Ketua Komisi Yudisial, Jaja Ahmad Jayus

Kewenangan Komisi Yudisial Hanya Beri Rekomendasi

Ketua Komisi Yudisial, Jaja Ahmad Jayus
Sumber :
  • Dokumentasi Pribadi

VIVA – Komisi Yudisial atau KY merupakan "anak kandung" reformasi. Lembaga ini sengaja dibentuk, guna mengawal jalannya reformasi peradilan. Ini dilakukan, karena semasa Orde Baru, lembaga peradilan dinilai sarat dengan penyelewengan. 

MA Tolak Kasasi Eks Pengacara Lukas Enembe, Tetap Divonis 4,5 Tahun Penjara

Namun, meski sudah berdiri sejak 2004 lalu, lembaga ini dianggap belum bisa bekerja secara maksimal. Sebab, KY tak memiliki otoritas dan wewenang untuk memberi sanksi bagi hakim yang terbukti melakukan pelanggaran. Palu tetap ada di tangan Mahkamah Agung atau MA. Tak jarang, rekomendasi KY dianggap angin lalu oleh MA. 

Meski demikian, KY mengklaim kinerjanya pada tahun ini mengalami peningkatan. Hal itu dibuktikan, dengan semakin banyaknya kasus yang ditangani, serta rekomendasi yang dikeluarkan lembaga ini.

MA Kabulkan PK Mardani Maming, Hukuman Dikorting Jadi 10 Tahun Penjara

Ketua KY, Jaja Ahmad Jayus mengatakan, secara kuantitas jumlah laporan yang masuk ke lembaganya mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya. Namun, secara kualitas kinerja KY mengalami peningkatan.

Mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Pasundan (Unpas) ini menuturkan, sepanjang 2019 ini, ada 478 berkas yang diputuskan. Dari 478 berkas kasus yang disidangkan, 83 hakim terbukti melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim.

Kejagung Gandeng PPATK Usut Aset Zarof Ricar yang Diduga ke Keluarga

Demikian petikan wawancara antara VIVAnews dengan pria kelahiran Kuningan, 6 April 1965 ini. Wawancara dilakukan di di Kantor Komisi Yudisial, Kamis 26 Desember 2019.

Apa saja yang sudah dilakukan KY di 2019?

Untuk masalah pencegahan, kita sudah melakukan beberapa kegiatan yang berkaitan dengan kode etik hakim. Dan, juga advokasi terhadap hakim yang harkat martabatnya diganggu oleh pihak-pihak yang tidak berkaitan atau yang berkaitan dengan masalah penanganan perkara.

Bagaimana dengan laporan?

Jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, jumlah laporan yang masuk ke kita tahun ini menurun. 

Sepanjang 2019, berapa jumlah laporan yang masuk ke KY?

Terkait pengawasan hakim, KY menerima laporan dari masyarakat sepanjang tahun 2019 per tanggal 23 Desember, mencapai 2435 laporan. Itu terdiri dari laporan langsung masyarakat sebanyak 1544. Sementara, laporan yang melalui surat tembusan sebanyak 891.

Badan peradilan apa yang paling banyak dilaporkan?

Badan peradilan yang paling banyak dilaporkan adalah badan peradilan umum, itu hampir 50 persen, yaitu sebanyak 1156 laporan. Kemudian, laporan terkait dengan Mahkamah Agung itu sebanyak 115 laporan, Peradilan Agama sebanyak 89 laporan, Peradilan TUN (Tata Usaha Negara) sebanyak  77 laporan, Hubungan Industrial sebanyak 28 laporan, kemudian Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) ada 27 laporan, dan karena tahun ini kita juga ada pemilu, jadi Komisi Yudisial tahun ini juga menerima laporan masyarakat terkait dengan perkara-perkara pemilu. Kami menerima 36 laporan masyarakat, terkait dengan pemilu. Selebihnya badan peradilan lainnya.

Tahun lalu berapa laporan yang masuk?

Tahun 2018 lalu, jumlah total laporan yang masuk itu sebanyak 1722.

Bagaimana Anda melihat kinerja KY selama 2019?

Secara kualitas, penanganan perkara di tahun 2019 ini kinerja KY lebih meningkat jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. 

Kenapa?

Sepanjang tahun 2019 ini, ada 478 berkas yang kami putuskan melalui sidang Pleno Komisi Yudisial. Dan, yang kita harus carry over ke tahun 2020, ada sekitar 60 an berkas. Nah, dari 478 berkas kasus yang disidangkan, 83 hakim terbukti melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim. Sedangkan yang tidak terbukti melanggar KEPPH (Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim) itu sebanyak 395 laporan.

Apakah ada sanksi bagi hakim yang terbukti melakukan pelanggaran?

Terhadap 83 laporan yang dinyatakan terbukti, itu menyangkut 130 hakim yang dijatuhi hukuman. 

KY bisa memberi sanksi?

Jadi, KY itu berwenang untuk merekomendasikan sanksi. Akan tetapi, kami harus menyampaikan kepada Mahkamah Agung, karena Mahkamah Agung yang mempunyai kewenangan untuk menjatuhkan sanksi terhadap hakim-hakim yang direkomendasikan oleh Komisi Yudisial.

Lalu, bagaimana sanksi terhadap 130 hakim tersebut?

Dari 130 hakim yang direkomendasikan untuk mendapatkan sanksi, ada 91 hakim yang diberikan sanksi ringan. Sanksi ringan itu teguran lisan itu sebanyak 18 hakim, teguran tertulis itu sebanyak 35 hakim, dan sanksi pernyataan tidak puas secara tertulis itu sebanyak 38 hakim.

Kemudian, untuk sanksi sedang itu ada 31 hakim. Sanksi sedang itu juga bermacam-macam jenisnya, ada yang diberikan sanksi non-palu selama dua bulan itu ada dua hakim, ada sanksi non-palu satu bulan itu satu hakim, kemudian sanksi non-palu selama enam bulan itu ada enam hakim. Ada sanksi penundaan kenaikan gaji secara berkala selama satu tahun itu ada 14 hakim, ada penundaan kenaikan pangkat secara berkala selama satu tahun itu ada empat orang hakim, sampai pada sanksi penurunan kenaikan gaji berkala selama satu tahun kepada satu orang hakim.

Bagaimana dengan hakim yang mendapatkan sanksi berat?

Hakim yang kita rekomendasikan mendapatkan sanksi berat ada delapan orang. Sanksi berat itu pemberhentian tetap jabatan hakim, dengan hak pensiun itu ada dua orang hakim. Kemudian,, pemberhentian tetap dengan tidak hormat itu ada dua orang hakim, dan ada juga sanksi non-palu selama dua tahun, itu ada dua orang hakim.

Jumlah laporan tahun ini menurun jika dibandingkan 2018. Tetapi, jumlah rekomendasi sanksi yang diterbitkan oleh KY tahun ini meningkat jika dibandingkan tahun lalu. Bisa dijelaskan?

Sepanjang tahun 2019 ini, memang secara jumlah laporan menurun jika dibandingkan tahun 2018. Tahun 2019 ini, ada 2435 laporan yang masuk ke kita. Itu terdiri dari 1.544 itu laporan langsung, dan 891 laporan dari surat tembusan.

Surat tembusan?

Surat tembusan itu bisa surat dari Mahkamah Agung yang dimasukkan ke kita, atau surat dari Presiden yang diberikan ke kita. Dari jumlah laporan itu ada yang sama dan ada yang tidak sama. Kalau tidak sama dengan laporan yang langsung ke kita, maka itu kita register. Tapi kalau sama, misalnya sama dengan laporan yang laporan langsung ke kita, kita abaikan. Jadi, dari 891 laporan tembusan itu bisa saja sama, bisa juga tidak.

Kenapa sedikit sekali yang diselesaikan oleh KY? 

