Dubes RI untuk Arab Saudi Abdurrahman Mohammad Fachir

Soal Satinah, Upaya Pemerintah Sudah Luar Biasa

Abdurrahman Mohammad Fachir, Wakil Menteri Luar Negerii RI.
Sumber :
  • VIVAnews / Renne Kawilarang

VIVAnews - Bagi kolega, staf, dan jurnalis di Kementerian Luar Negeri RI, Abdurrahman Mohammad Fachir dikenal sebagai diplomat spesialis penyelamat Warga Negara Indonesia (WNI) di luar negeri.

Prabowo Bakal ke Luar Negeri Setengah Bulan, Pakar Intelijen Minta TNI-Polri Waspada

Mungkin terkesan berlebihan, tetapi Fachir pun mengaku bahwa sebagian besar karier diplomatiknya di luar negeri dicurahkan untuk memperhatikan keselamatan para WNI yang tengah merantau dan membawa warga ke tanah air demi keselamatan mereka.

"Tiga dari empat pos penugasan yang telah saya jalani mengharuskan saya membantu pulangkan para WNI ke Indonesia karena situasi yang saat itu tidak memungkinkan," ungkap Fachir.

Penugasan pertama Fachir adalah Irak selama 1988-1992. Di tengah periode itu, berkecamuk Perang Teluk I, saat Irak menginvasi Kuwait selama 2 Agustus 1990 - 28 Februari 1991.

"Itulah kali pertama saya sebagai diplomat harus menyelamatkan para WNI ke Tanah Air. Tidak saja di Baghdad, namun juga mereka yang berada di Kuwait City. Perjalanan harus lewat darat sejauh ratusan kilometer untuk setiap kali misi dan ini berlangsung dalam beberapa kali misi. Bahkan, mobil kami pernah kena tembak. Tapi Alhamdulillah selamat," kenang Fachir, yang sudah 30 tahun berkarier sebagai diplomat.

Sempat ditempatkan beberapa tahun di New York, Amerika Serikat pada 2004, Fachir bertugas di Malaysia sebagai Wakil Duta Besar dan Kuasa Usaha Ad Interim KBRI di Kuala Lumpur.

Persib Dilanda Krisis Pemain Jelang Lawan Lion City Sailors

Di negeri jiran itu, Fachir mengoordinasikan pemulangan para pekerja ilegal asal Indonesia yang saat itu kena razia massal oleh pihak berwenang Malaysia.

Pada 2007, diplomat yang mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren Gontor itu menjalani tugas pertama sebagai duta besar RI, dengan penempatan di Mesir. Jelang masa tugasnya berakhir, terjadi pergolakan politik di Negeri Firaun itu awal 2011, setelah tumbangnya rezim Hosni Mubarak lewat revolusi rakyat.

Sebagai Dubes, Fachir pun memimpin tim untuk menyelamatkan para pelajar Indonesia dan keluarga mereka dari wilayah konflik agar bisa pulang ke tanah air.

Setelah tiga tahun menjadi Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik di Kemlu RI, Fachir kembali mendapat mandat untuk memimpin perwakilan Indonesia, kali ini di Arab Saudi. Lagi-lagi, ia harus memikirkan nasib para WNI, mengingat tidak sedikit dari mereka yang bermasalah dengan keimigrasian maupun kasus hukum setempat.

"Ada sekitar 1,3 juta warga Indonesia di Saudi," ungkap Fachir. Sebagian dari mereka ini harus dipulangkan paksa oleh otoritas Saudi, karena tidak memiliki dokumen lengkap sebagai pekerja asing, yang sejak 2013 menjadi syarat mutlak di negeri kaya minyak itu.

Bertolak ke Saudi mulai akhir Maret ini, Dubes Fachir bahkan sudah harus menangani seorang WNI yang awal April ini terancam eksekusi mati atas kasus pembunuhan atas majikannya. Dia adalah Satinah Binti Jumadi Ahmad.

DPR Harap Kevin Diks Jadi Pemain Terakhir yang Dinaturalisasi PSSI: Kita Banyak Atlet Lokal

Berdasarkan sistem hukum di Saudi, hukuman mati ini bisa dibatalkan bila Satinah mendapat pengampunan dari keluarga korban. Namun, itu setelah membayar uang diyat (ganti rugi) yang nilainya miliaran rupiah. Soal Satinah ini termasuk tantangan pertama bagi Fachir sebagai dubes baru RI di Saudi.
 
Dalam percakapan dengan VIVAnews di Jakarta, sebelum bertolak ke Saudi, Dubes Fachir juga bercerita panjang lebar soal potensi hubungan yang bisa dikembangkan kedua negara, sehingga tidak melulu hanya masalah haji dan nasib tenaga kerja Indonesia.

"Saya ingin mengubah persepsi yang selama ini terbentuk bahwa RI seolah-olah membutuhkan Saudi. Padahal, 15 persen penghasilan Saudi diperoleh dari jemaah haji dan umroh asal Indonesia," ungkap Fachir.

Berikut petikan wawancaranya:

Persepsi masyarakat di Indonesia terhadap hubungan bilateral Indonesia dan Arab Saudi masih belum jauh dari umroh, haji, pasti TKI atau TKW. Apakah masih ada potensi lain yang bisa digali selain ketiga bidang tadi?

Jelas banyak. Kedua negara tidak memiliki masalah di bidang politik. Landasan sehingga bagaimana menerjemahkan hubungan bilateral yang tidak bermasalah itu menjadi sebuah kerjasama yang saling menguntungkan. Tetapi itu kan, secara normatif sudah menjadi tugas kepala perwakilan KBRI atau misi di luar negeri.

Khusus untuk Saudi, memang betul yang Anda sampaikan sebelumnya, adalah agama dan ekonomi. Agama, kita tahu, sumber ajaran Islam dari sana, Nabi turun di sana, kemudian orang banyak menjadikan Saudi sebagai tujuan untuk beribadah.

Di bidang ekonomi, memang Saudi memiliki tingkat ekonomi yang tinggi. Sama-sama seperti RI yang menjadi anggota G20. Tetapi, jumlah penduduk jauh lebih kecil dari Indonesia. Kemudian, dari sisi produk minyak dan gas, Saudi menjadi penghasil minyak terbesar pertama di dunia dan untuk gas nomor lima di dunia. Itu yang menjadi daya tarik.

Dalam mencoba mengelola kerja sama itu, yang didasarkan kepada hubungan baik, RI harus pandai-pandai melihat peluang itu, sekaligus mengelolanya dengan baik. Semakin jelas semakin baik, artinya umpamanya ada persetjuan bersama, kerja sama.

Yang dimaklumi oleh publik bahwa hubungan dan kerja sama di antara kedua negara itu saling menguntungkan. Misalnya dari sisi, apabila politiknya tidak bermasalah, kemudian saling mendukung dalam isu-isu global maupun regional, jelas menguntungkan.

Sebagai contoh, saya mengambil hubungan ekonomi di 2012 yang nilainya hampir mencapai US$7 miliar. Lebih banyak defisit di RI, karena negara kita beli minyak dengan nominal hampir Rp4 miliar lebih. Artinya surplus di Saudi, defisit di RI. Sehingga di dalam perdagangan, Saudi untung, karena surplus itu tadi.

Tetapi, itu pun harus dimaklumi juga. Kenapa begitu, karena Pemerintah Indonesia berupaya untuk menjaga kesinambungan pasokan energi. Sementara itu, Saudi, merupakan salah satu pemasok energi yang konsisten.

Jadi, tidak terganggulah pasokan energi di dalam negeri, karena Indonesia kan membutuhkan itu. Makanya, hubungan keduanya saling menguntungkan. RI menjaga kesinambungan pasokan energi, sedangkan bagi Saudi akan memperoleh keuntungan karena RI terus membeli minyak dari mereka.

Memang, akan dicoba oleh pemerintah dengan mengekspor produk non migas misalnya. Macam-macam memang caranya. Karena komoditasnya banyak, harus turut bersaing juga dengan negara-negara lain. Jadi, tantangannya di situ.

Daya tarik luar biasa kedua yakni soal agama dan ibadah tadi. Saya mencoba mengambil data di 2012, warga yang menunaikan ibadah haji dari Indonesia sebanyak 200 ribu, sedangkan yang umroh 500 ribu. Rata-rata sebanyak 15 persen dari layanan umroh dan haji setiap tahunnya disumbangkan oleh Indonesia. Negara kita menjadi penyumbang jamaah haji dan umroh terbesar dibandingkan negara-negara lainnya.

Indonesia pun memiliki kuota yang paling besar, karena diberi 10 persen dari jumlah penduduk saat ini. Berarti, katakanlah sekitar 200 ribu per tahunnya. Belum lagi dari warga yang berumroh.

Malah, ada kecenderungan yang mengikuti program umroh itu semakin besar. Sebab, kalau haji, terbatas dengan waktu. Sedangkan umroh, bisa dilakukan sepanjang tahun.

Belum lagi, ditambah pemotongan kuota haji sebanyak 20 persen karena adanya perbaikan di area Masjidil Haram, justru menimbulkan minat orang untuk umroh semakin banyak. Untuk itu, data 2013 menunjukkan jumlah warga Indonesia yang umroh naik hingga 700 ribuan. Jadi, artinya Indonesia itu masyarakat haji dan umroh.

Bukan saja kedua negara memiliki perekonomian yang kuat dan menjadi anggota G20, tetapi dari sisi riil, jelas jumlah itu menyumbang pemasukan bagi mereka. Coba, Anda bandingkan. Berapa banyak warga Saudi yang datang ke Indonesia untuk pariwisata?

Bagaimana dengan kerja sama pariwisata?

Pemerintah RI tengah menggalakkan wisata keluarga. Indonesia perlu lebih gencar lagi untuk mempromosikan pariwisata. Kemarin itu, saat kedatangan Pangeran Khalid bin Sultan Abdul Aziz ke Indonesia untuk menghadiri Musabaqah Tilawatil Quran [MTQ], dia pun mengaku terkejut melihat perkembangan Indonesia yang luar biasa.

[Pangeran Khalid bin Sultan Abdul Aziz ke Indonesia pada Februari 2014 untuk menghadiri Musabaqah Tilawatil Quran di Istana Negara]

Dari sisi, katakanlah yang ikut program haji dan umroh. Kemudian, yang dia lihat dari banyaknya tempat-tempat ibadah. Lalu, selanjutnya yang dilihat Pangeran Saudi itu perkembangan Jakarta.

Orang kan menerapkan prinsip "seeing is believing". Mungkin dengan pemerintah semakin banyak mendorong warga luar datang ke Indonesia itu mengubah persepsi. Selama ini, persepsi yang terbentuk di Saudi karena banyaknya TKI di sana. Mereka akhirnya menjadi memiliki persepsi sendiri.

Perlu ada semacam diplomasi publik. Perlu adanya semacam tampilan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat haji dan umroh. Kemudian, kita ini anggota G20 dan keberadaan TKI di sana menyumbang produktivitas Saudi.

Jadi, mungkin dua daya tarik dari sisi ibadah dan ekonomi. Tetapi, bagaimana Indonesia menampilkan itu ke masyarakat itu penting. Baik publik di Saudi maupun di Indonesia.

Bagaimana cara mendekatkan celah di antara kedua negara agar tidak terlalu jauh?

Saya pikir begini, take it for granted. Kita akan membeli minyak, karena masalah kesinambungan tadi. Artinya energy security-lah. Tetapi, Pemerintah RI juga harus mendorong kepada Saudi untuk melihat komoditas non minyak dan gas yang dimiliki Indonesia sebagai sesuatu yang perlu mereka pertimbangkan.  

Tetapi, ada upaya yang lebih dari Pemerintah RI. Saya tadi mengatakan, RI harus berkompetisi dengan negara-negara lain yang memasok produk non migas ke Saudi. Sebenarnya ada pola yang ingin dicoba di Saudi dan sudah pernah dilakukan saat bertugas di Kairo, Mesir.

Saat itu, saya mengundang pengusaha Mesir ke Wisma Duta untuk makan. Di situ, saya tidak perlu mempromosikan Indonesia. Yang penting itu, bagaimana para pengusaha Mesir yang sukes tersebut mau menyampaikan cara mereka berbisnis dengan pengusaha Indonesia.

Hal itu akan berbeda, kalau disampaikan oleh pemerintah. Namun, kami juga harus memastikan untuk membantu Pengusaha Mesir yang bermasalah mencarikan solusi. Kan, kalau orang dagang seperti itu.

Seperti filosofi orang Padang, yaitu kalau enak, kasih tahu teman dan keluarga. Apabila ada yang tidak enak, informasikan kepada kami. Sebenarnya seperti, sesederhana itu.

Kedua, yaitu kenapa negara lain bisa pasok itu, sedangkan Indonesia juga memiliki potensi untuk memasok komoditi tertentu dengan melihat pasar. Saya mengibaratkan menjadi seorang penghulu untuk mengawinkan dua pengusaha, itu penting.

Jadi, para Pengusaha Indonesia bisa mengatakan bahwa mereka pun bisa memasok produk tertentu dengan harga yang kompetitif. Dengan mengidentifikasi apa saja kebutuhan Saudi, maka Indonesia bisa berperan dengan memasok kebutuhan tersebut, yang selama ini dipasok oleh negara-negara lain.

Hanya saja, Indonesia dapat mengambil celah dengan mengatakan memiliki produk dengan kualitas lebih bagus dan harga bersaing. Itu kan ilmu dagang yang juga bisa diterapkan. Saya melihat peluang itu besar sekali, karena pada dasarnya Saudi itu negara pengimpor.

Apakah selama ini kurangnya permintaan ke Indonesia, disebabkan Saudi yang lebih selektif atau pemerintah yang kurang berpromosi?

Bisa jadi, apabila seseorang sudah ada di zona nyaman, tidak akan lagi mencari yang aneh-aneh. Untuk itu, dibutuhkan usaha ekstra untuk menampilkan potensi yang dimiliki Indonesia. Kalau saya, lebih melihatnya kepada itu.  

Tetapi itu semua memerlukan upaya. RI diuntungkan di sana, antara lain karena perwakilan kita memiliki atase perdagangan. Atase perdagangan perlu didorong betul.

Terkait masalah investasi, permasalahannya kan juga terletak di dalam Indonesia sendiri. Apakah pemerintah bisa memberikan kepastian bagi para investor bahwa berinvestasi di Indonesia aman, tidak bermasalah, dll. Kalau soal dagang, saya pikir potensinya ada, tetapi pemerintah perlu berusaha ekstra untuk menampilkan itu.

Contoh produk non migas asal Indonesia yang bisa dijual ke Saudi?

Misalnya bisa furnitur, CPO (minyak kelapa sawit mentah), spare part mobil, ban, pakaian jadi, kayu, kertas, beberapa produk kimia. Belum lagi buah-buahan. Tetapi kan, permasalahannya apakah pemerintah bisa menjaga kesinambungan pasokan. Jangan sampai pemerintah hanya bisa memasok sekali, lalu berhenti. Selain kualitas, kesinambungan itu juga diperlukan. Saya pikir itu sesuatu yang bisa dijajaki secara serius.

Salah satu tugas Anda di Arab Saudi adalah memprioritaskan kerja sama ekonomi. Namun, muncul pandangan bahwa energi dubes-dubes RI sebelumnya lebih banyak terkuras untuk melindungi para WNI yang menjadi pekerja di Saudi. Apa lagi saat ini, sedang dilakukan razia besar-besaran. Apakah itu akan menjadi tantangan terbesar saat akan ditempatkan di sana?

Betul, isu tenaga kerja membayangi hubungan dan kerja sama bilateral RI dengan Saudi. Itu memang diakui. Seakan-akan tidak ada hal lain kecuali itu. Sekaligus untuk menjawab pertanyaan tadi, dengan membawa persepsi bahwa hubungan kedua negara sangat luar biasa.

Hal itu dengan sendirinya, akan ditampilkan secara proporsional. Saya tidak merasa kemudian energi akan habis, karena pemerintah akan masalah tenaga kerja secara proporsional, misalnya berapa banyak tenaga atau SDM atau perhatian dan waktu yang harus dicurahkan untuk ke masing-masing tadi. 

Jadi, misalnya kenapa lalu kemudian pemerintah memiliki konsulat jenderal yang menangani masalah kekonsuleran. Kekonsuleran itu berkaitan dengan semua hal yang menyangkut WNI. Di Riyadh juga begitu, pemerintah memiliki tenaga yang lebih banyak daripada untuk mengurusi ekonomi dan politik atau penerangan misalnya.

Tetapi apabila pemerintah sebenarnya bisa tampil lebih terpadu, posisi itu bisa saling mengisi. Tetapi, memang diperlukan usaha bersama untuk sebuah kejelasan.

Semuanya itu kan perlu jelas, hubungan itu perlu jelas. Itulah sebabnya mengapa kedua negara membutuhkan perjanjian atau nota kesepahaman atau kesepakatan. Hal tersebut bertujuan untuk memperjelas segala sesuatunya dalam bekerja sama.

Termasuk terakhir, ada perjanjian terkait tenaga kerja dan perekrutan agar ada perlindungan.

Apakah perjanjian yang dimaksud itu yang dikeluarkan pada Februari 2014 kemarin?

Iya. Tujuan dari perjanjian itu untuk memperjelas. Segala sesuatunya harus diperjelas. Di dalam perjanjian itu, tertulis jelas hal yang menyangkut urusan teknis, seperti apakah mereka harus memperoleh libur, paspor harus dipegang, harus punya account.

Tujuan itu semua kan untuk memperjelas. Karena dengan semuanya jelas, hal tersebut baik untuk semua pihak. Baik untuk majikan maupun yang dipekerjakan. Itu harus ada kejelasan. Kedua pihak ini harus memahami apa tanggung jawab dan haknya masing-masing. Itu juga diperlukan sebuah kejelasan.

Berdagang pun juga seperti itu, juga perlu kejelasan. Dengan adanya kontrak itu tadi. Dan itu sejalan dengan, misal apabila ingin menggunakan landasan agama. Katakanlah dasar agama. Agama itu justru memperjelas.

Baik kemudian di Al-Quran maupun di Hadis, itu ada ketentuannya, misalnya apabila Anda memiliki kesepakatan, maka harus ditulis. Dan itu adalah aturan agama. Jadi, saya pikir itu harus diperjelas. Selain itu, pemerintah juga memiliki tidak hanya persepsi, tetapi data yang sama, baik data yang ada di Saudi, maupun di Indonesia. Begitu pula data yang di Indonesia, di beberapa instansi pemerintah dengan perwakilan RI di sana. Data tersebut harus sama.

Kalau data yang dimiliki sama, maka akan lebih mudah memetakan persoalan. Sekaligus mencari solusinya. Mau itu data keberadaan WNI di Saudi, atau data WNI yang bepergian ke sana dan untuk keperluan apa. Status mereka di sana pun juga harus diketahui apa. Itu semua harus jelas.

Dan itu semua tengah diusahakan oleh pemerintah. Saya melihat Indonesia telah mengarah ke arah yang lebih bagus saat ini. Dengan adanya penandatanganan kemarin, kemudian pejabat Saudi datang ke Indonesia. Selain Pangeran Khalid ini, juga hadir Wakil Menteri Pertahanan Arab Saudi. Artinya, ada bidang lain yang juga ditangani.

Jadi, dia pikir semakin banyak bidang itu yang ditampilkan, persepsi itu seakan-akan bahwa Indonesia tersandera dengan isu tenaga kerja itu dengan sendirinya akan berubah. Ada satu bidang lagi, yang saya pikir bisa didalami. Ketika kita mengatakan kita bersaudara, katakan dalam hal agama. Itu harus diterjemahkan betul perlakuan masing-masing sebagai sesama saudara.

Sebagai sesama saudara kan tidak akan saling menyakiti satu dengan yang lain. Persepsi itu juga harus ditampilkan di sana. Bahwa 1,3 juta WNI yang ada di Saudi, merupakan saudara mereka juga. Maka, perlakukanlah mereka layaknya seorang saudara.

Tetapi, apabila menyangkut masalah kontrak, hal itu terkait masalah bisnis harus jelas. Kita pun apabila menyangkut masalah jual beli sesama saudara, harus jelas. Beda kasus, apabila kemudian dihibahkan.

Misalnya, apabila saya menjual sebuah mobil ke kakak saya kan tetap perlu hitam di atas putih. Membalikkan nama kepemilikan kendaraan saja membutuhkan dokumen dan sudah kontrak namanya.

Jadi, kejelasan-kejelasan itu harus diupayakan, karena dengan semakin jelas, maka tidak ada lagi salah pemahaman. Persepsi itu penting menurut saya, baik di Saudi maupun di Indonesia.

Soal nota kesepahaman ketenagakerjaan, apakah sudah tercantum bahwa ada jaminan hukum bagi WNI yang jadi pekerja di Saudi?

Iya. Salah satu poin yang penting dan tercantum di sana, yaitu mandatory consular notification (MCN). Jadi, siapa pun yang bermasalah, harus dikomunikasikan kepada perwakilan Indonesia di Saudi.

Tapi, itu harus diterjemahkan ke hal yang lebih teknis lagi, karena itu kan baru disebut kesepakatan. Misalnya dalam bentuk kontrak. Kontraknya seperti apa sih. Kemudian yang perlu ditindaklanjuti, ada pembentukan kelompok kerja yang akan membahas kesepakatan tadi. Pokja itu nanti akan menerjemahkan hal tersebut menjadi hal yang lebih teknis.

Apakah salah satu pertimbangan akan mencabut moratorium pengiriman tenaga kerja ke Saudi karena adanya penandatangan kerja sama ini?

Iya. Tetapi, sebelum mencabut moratorium, tentu semuanya perlu dibuat jelas lebih dulu. Harus ada kejelasan. Justru, kejelasan ini yang tengah kami upayakan. Peraturan teknis dari yang sudah disepakati.

Jadi, tantangan untuk pemberlakuan kerja sama ini, apakah karena adanya perbedaan yang mencolok soal sistem hukum di Saudi dengan di Indonesia?

Sebenarnya ini kan proses, baru persetujuan pokok-pokok, prinsip-prinsip yang akan disetujui. Nah, ini kan harus disetujui dalam bentuk ketentuan-ketentuan yang lebih rinci.

Termasuk, sampai sekarang belum ada kejelasan soal kontrak itu bentuknya apa saja. Masih harus dibahas lagi.

Dan itu melibatkan antarinstansi?

Oh, iya. Kementerian yang memimpin ini kan Kemenakertrans. Jadi, masih banyak memang ada pembahasan-pembahasan lanjutan dari persetujuan kemarin. Dan itu harus dibahas antar departemen dan secara bilateral dengan Saudi.

Jadi, pencabutan moratorium tidak akan terjadi tahun ini?

Tergantung dari kejelasan itu tadi. Kalau umpamanya dianggap sudah oke, ya bisa saja. Dan, ini sesuatu yang agak maju. Apa yang dilakukan Saudi dengan dua negara lain, tidak terlihat aspek perlindungannya.

Sementara itu, dengan RI sudah masuk aspek perlindungan. Termasuk, yang saya sebut tadi, mandatory consullar notification (MAN). Apabila ada masalah, ya harus segera dikomunikasikan ke kami. Dan, yang jelas masing-masing menghormati peraturan yang berlaku di masing-masing negara.

Apakah permintaan Saudi terhadap tenaga kerja dari Indonesia tetap tinggi ?

Besar dan mereka  menunjang produktivitas Saudi. Tapi harus ada juga keseimbangan. Kedua pihak harus dilindungi, baik pihak yang mempekerjakan maupun yang dipekerjakan.

Pertama, mereka harus sama-sama tahu hak dan kewajibannya. Kedua, kualitas pekerjanya harus ada standar. Kemudian, sang majikan juga harus tahu apa yang menjadi tanggung jawabnya. Itu semua harus jelas. Jadi, harus diketahui jam kerjanya berapa jam. 

Selain itu, kontrak itu kan harus diketahui dan juga disaksikan. Semakin jelas, semakin tidak akan ada lagi celah bagi orang yang ingin memanfaatkan atau menyalahgunakan. Semakin jelas, justru akan semakin nyaman, untuk Indonesia.

Tidak ada yang menuntut lebih dan tidak ada yang mengatakan orang ini tidak perform. Ketiga, penegakkannya. Pelaksanaan hukumnya. Jadi, apabila ada pekerja ilegal, pasti ada majikan ilegal. Dan, keduanya harus diperlakukan sama. Jadi, apabila ada seorang pekerja dihukum karena ilegal, maka majikan yang mempekerjakan juga harus dihukum. 

Sebab itu, RI dan Saudi tengah bekerja sama di situ.

Apakah karena itu yang bisa menekan peredaran tenaga kerja ilegal?

Iya. Jadi bisa mencegah agar tindak perdagangan (trafficking) tidak terjadi, orang yang mencari-cari peluang dari tenaga kerja ilegal ini menjadi berkurang. Dan itu harus dilakukan bersama. Tidak bisa hanya dilakukan oleh satu pihak saja.

Bagaimana respons Pemerintah Saudi soal perjanjian tenaga kerja yang baru ini? Kami dengar mereka agak ragu-ragu meneken perjanjian itu.

Ternyata untuk keperluan itu tadi. Sumbangan yang telah diberikan Indonesia kepada Saudi, itu sudah diakui oleh pihak Saudi. Jadi, dalam hal ini, mereka juga berkepentingan. Sebab itu, ketentuan-ketentuan yang dibahas bersama, memang untuk kepentingan bersama.

Di dalam perundingan itu, ada tuntutan. Masing-masing kan punya tuntutan, seperti ini dan itu. Dan, itu semua kami kembalikan kepada ketentuan internasional dan masing-masing nasional yang berlaku. Nah, itu harus dicocokkan satu sama lain. Pengalaman dia dengan negara-negara lain, itu juga menjadi rujukan dalam membahasnya.

Seandainya, pembahasan mengenai tenaga kerja ini berhasil, maka dapat menjadi rujukan untuk negara-negara lain di mana banyak terdapat pekerja asal Indonesia.

Apakah di dalam perjanjian itu, juga tercantum standar gaji yang seharusnya diterima oleh para pekerja Indonesia?

Harus ada. Standar gaji itu harus ada. Dan itu harus dicantumkan di dalam kontrak.

Bagaimana tanggapan Anda terhadap tuntutan dari LSM Migrant Care agar moratorium pengiriman tenaga kerja tidak dicabut? Mereka menuntut demikian, karena di dalam salah satu klausulnya tetap menyerahkan gaji sesuai harga pasar dan tidak ada standar.

Kalau saya, kembali lagi kepada kejelasan tadi itu. Kalau itu menjadi sebuah kesepakatan, artinya pihak Indoensia sudah mempertimbangkan kebutuhan dan penghasilan rata-rata.

Tidak mungkin kemudian, Indonesia memposisikan diri lebih tinggi. Karena sebenarnya ini kan saling menguntungkan. Ada yang namanya elemen-elemen, entah transportasi, akomodasi, jam kerja, elemen jaminan ini dan itu. Semua elemen itu harus dilihat secara menyeluruh.

Jadi, misalnya kewajiban majikan tertulis harus menampung atau menyediakan tempat yang layak bagi si pekerja. Itu kan termasuk di dalam elemen yang dibahas dan disepakati bersama.

Jadi, tidak hanya menyangkut aspek gaji, tetapi kami juga menitikkan beratkan kepada kenyamanan bekerja. Kepastian juga menjadi salah satu elemen yang perlu diperhatikan.

Di mata Anda, selama ini yang menyebabkan para pekerja Indonesia kerap memperoleh perlakuan kasar, karena kurang paham budaya setempat, faktor bahasa, atau tidak mengerti hukum di sana?

Bisa macam-macam penyebabnya. Bisa jadi, karena tuntutannya lebih tinggi. Karena, memang belum ada kontrak. Dengan adanya kontrak, maka itu lebih mudah. Karena di saat yang sama, ada kebutuhan juga dengan standar yang sebelumnya saya sebutkan. Oleh sebab itu, kualitas tenaga kerja yang dikirim juga menentukan.

Makanya, harus diberikan pendidikan sekian lama. Hal itu untuk memastikan pengetahuan standar seperti bahasa, keahlian, telah dimiliki. Biasanya, pekerja yang bermasalah di sana, rata-rata karena tidak memenuhi standar.

Tetapi dari sisi majikan, mereka juga pernah bermasalah, karena mempekerjakan SDM lebih dari ketentuan yang diharuskan. Kenapa hal tersebut bisa terjadi? Karena ketidakjelasan itu tadi.

Jadi, saya melihatnya itu, karena ada ketidakjelasan. Dan sejak kali pertama, tidak ada kesamaan persepsi, pengertian tentang hak dan kewajiban di antara kedua negara.

Soal Satinah

Selain masalah ketidak jelasan dalam aturan bekerja, banyak juga TKI di Saudi yang tersandung masalah hukum. Bahkan, banyak yang terancam vonis mati. Salah satu di antaranya kasus Satinah Binti Jumadi Ahmad, yang akan divonis pancung awal April setelah tiga kali ditunda. Sebagai Dubes baru untuk Saudi, apa langkah yang akan Anda ambil untuk menyelamatkan Satinah?

Sejauh yang saya lihat, upaya yang selama ini telah dilakukan oleh pemerintah itu luar biasa. Artinya, pendampingan hukum standar. Tapi itu kan, menyangkut tindakan seseorang, individu, yang menimbulkan kasus hukum.

Jadi, pada dasarnya itu adalah tanggung jawab individu. Bahwa kemudian ada upaya-upaya untuk membantu, itu merupakan sebuah kebijakan yang ditetapkan pemerintah. Kami juga menghimbau kepada publik agar bisa membantu pemerintah.

Pemerintah tidak ingin kasus-kasus seperti ini menjadi preseden yang tidak baik. Bayangan saya seperti itu.

Apabila merujuk kepada kasus Satinah, maka itu bermula dari kasus hukum yang tidak bisa dimaafkan menjadi dapat dimaafkan oleh perwakilan keluarga. Mengubah status dari kasus yang awalnya tidak dapat dimaafkan menjadi bisa dimaafkan dengan membayar uang diyat, itu kan sudah upaya luar biasa.

Nah, sekarang tinggal berharap bahwa hal ini tidak dimanfaatkan hanya untuk mencari keuntungan materi semata. Apabila kita merujuk kepada ajaran Islam, lebih baik Anda maafkan.

Akan lebih baik kalau hukumnya bisa dijalankan. Pendekatan yang digunakan yaitu keluarga yang bersedia memaafkan akan memperoleh pahala. Itu tradisi yang berlaku di Saudi memang seperti itu.

Makanya, himbauan kepada keluarga korban itu untuk memaafkan. Sebenarnya saya sendiri sulit mengatakan itu adalah "blood money" atau "uang darah". Agak mengerikan. Jadi, dana itu dianggap sebagai rasa syukur dan ucapan terima kasih kepada keluarga yang memaafkan. Pendekatan yang saya gunakan lebih cenderung seperti itu.

Kalau pendekatan yang digunakan lebih ke arah uang, kesannya agak kurang baik. Harusnya di sana ada standar juga kan soal uang diyat ini. Kalau tidak salah itu setara dengan 12 unta.

Kalau sudah terkait kasus ini, maka Raja atau Pemerintah Saudi sekali pun tidak bisa campur tangan. Urusan dengan pemerintah sudah selesai. Kali ini, merupakan urusan orang per orang, antara keluarga korban dengan keluarga pelaku pembunuhan.

Bahwa, kemudian nanti ada bantuan, itu lain masalah. Tetapi, ini sebenarnya hanya menyangkut masalah dua keluarga.

Kebetulan keluarga pelaku berasal dari kalangan menengah ke bawah yang tidak memiliki banyak harta benda.

Apakah Pemerintah RI nantinya akan meniru cara yang diterapkan oleh Pemerintah Filipina dengan menyerahkan kewajiban membayar uang diyat kepada individu masing-masing?

Saya pikir tidak. Pendampingan terhadap warga yang tersandung kasus hukum itu standar. Kami bertugas untuk memastikan semua WNI yang ada di luar negeri dijamin hak-haknya. Apakah dia sebagai korban atau pelaku. Itu harus dipastikan dan menjadi tanggung jawab negara.

Pun, apabila dia akhirnua divonis penjara, maka harus dipastikan dia dibui di penjara yang standarnya sama. Pendampingan hukum harus diberikan sesuai ketentuan.

Nah, terkait kasus ini, apabila ada kontribusi dari pemerintah. Itu merupakan bentuk empati dari pemerintah terhadap korban. Bukan kewajiban. Mungkin hal ini bisa didebatkan dan orang bisa saja memiliki pandangan yang berbeda, karena dia di luar negeri. Ada saja yang memiliki pandangan seperti itu.

Tetapi pada akhirnya itu kan tetap tanggung jawab pribadi. Sama saja apa yang terjadi di Indonesia.

Apakah adanya fluktuatif nominal uang diyat karena disinyalir ada jaringan makelar?

Saya berharap sih, tidak ada oknum semacam itu. Karena itu mungkin pendekatan pribadi, informal, harus terus dilakukan kepada keluarga.

Dan kalau bisa, pemerintah bisa membantu memfasilitasi itu, karena itu jatuhnya antar keluarga kok. Jadi, jangan dihadapkan kasusnya antar orang per orang dengan pemerintah. Tidak bisa seperti itu.

Ini adalah antar keluarga. Bahwa pemerintah ikut pendampingan iya. Tetapi, pemerintah juga tidak dapat mengambil alih kasus hukum. Bahkan, Raja Saudi saja tidak punya peran dalam hal itu.

Apakah benar perwakilan RI di Arab Saudi memiliki anggaran khusus untuk membayar uang diyat?

Tidak ada, tidak punya. Itu urusan pemerintah pusat di Jakarta. Perwakilan RI di Saudi hanya berfokus kepada pendampingan.

Jadi, perlindungan dalam pengertian apabila ada WNI yang mengalami kasus hukum, dipastikan untuk diberikan pendampingan. Oleh sebab itu, kami memiliki pengacara di Saudi.

Dan, karena hukum yang berlaku di sana menggunakan hukum Saudi, maka kami menyewa pengacara Saudi. Tidak mungkin kami sewa pengacara dari Jakarta.

Persepsi Saudi

Seberapa terkenal Indonesia di mata warga Saudi?

Ini kembali lagi ke soal persepsi tadi. Persepsi kita mengenai Saudi seperti apa? Sama dengan persepsi masyarakat umum Saudi terhadap Indonesia.

Saya mengambil ilustrasi yang agak jauh ya. Ketika Mesir pada waktu itu menghadiri Konferensi Liga Arab untuk memberikan dukungan pengakuan terhadap kemerdekaan Indonesia. Pada waktu itu, Menteri Luar Negeri dijabat oleh Pangeran Faisal.

Lalu, di dalam pembahasan itu dia bertanya, "Apakah kita semua yang ada di dalam forum ini tahu lokasi Indonesia itu ada di mana?"

Jadi, yang ada di dalam benak mereka, di daerah timur sana, ada sebuah negeri, -- dulu Indonesia masih belum dikenal dan tercatat di peta. Masih disebut Hindia Belanda-- namanya Indonesia dan masyaratnya mayoritas muslim, mari kita dukung kemerdekaan mereka.

Sesederhana itu. Itulah persepsi. Jadi, dulu mereka tidak pernah mempertanyakan alasan mendukung kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda.

Itu yang saya bilang persepsi. Sejak Nabi Ibrahim memproklamirkan bahwa umat Muslim harus berangkat dan menunaikan haji di sana, ya kita berangkat ke sana. Saya pikir, pemerintah perlu mengedukasi.

Terutama melalui tokoh-tokoh. Kalau umpamanya, saat khotbah Jumat, dia mengatakan "mereka semua (pekerja asal Indonesia) juga adalah saudara kita", yang kemudian membantu kita semua di sini. Lalu mereka mengajak agar memperlakukan warga Indonesia lebih baik.

Tetapi, warga Indonesia pun juga harus memahami tradisi, kebiasaan, adat istiadat yang berlaku di Saudi. Warga Saudi yang menganggap kita setara luar biasa banyaknya. Bahkan, ada pekerja asal Indonesia yang dibantu biaya pernikahan dan diberikan hadiah. Cerita sukses semacam itu juga tidak sedikit. Belum lagi, apabila kita berbicara mengenai remitansi kan?

Nah, itu hanya satu sisi, hubungan RI dengan Saudi. Kita tinggal mengatur persepsi seperti apa yang ingin ditampilkan. Apakah masyarakat Indonesia yang berumroh, naik haji atau sisi ekonominya.

Makanya, kami berharap perwakilan Saudi di Jakarta dengan di Riyadh memiliki pemahaman yang komprehensif. Kami ingin menampilkan bahwa masyarakat Indonesia itu berasal dari kalangan menengah ke atas, karena yang datang ke Saudi untuk beribadah umroh dan haji setiap tahun jumlahnya mencapai ratusan ribu.

Belum lagi, mereka juga menghabiskan dana untuk berbelanja di sana, di mana perputaran uang itu juga menghidupi warga Saudi.

Da,n tenaga kerja Indonesia di sana membantu produktivitas Saudi. Karena di sana, warga Saudi tidak begitu produktif. Warga Indonesia lah yang bekerja menjadi supir dan menjalani berbagai profesi yang membuat hidup warga sana menjadi lebih nyaman.

Abdurrahman Mohammad Fachir Duta Besar Dubes RI untuk Arab Saudi

Penyebab kaum muda Saudi tidak produktif apakah lantaran mereka tidak ingin bekerja di sektor informal?

Bisa jadi seperti itu. Ketika kita bilang 15 persen penghasilan Saudi dari umroh dan hajinya orang Indonesia, sebagai orang menengah ke atas, mereka berpikirnya hanya sebesar itu saja ya? Loh, pasalnya kan penghasilan Saudi per kapita berbeda dengan Indonesia. Itu kalau melihat dari sudut pandang tersebut.

Tetapi, kalau kita menggunakan sudut pandang bahwa Indonesia dan Saudi sama-sama merupakan anggota G20 dan posisi Indonesia lebih tinggi daripada Saudi. Katakanlah begitu, karena di G20 ada tingkatan-tingkatannya. Dari sudut pandang itu, maka publik akan berpikir penduduk Indonesia berasal dari kalangan menengah ke atas.

Persepsi itu yang ingin saya bentuk dan itu sebuah pekerjaan. Untuk itu, maka kami harus mendekati para tokoh tadi.

Apakah itu akan menjadi jurus Anda saat bertugas di Saudi?

Ya Insya Allah lah. Itu salah satunya, antara lain jangan sampai terkesan seolah-olah bahwa Indonesia memerlukan Saudi dan memandang penting Saudi.

Sementara itu, dari sisi hubungan dan kerja sama, malah Saudi yang diuntungkan. Kalau orang yang diuntungkan, biasanya mereka lebih berkepentingan.

Jadi seharusnya posisi itu dibalik ya?

Iya. Tapi karena Saudi merasa sudah cukup. Kalau mereka hanya memperoleh keuntungan yang sedikit, maka hal itu tidak diperhitungkan.

Rata-rata katakanlah 900 ribu orang ke Saudi setiap tahun untuk haji dan umroh, bisa dibayangkan dalam lima tahun, sudah berapa banyak pemasukan ke kas Saudi. Hal seperti itu yang harusnya ditampilkan.

Apakah tidak memungkinkan bagi Indonesia untuk mendatangkan warga Saudi dalam jumlah yang mendekati ke tanah air?

Loh, kita kan tidak memiliki Mekkah dan Madinah. Permasalahannya kan itu.

Apa yang disukai warga Saudi dari Indonesia?

Mereka itu senang mengetahui bahwa agama Islam berkembang dengan baik di tanah air. Jadi, ada suasana keagamaan, karena kan punya misi.

Dengan misi tersebut, Indonesia bisa memanfaatkannya dengan menunjukkan bahwa Islam yang berkembang di Indonesia merupakan Islam moderat. Dan, Indonesia adalah lahan yang subur.

Dan, hal itu memang terjadi. Islam yang moderat kan memang adanya di Indonesia. Sebagai contoh, kita bisa melihat Islam yang dianut NU dan Muhammadiyah.

Warga Saudi senang ketika misi risalah atau dakwah berkembang dengan baik di Indonesia. Itu yang menjadi tanggung jawab mereka.

Makanya, Raja di sana disebut sebagai "Khadimul Haramain" atau penjaga dua masjid suci. Makanya orang Indonesia berbondong-bondong ke sana dan mereka memastikan bisa melayani orang yang datang ke sana.

Saya pikir pemugaran Masjidil Haram merupakan salah satu bentuk ekspresi itu untuk memastikan bahwa mereka dapat melayani mereka dengan baik.

Apakah kuota jemaah calon haji akan kembali naik setelah pembangunan selesai?

Oh, iya.

Sampai kapan perluasan dan pemugaran Masjidil Haram itu akan berlangsung?

Yang saya dengar bisa memakan waktu hingga tahun 2016.

Tapi apakah ada jaminan, nanti calon jamaah haji asal Indonesia yang akan diberi prioritas?

Untuk kuota kan sama. Setiap negara sama yakni 10 persen dari jumlah penduduk muslim di tiap negara. Saya pikir itu yang perlu dicoba.

Komunikasi saya dengan Dubes Saudi untuk RI, Mustafa Bin Ibrahim al-Mubarak, juga enak. Kemarin bahkan, saya diberikan pesta perpishan oleh seluruh Dubes Arab yang ada di Jakarta. Pesta perpisahan itu diadakan di kediaman Dubes Mustafa.

Itu merupakan sikap yang bagus lah dari dia. Upaya-upaya kami untuk mempromosikan, meningkatkan hubungan dan kerjasama. RI dan Saudi sebenarnya memiliki hubungan emosional. Tetapi perlu menerjemahkan hubungan itu dengan baik melalui kesepakatan-kesepakatan tadi.

Bagaimana hubungan antarwarga kedua negara? Apakah warga Saudi mengetahui budaya Indonesia?

Saya pikir perlu ada edukasi. Dengan banyaknya orang Indonesia di sana, seharusnya mereka mengerti. Bayangan saya, tidak hanya mereka yang bermukim di sana, tetapi warga Indonesia yang menunaikan haji dan umroh tadi.

Makanya, banyak penjaga toko di sana untuk kepentingan dagang, mereka bisa sedikut berbahasa Indonesia. Misal mengatakan lima riyal atau murah. Mereka mampu mengucapkan itu. Itu, artinya dukungan ekonomi.

Apakah Saudi termasuk satu dari sedikit negara di kawasan Timur Tengah yang stabil dan tidak terpengaruh Revolusi Arab?

Saya selalu percaya kepada siapa pun pemimpinnya, sejauh dia bisa memberikan kesejahteraan dan kepastian kepada warganya, maka negara itu akan bertahan dan berkesinambungan.

Kalau tidak begitu, maka akan terus ada gejolak. Di sana, masih ada suku-suku yang dominan. Penghormatan antar suku sudah menjadi tradisi mereka.

Jadi, karena yang berperan adalah suku-suku atau khafilah itu tadi dan mereka menyepakati dalam bentuk yang sekarang ini. Sementara itu, pemerintah yang sekarang ini berkuasa memberikan perlakuan-perlakuan dan keterbukaan. Kalau tidak salah, saat ini sudah ada anggota parlemen perempuan.    
   
(Catatan redaksi: pada bulan Januari 2013, Raja Saudi, Abdullah Bin Abdul Aziz, mengeluarkan sebuah dekrit bersejarah yang mengizinkan perempuan menjadi anggota Dewan Syura Kerajaan untuk kali pertama.

Dalam keputusan itu, Raja memberikan porsi 20 persen dari 150 anggota Dewan Syura, harus diisi oleh perempuan. Selain itu, Raja juga menunjuk 30 perempuan untuk bergabung dalam Dewan Konsultan)

Nah, itu dilihat sebagai gerak maju oleh orang tertentu dan dianggap sebagai progress. Tetapi, apakah itu disebabkan karena tuntutan zaman atau tradisi di sana, itu menjadi urusan dalam negeri mereka sendiri. Bagaimana pemimpin mereka atau dalam hal ini kerajaan melihat dinamika yang terjadi di masyarakat.

Jadi, sampai saat ini rakyat Saudi masih mendukung penguasa saat ini?

Masih, terutama bagaimana pelayanan ibadah untuk umat Muslim. Makanya, dengan menyebut "Khadimul Haramain" tadi, merupakan misi dari Kerajaan.

Apa harapan Anda saat bertugas di Saudi?

Harapan saya bisa mendapatkan kesempatan untuk mempererat hubungan, meningkatkan kerja sama dan itu dalam bentuk yang riil. Semuanya itu bisa diukur kok. Kalau hubungan dagang kan bisa dilihat dari angka, kemudian pelayanan juga bisa dilihat dari angka.

Memang intinya, cukup dari sisi persentase yang melayani dan yang dilayani agak-agak jomplang. Tapi, itu adalah fakta yang harus dihadapi dan coba dioptimalkan.

Yang penting itu juga menjaga niat dan motivasi mereka yang melayani ini. Karena kami di sana bertugas melayani WNI di Saudi, di samping mempromosikan hubungan tadi.

Jadi, ada yang punya tugas mempromosikan, pelayanan, dan lain-lain. Masing-masing punya tugasnya tersendiri di perwakilan kita. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya