara statement yang satu dengan yang lainnya yang terkesan bertentangan. Saya tidak ingin menunjukkan pertentangan-pertentangan itu. Begini, kita itu kalau membayar klaim itu kan harus sesuai dengan prosedur, karena ini kan bicara uang negara, uang besar ya. Kita tidak ingin suatu saat menjadi masalah. Jadi ada mekanisme terhadap membayar klaim yang masuk.
Ada dua syaratnya. Pertama itu mutu dokumen. Mutu dokumen ini kan karena subjek yang suatu saat bisa diperiksa oleh negara. Kemudian yang kedua, bisa juga nanti kalau ada mutu medik yang harus di-review. Itu ada timnya tersendiri. Ada tim mutu medik, mutu biaya. Nah, kalau itu semua sudah masuk, data mediknya lengkap dan verified itu waktunya 15 hari harus dibayar. Kalau 15 hari tidak dibayar, BPJS kena denda yang dendanya itu lebih besar dari bunga bank sebenarnya, yaitu 1 persen. Jadi semua tahapan ini kita lalui. Dan tahapan ini jangan juga dihubungkan dengan adanya penolakan pasien. Jadi kita komplain dengan ketentuan.
Apakah benar terjadi defisit anggaran BPJS Kesehatan?
Sebetulnya bukan defisit bahasanya. Dan saya tidak pernah menggunakan bahasa defisit. Defisit itu bahasa wartawan saja sebenarnya. Kalau defisit itu kan sebenarnya kalau kita bicara ada tagihan akhir tahun kan. Tapi kita itu kalau akhir tahun itu tidak pernah ada defisit. Semua yang ditagih kan dibayar, tidak ada yang defisit. Silakan saja nanti cek audit akhir tahun, semua tagihan dibayar. Jadi sebenarnya tidak ada istilah defisit itu. Jadi begini, Program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) yang dikelola BPJS Kesehatan pada dasarnya selalu dihitung dengan pendekatan dan prinsip anggaran berimbang pada setiap awal tahun anggaran. Prinsip umum anggaran berimbang antara lain, pengeluaran dan pendapatan harus sama, serta pendapatan utama bersumber dari iuran peserta.
Berdasarkan hitungan aktuaria, iuran saat ini belum sesuai dengan angka ideal, karenanya program ini structurally unfunded. Kondisi defisit ini sudah diprediksi sejak awal. Dalam proses pengesahan RKAT (Rencana Kerja Anggaran Tahunan) BPJS Kesehatan, sesuai regulasi yang terlibat adalah Kementerian Keuangan, Kementerian Kesehatan dan Dewan Jaminan Sosial Nasional. Semua pihak tersebut mendalami prediksi terjadinya defisit, jauh sebelum terjadi. Artinya, dalam hal ini setahun sebelum program berjalan, sudah diketahui bahwa program JKN KIS akan terjadi defisit. Angka-angka defisit ini terlihat dalam proses penyusunan RKAT.
Kemudian, diantisipasi bersama, termasuk pilihan dan komitmen Presiden Jokowi untuk mengatasi defisit tersebut melalui anggaran negara. Bukan dengan menaikkan iuran atau mengurangi manfaat program bagi masyarakat. Inilah komitmen yang luar biasa dari pemerintah untuk tetap menghadirkan negara bagi rakyatnya di sektor kesehatan. BPJS Kesehatan juga memiliki data historis yang lengkap, sehingga bisa memprediksinya dari awal. Dan, sesuai prinsip jaminan sosial kesehatan, semua harus bisa diprediksi. Jutaan data dianalisis. Berapa banyak masyarakat menggunakan BPJS Kesehatan dalam setiap bulannya. Berapa rupiah rata-rata biaya kesehatan sekali menggunakan. Berapa besar biaya yang harus dikontrol dalam pelayanan sehingga tidak terjadi pembayaran yang tidak perlu (medical unnecessity) dan overconsume, yang semuanya membutuhkan keahlian tertentu.
Kalau tahun 2017 itu berapa total tagihan dan kekurangan yang harus dibayar pemerintah?
Sekarang masih proses audit, nanti kalau auditnya sudah selesai kita informasikan. Jadi begini, di hulunya ini kan biaya pendapatan dan pengeluaran itu kan basisnya iuran. Dan iuran ini Presiden punya pandangan tersendiri. Beliau tidak ingin memberatkan masyarakatlah intinya. Sehingga iuran tidak harus sesuai dengan hitungan akademik yang ada, karena pemerintah masih bisa mengatasi dengan sumber lain. Jadi perlu diketahui, prinsip program ini kan Anggaran Berimbang. Seperti tahun 2017 kita selalu rapat mulai bulan Agustus sampai september itu berapa sih uang masuk dari iuran. Dan berapa sih pengeluaran? Kalau uang masuk yang dari hilir ini tidak sesuai, apakah kita ingin menaikkan iuran? Kan seperti itu pertanyaannya. Dan Presiden memutuskan untuk tidak memilih menaikkan (iuran). Jangan membuat masyarakat susah. Jadi apa yang dilakukan? Yang dilakukan adalah mencari sumber lain untuk mengisi itu. Dan itu sudah diputuskan oleh pemerintah.
Apa solusi menutupi defisit anggaran tersebut dari pemerintah?
Sesuai dengan hasil Rapat Tingkat Menteri (RTM) beberapa waktu lalu, terdapat beberapa opsi dan strategi yang akan dilakukan di antaranya suntikan dana, optimalisasi tata kelola Program JKN-KIS, dan terdapat pula opsi pembiayaan melalui kontribusi cukai rokok untuk biaya pelayanan kesehatan. Tata kelola yang baik dalam Program JKN-KIS menjadi hal mendasar yang harus dilakukan oleh semua stakeholder yang memiliki peran dalam program ini, bukan hanya BPJS Kesehatan. Beberapa strategi optimalisasi yang menjadi keputusan di rapat tingkat menteri adalah :
1. Optimalisasi manajemen klaim dan mitigasi fraud.
2. Memperkuat peran BPJS Kesehatan dalam strategic purchasing, sehingga menjaga posisi BPJS Kesehatan sebagai purchaser.
3. Optimalisasi peran FKTP sebagai gatekeeper yang akan mengendalikan rujukan, karena fakta menunjukkan bahwa sistem rujukan dapat dilaksanakan secara efektif pada era JKN dan dapat mengefisienkan biaya pelayanan kesehatan.
4. Akan dilakukan penerapan cost sharing atau iuran biaya untuk beberapa pelayanan kesehatan yang berpotensi moral hazard. Hal ini dilakukan dengan tujuan mengedukasi masyarakat atau peserta JKN-KIS dan mendorong kualitas layanan yang diberikan fasilitas kesehatan yang bekerja sama, dengan menerapkan pelayanan yang diberikan kepada peserta JKN-KIS tepat sesuai dengan clinical pathway, berkualitas dan efisien.
5. Melakukan upaya efisiensi operasional yang sampai saat ini terus diterapkan karena dalam mengelola dana jaminan kesehatan nasional tentu saja menganut prinsip kehati-hatian. Pengawasan dilakukan oleh berbagai pihak baik itu pihak internal maupun eksternal.
6. Penyesuaian batas atas upah untuk kategori peserta Pekerja Penerima Upah (PPU), yang saat ini nilainya masih di bawah angka keekonomian, dan hal ini diperlukan dukungan regulasi.
7. Sebagai intervensi pemerintah akan mendorong peran pemerintah daerah yaitu 10 persen APBD untuk dana kesehatan dan akan dilakukan koordinasi antara Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri terkait optimalisasi 75 persen dari 50 persen pajak rokok earmark, dana bagi hasil cukai sebesar 50 persen dari pemerintah daerah untuk pembiayaan pelayanan kesehatan.
Kalau saat itu sempat beredar angka defisit yang dialami BPJS itu sampai Rp9 triliun, bagaimana Anda menanggapinya?
Saya tidak tahu juga sebenarnya angka dari mana itu. Tapi kami tegaskan itu bukan angka defisit. Kalau defisit itu kalau kita tidak bisa membayar tagihan yang ada kan, tapi ini kan balance. Semuanya kita hitung antara pemasukan iuran dan pengeluaran. Kalau tidak seimbang, kita mencari solusi lain yang tidak memberatkan masyarakat. Apa saja solusinya itu tadi, tentu kita lebih memilih untuk tidak menaikkan iuran, akan tetapi mencari belanja lain itu tadi. Kalau kemarin itu spending belanja lain Rp3,6 triliun. Jadi kalau kita mau bicara defisit transaksi cash flow, kemarin itu pemerintah menutup mismatched-nya itu. Jadi sekali lagi bukan defisit ya, tapi kalau saya menyebutnya itu mismatched, karena ini kan sebenarnya tidak match antara pemasukan dan pengeluaran. Dan mismatched-nya itu kemarin kan sifatnya sementara, kemudian kembali match lagi ketika masuk anggaran belanja yang baru dari pemerintah. Nah, kemarin tambahan anggaran di Rp3,6 triliun dan itu sudah kami selesaikan di akhir tahun kemarin neraca kami.
Tadi ada opsi-opsi yang disampaikan oleh pemerintah untuk mengimbangi jumlah pemasukan dengan pengeluaran operasional BPJS ini. Mengapa pilihannya tidak menaikkan iuran saja?
Iya, jadi sebenarnya pilihan opsi-opsi itu bukan pilihan saya ya. Sekali lagi, itu adalah peraturan pemerintah. Peraturan pemerintah menyatakan bahwa untuk pelaksanaan program ini, pertama iuran. Kalau iurannya tidak memenuhi hitungan akademi, pasti ada hitungannya kan. Nah kalau tidak sesuai, maka dipilih untuk menyesuaikan dengan hitungan akademi. Kalau itu masih juga belum balance, maka ada pilihan kedua, yaitu pengeluarannya dikurangi. Pengeluaran dikurangi itu artinya manfaat yang kita berikan untuk masyarakat kita kurangi. Tapi itu kita tidak pilih (mengurangi manfaat untuk masyarakat). Jadi kami tegaskan, kami tidak memilih untuk menghilangkan pemanfaatan JKN bagi masyarakat, dalam artian bahwa semua masyarakat yang mengalami sakit apa pun seperti jantung, dan lain sebagainya itu masih tetap kami layani.
Kemudian yang ketiga, pemerintah memberikan suntikan dana tambahan. Dan sumbernya dari mana? Itulah yang ditentukan oleh pemerintah melalui Kementerian Keuangan, Kementerian Kesehatan, dan kami BPJS. Dan itu dilakukan sesuai dengan regulasi yang ada. Artinya, tambahan kekurangan itu merupakan sumber yang resmi atau legal yang kemudian disetujui oleh DPR dan lain sebagainya itu, dan itu yang kami pilih kemarin itu. Karena apa? Karena pemerintah tidak ingin memberatkan masyarakat.
Kalau kepatuhan masyarakat dalam membayar iuran seperti apa?
Angka kita itu totalnya sekitar 95 persen. Itu total blended ya. Kan ada dari pekerja formal, dan lain sebagainya itu. Kemarin itu saya baru saja menguji disertasi tentang angka kepatuhan masyarakat dalam membayar iuran BPJS, dan ternyata angkanya itu sangat surprise, melebihi indikator yang sudah kita tetapkan. Ini hasil disertasi seorang doktor di UI ya. Dalam disertasi itu, dia mengikuti data panel dari tahun 2015 sampai tahun 2017. Dan angkanya bagus. Jadi kalau kita bicara angka total connectability kita itu sekitar 95 persen, dan angka itu sesuai dengan kontrak kami dengan pemerintah. Tentu kalau kita breakdown ada angka yang menjadi perhatian khusus kita adalah dari pekerja bukan penerima upah.
Tapi kalau kita melihat angka yang kita temukan itu sudah cukup tinggi. Nah, yang perlu kami sampaikan juga, ini saran saya ya, untuk peserta dari pekerja bukan penerima upah, kalau dia tidak able atau tidak mampu bayar itu sebetulnya kita punya strategi khusus. Misalnya, ada yang kelas tiga kemudian tidak mampu bayar iuran, itu kami data dan coba kami geser dan bicarakan kepada pemerintah daerah, agar yang bersangkutan itu ditanggung oleh pemerintah daerah. Nah, ini yang sekarang sedang kami coba tawarkan.
Kemudian, kalau dia able tapi tidak ingin, nah ini yang kita edukasi. Kami punya yang kita sebut kader JKN, dan kader KIS di tiap kecamatan. Kami melakukan pemetaan, yang belum bayar kami datangi dan kami edukasi. Kemudian ada juga yang able, tapi tidak ingin karena malas melakukan pembayaran, kami berikan solusi dengan cara membuka channel pembayaran di hampir 600 ribu titik di seluruh Indonesia. Jadi kalau sekarang ini sudah tidak ada alasan bagi masyarakat kesulitan membayar iurannya, karena sebenarnya semua kita sudah buat dengan sangat mudah. Ada di swalayan, mini market, Anjungan Tunai Mandiri (ATM), ada juga kita kerja sama dengan Tokopedia, Gopay juga. Jadi semuanya sudah menunjang. Jadi itu saja PR kami.
Orang yang notable, orang yang tingkat perekonomiannya tidak tentu, misalnya orang yang tiba-tiba terguncang kemudian jadi pengangguran, nah itu yang kemudian kita cari jalan lain. Jadi kalau angka kepatuhan, sebenarnya ini sudah sesuai dengan target kontrak kami dengan pemerintah yaitu 95 persen. Tapi biar bagaimana pun tentu jika bicara pelayanan, kami sangat berkomitmen akan terus meningkatkan pelayanan untuk masyarakat. Jadi tidak ada istilah kita puas dengan hasil sekarang ini, kami akan terus meningkatkan melayani masyarakat.
Apa saran kepada pemerintah, pihak rumah sakit, dan masyarakat?
Pertama, saya ingin mengucapkan kepada pemerintah, pihak rumah sakit, dan masyarakat, karena program ini adalah program yang sangat banyak membutuhkan sinergi banyak stakeholder. Terutama kapada para dokter, para tenaga kesehatan, saya mengapresiasi dengan sangat kerja samanya selama ini. Kalau kita bicara kesempurnaan dari program ini, sebenarnya tidak ada yang pernah sempurna, no perfect system in the world. Kita melihat dukungan pemda selama ini sangat luar biasa. Kalau kita melihat ada target tahun 2019 itu 95 persen masyarakat memiliki jaminan kesehatan di seluruh daerah itu harus universal covered. Sekarang ini ada beberapa pemerintah daerah yang sudah mencuri start. Jadi pemda itu ada tiga provinsi, 67 kabupaten, 24 kota yang sudah universal covered.
Bayangkan, target itu harusnya 2019, tapi akhir 2017 sudah ada yang universal covered. Tahun ini akan menyusul lagi tiga provinsi, dan sejumlah kabupaten/kota lagi, saya agak lupa angka persisnya yang mau muncul. Artinya, optimalisasi peran pemda berjalan, kemudian Presiden pada bulan November lalu, baru saja mengeluarkan Inpres nomor 8 tahun 2017 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program JKN, memerintahkan 11 kementerian lembaga untuk melakukan optimalisasi itu. Artinya ada optimisme sebagai bangsa yang saat ini dilakukan oleh pemerintah untuk menyejahterakan rakyatnya. Jadi kita jangan kemudian melihat yang kita ingin capai itu seolah-olah berat, ini semuanya harus bergerak bersama-sama, agar harapan itu bisa benar-benar tercapai. Buktinya itu tadi, tahun 2017 kemarin, ada kok provinsi yang bisa mencapai itu, kabupaten yang bisa mencapai itu, kota yang bisa mencapai target itu. Nanti 2018 ada lagi.
Secara nasional nanti di tahun 2019 kita sangat berharap secara nasional bisa mencapai 95 persen penduduk kita semuanya terjamin. Tentu dalam perjalanannya banyak aspek yang harus kita benahi. Tentu kita kembali berdasarkan indikator-indikator yang tadi itu ya. Pertama, kepuasan peserta. Bagaimana semua nanti bisa benar-benar tercapai angka kepuasan masyarakat terhadap program ini minimal 95 persen. Nah, kita sekarang ini sudah on the right track. Mulai dari 75 persen, sekarang itu sudah mendekati 80 persen, dan masih ada tahun dua tahun lagi untuk mencapai target kita 95 persen di tahun 2019 nanti. Kemudian kepuasan masyarakat terkait fasilitas kesehatannya. Kepuasan masyarakat tentang fasilitas kesehatannya juga sudah on the right track. Ada angka research-nya juga, mulai dari angka 65 persen, angka terakhir di tahun 2017 kepuasan masyarakat terhadap fasilitas kesehatan kita sudah di angka 75,7 persen. Jadi kalau kita bicara kepuasan fasilitas kesehatan, kita bicara angka-angka saja.
Kemudian, jumlah peserta. Jumlah peserta kita per-hari ini sudah 189 juta peserta. Ini the biggest membership for the single insurance system ya. Dalam waktu belum lima tahun loh ini, masih usia balita sudah mencapai 189 juta peserta. Tapi ini semua tetap butuh dukungan dari semua pihak agar semua target kita bisa tercapai. Nah, saya ingin menyampaikan juga kepada masyarakat, bahwa program ini bukan suatu kewajiban. Tapi program ini adalah sebuah kebutuhan. Kebutuhan untuk apa? Tentu untuk melindungi dirinya sendiri. Jadi ada dua, pertama itu jika tiba-tiba tubuh kita jatuh sakit, dan kita saat membutuhkan finansial. Karena penyakit itu bisa datang tiba-tiba. Kedua, kalau dia tidak menggunakan fasilitas jaminan kesehatan yang ia miliki, tapi pada saat yang sama kan sebenarnya dia sedang membantu orang lain. Jadi sebenarnya kita ini sedang membangun sistem gotong royong yang besar untuk bangsa ini.
Jadi saya ingin mengimbau kepada seluruh masyarakat, ayo kita tunjukkan bersama-sama kepada negara-negara dunia yang lainnya bahwa kita bisa melakukan ini, dan dalam waktu yang lebih cepat dari yang pernah dilakukan oleh negara-negara lain yang pernah melakukan. Jerman itu mulai tahun 1883, Inggris itu memulai dari tahun 1911, Jepang itu sejak 1965, kita baru mulai 2014. Jadi kalau ada kekurangan-kekurangan saya kira itu masih sangat wajar, tapi kami berkomitmen untuk memperbaiki. (ase)