Karena mungkin juga sama, total laporan yang masuk ke kita itu 1.544 laporan per tanggal 23 Desember 2019. Dari 1.544 itu kalau dibandingkan dengan laporan yang masuk di tahun lalu itu 1722 laporan, untuk laporan tembusan ke kita turunannya sekitar 1.000-an. Jadi, yang berkurang secara drastis itu laporan surat tembusan. Kalau dari laporan langsung ke kita tahun 2019, dibandingkan tahun sebelumnya itu, turun sekitar 178 laporan.

Tetapi, dari sisi capaian kinerja, kan juga ada carry over dari tahun 2018 ke tahun 2019. Kita dari tahun sebelumnya dari sisi kinerja bisa dikatakan tahun 2019 ini melebihi target yang ditetapkan. Dalam target menyelesaikan pelayanan laporan masyarakat itu dari tahun ini berjumlah 478 perkara, kalau tahun 2018 tidak sampai di angka 478 perkara, bahkan 2017 itu di bawah 400 perkara, tahun 2018 itu sekitar 412 perkara. Jadi, dari sisi capaian kinerja kita cukup meningkat dari tahun-tahun sebelumnya.

Kenapa jumlah perkara yang di-carry over masih tinggi?

Setiap tahun pasti ada carry over. Karena gini, misalnya laporan di bulan Desember yang masih dalam proses, kan pasti tidak mungkin diselesaikan pada bulan itu juga, pasti di-carry over pada bulan berikutnya. Atau misalnya gini, kita menyampaikan capaian per tanggal 23 Desember, tetapi tiba-tiba ada laporan yang masuk di tanggal 26, 27, 28, 29 Desember misalnya, itu kan tetap harus di-carry over kan.

KY merekomendasikan 130 perkara dugaan pelanggaran etik di tahun ini. Tapi masih ada yang belum direspons MA. Bagaimana Anda menanggapi hal itu?

Iya tadi, jumlah 62 atau sebanyak 47.69 persen itu Mahkamah Agung sudah memberikan jawaban ke kita. Jawaban Mahkamah Agung itu, rekomendasi KY tidak bisa ditindaklanjuti, karena itu bukan kewenangan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, karena itu berkaitan dengan teknis yudisial.

Teknis Yudisial yang dimaksud itu berarti putusan hakim itu sudah benar dan tidak bisa masuk dalam dugaan pelanggaran etik hakim?

Iya, teknis yudisial itu berarti itu sudah mempertimbangkan putusan hakim, dan lain sebagainya. 

Artinya, putusan hakim sudah tidak bisa diganggu gugat atau dikritisi?

Iya, itu pandangan Mahkamah Agung. Tetapi, kalau kita melihat ada dugaan pelanggaran hukum acara atau pelanggaran aspek akuntabilitas daripada hakim ketika memutus sebuah perkara di pengadilan.

KY dinilai tidak punya taring. Tanggapan Anda?

Ya memang, waktu penyusunan panduan kode etik antara KY dan Mahkamah Agung kita sudah diskusi panjang. Kalau menyangkut dengan teknis yudisial itu gimana, kalau teknis yudisial ya sudah, tapi kalau yang beririsan bagaimana? Kita sering menemui yang beririsan.

Maksudnya?

Misalnya, pertimbangan hukumnya A, terus putusannya B. Kemudian, ketentuan dalam undang-undang itu seperti ini, tapi putusannya berbeda. Itu memang putusan hakim, tetapi kok perasaan kurang pertimbangan hukum begitu. Nah, putusan yang seperti ini kita sampaikan saja ke Mahkamah Agung bahwa kita punya pandangan seperti ini, terbukti ada dugaan melanggar ketentuan yang berkaitan dengan butir 8 dan butir 10, kemudian juga yang berkaitan arif bijaksana. Jadi, kita tidak murni dengan butir 8 dan butir 10 sebetulnya, dikaitkan dengan aspek yang lainnya. Tapi Mahkamah Agung menjawabnya ini betul-betul murni berkaitan dengan teknis yudisial, ya sudah, itu kewenangan Mahkamah Agung.

Dan, pandangan Mahkamah Agung itu bersifat final?

Final, karena kita sifatnya rekomendasi.

Baru-baru ini banyak kasus kekerasan yang menimpa hakim. Tanggapan Anda?

Ya, tentu yang berkaitan dengan tugas secara langsung, kami prihatin. Kita tidak menghendaki hal-hal yang demikian terjadi. KY sudah memikirkan itu sejak lama, maka hakim sebagai pejabat negara memiliki hak untuk memperoleh perlindungan, dan kebetulan PP Nomor 94 tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim itu ada juga mengatur tentang jaminan keamanan bagi hakim. 

Apakah pengamanan terhadap hakim itu diperlukan untuk menghindari intervensi dan kekerasan?

Iya. Karena, fakta-fakta memang banyak gangguan yang dialami oleh hakim terhadap proses persidangan. Jadi, itu memang penting. Biar bagaimanapun, pencegahan lebih baik dari pada kejadian.

Artinya, Anda melihat itu sangat dibutuhkan saat ini?

Iya. Kalau di berbagai negara hakim itu secret betul. Masuk ke ruang persidangan saja pengunjung sidang itu benar-benar harus dicek betul, enggak boleh bawa hp, enggak boleh bawa sesuatu yang dianggap membahayakan hakim di ruang pengadilan.

Kemarin ada wacana agar setiap hakim dikawal oleh TNI/Polri. Tanggapan Anda?

Iya, itu kan masalah teknis. Nanti teknisnya, apakah yang mengawal dari Kepolisian atau dari aparat TNI, itu bisa didiskusikan. Tapi kan, kita tetap harus melihat tupoksi dari dua lembaga itu. 

Publik kaget dengan putusan kasasi MA yang memangkas hukuman terpidana kasus korupsi Idrus Marham. Bagaimana Anda menanggapi itu?

Iya, itu kan bagian dari penilaian hakim, dan itu bagian dari independensi para hakim. Rasa keadilan masing-masing hakim, tentunya berbeda-beda, dan itu harus kita hormati. Kan, tergantung daripada berkas dan fakta hukum. Di dalam berkas tingkat PK (peninjauan kembali) dan alat bukti apa yang dihadirkan dalam tingkat kasasi itu, alasan hukum apa yang disampaikan oleh kuasa hukum terpidana itu pasti dipertimbangkan oleh majelis hakim Kasasi MA itu. Nah, tentunya hakim-hakim melihat berkas-berkas hukum itu. 

Artinya Anda melihat putusan hakim MA itu sudah tepat?

Saya belum membaca satu per satu pertimbangan putusannya, apakah pertimbangan yang disampaikan itu relevan atau tidak relevan, pas atau tidak pas, tapi kita tetap harus hargai. Kita percaya bahwa hakim telah mempertimbangkan semua aspek hukum yang ada.

Jokowi sempat mengusulkan untuk menghukum mati koruptor. Tanggapan Anda?

Kalau dari sisi kelembagaan, kita belum membahas persoalan itu. Karena, itu kan bukan persoalan etik atau substansi hukuman.

Salah satu Hakim Pengadilan Tinggi Kupang, Albertina Ho menjadi salah satu Dewas KPK. Bagaimana tanggapan Anda?

Iya, itu memang hak prerogatif Presiden, karena dalam undang-undang KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang baru, Dewan Pengawas (Dewas) KPK pertama itu dibentuk oleh Presiden tanpa melalui panitia seleksi. Nanti baru di periode berikutnya, pemilihan Dewas KPK itu melalui proses panitia seleksi, dan Panselnya ditentukan oleh Presiden.

Apakah nantinya tidak akan menimbulkan conflict of interest?

Tidak. Kan gini, ada hakim aktif juga yang jadi komisioner KPK, Pak Nawawi itu. Nah, apakah nanti di etika KPK hakim itu tidak diperbolehkan lagi merangkap jabatan, itu kan pasti, semua pejabat negara tentu tidak boleh merangkap jabatan. Kemudian apakah posisinya nanti mereka cuti dulu, atau berhenti langsung dari hakimnya, atau seperti apa, yang jelas dia tidak boleh merangkap jabatan. Jadi itu terkait dengan peraturan teknis di masing-masing instansi. Itu nanti diserahkan ke KPK dan Mahkamah Agung. Yang pasti yang bersangkutan tidak lagi diperbolehkan menangani persidangan di pengadilan selama menjabat Komisioner ataupun Dewas KPK.

Bagaimana progres seleksi Hakim Agung?

Pada akhir bulan November lal,  kita sudah menyerahkan hasil proses seleksi calon hakim agung dan calon hakim Adhoc PHI di Mahkamah Agung. Dari waktu yang diminta kita baru bisa menyerahkan, pertama untuk Kamar Pidana satu orang, Kamar Perdata dua orang, Mahkamah satu orang, PTUN satu orang, dan Militer satu orang, jadi ada enam orang. Kemudian untuk Hakim Adhoc Tipikor sebanyak dua orang dan Hakim Adhoc PHI dua orang. Jadi, total 10 orang yang kita sudah serahkan ke DPR. 

Kenapa hanya 10 hakim yang diserahkan ke DPR dari 20 hakim yang diminta ?

Proses seleksi hakim di kita itu ketat betul ya, aspek administrasi, integritas, dan kapasitas itu betul-betul diuji di situ. Yang lolos itu cuma 10 ya sudah, itu yang kita sampaikan ke DPR.

Artinya, saat ini bolanya tergantung DPR saja?

Iya, sudah di DPR. Tergantung DPR nanti, apakah nanti DPR dalam fit and proper test itu akan meloloskan semuanya, ya itu yang kita harapkan. Kalau nanti ada satu atau dua yang tidak diloloskan, ya itu hak prerogatif DPR.

Apa target Anda selama memimpin KY?

Pelayanan terhadap masyarakat pencari keadilan meningkat. Makanya, saya genjot dari sisi jumlah laporan yang masuk ke kita, secara maksimal bisa kita selesaikan. Kalau bisa tidak ada carry over-carry over, kecuali kalau ada laporan yang masuk di akhir tahun dan itu memang harus di-carry over yaa.

Apa kendalanya, sehingga harus ada yang di-carry over?

Kendalanya banyak. Bukti-bukti yang disampaikan ke kita, terus kadang hakimnya juga yang sudah berpindah tugas, karena itu menyangkut proses surat menyurat. Kalau prosesnya hanya cukup dengan telepon kemudian mereka datang kan enak, tetapi kadang-kadang kan tidak bisa seperti itu juga. Kadang-kadang sudah lapor ke kita, pas pelapor pulang, ditelepon susah, disurati juga susah, harus didatangi.

Kalau dari sisi regulasi bagaimana?

Iya di undang-undangnya KY memang hanya sekedar memberikan rekomendasi sifatnya, sehingga tidak bisa lebih dari itu. 

Kalau dari sisi anggaran?

Dari sisi anggaran diharapkan di tahun 2021 itu bisa ditingkatkan. Untuk anggaran tahun 2020, insya Allah bisa meng-cover semua kegiatan. Tetapi, kita mengharapkan agar bisa lebih maksimal tentunya tiap tahun ada penambahan anggaran untuk memaksimalkan kinerja.

Apa harapan Anda?

Kita sangat berharap, kehadiran KY bisa dirasakan manfaatnya oleh para pencari keadilan, agar proses penegakan hukum dan keadilan di Indonesia dari waktu ke waktu itu semakin meningkat kualitasnya. Sehingga, para pencari keadilan itu benar-benar bisa merasakan bahwa perkara yang mereka minta keadilan kepada negara dalam hal ini hakim, itu benar-benar dirasakan manfaatnya. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya