Saya Poligami Justru Melindungi Harkat dan Martabat Perempuan
- VIVA/M Ali Wafa
VIVA – Pelantikan anggota DPR RI untuk periode 2019-2024 digegerkan oleh anggota dewan bernama Lora Fadil. Kehadirannya dengan tiga istri, lalu foto bersama membetot perhatian wartawan. Lora segera menjadi incaran publikasi.
Keberadaan Lora semakin membuat publik kesal, sebab setelah berpose dengan tiga istri, di ruang sidang Lora malah tertidur dan tertangkap kamera. Perilaku Lora langsung menjadi perhatian publik.
Ia dikenal sebagai anggota dewan beristri tiga. Lora terlihat tak ambil pusing. Ia menghadiri permintaan wawancara dari berbagai media, termasuk televisi dan acara talkshow, yang membincangkan tentang kehidupan poligaminya. Ia bertutur apa adanya, termasuk bagaimana proses hingga punya tiga istri.
Lora Fadil, kelahiran 21 Oktober 1979, mengaku merintis karier politik dari akar rumput. Ia memulainya dari menjadi pengurus tingkat desa, lalu naik terus. Ia adalah anak Kiai Haji Ahmad Muzakki, pendiri dan pengurus pesantren al-Qodiri di Jember. Ia mengaku bahwa menjadi politisi atas permintaan sang ayah.
Sebelumnya, tahun 2009-2014, Lora juga sudah menjadi anggota DPR RI, tapi dari Partai Kebangkitan Bangsa. Tahun 2014-2019, ia gagal melenggang ke Senayan karena suaranya kalah oleh politisi lain dari PKB. Lora lalu menyeberang ke Nasdem, dan memulai kembali karier dari bawah. Strateginya berhasil. Pileg 2019 mengantarkan Lora kembali ke Senayan melalui partai Nasdem.
Kehadirannya saat pelantikan membuat nama Lora langsung melambung. Meski, ia mengaku beberapa kali diundang mewakili Komisi VIII, dan menjadi narasumber sesuai bidangnya, tapi berita poligami lebih menarik perhatian publik. Ia mengaku tak mendesain, karena kehidupan poligami yang penuh kebersamaan adalah kesehariannya. Ia tak merasa berpura-pura bahagia, atau berpura-pura adil. Ia meyakini, kehidupan tiga istrinya bahagia karena ia sudah berlaku adil.
Seperti apa kehidupan Lora Fadil? Apa yang meyakininya sehingga begitu percaya diri dengan tiga istri? Apa visi misinya sebagai anggota DPR RI? Kepada VIVAnews, Lora bicara panjang lebar. Berikut petikannya:
Boleh diceritakan bagaimana proses karier politik Anda?
Awalnya saya adalah kader di Partai Kebangkitan Bangsa. Saya mulai karier dari tingkatan paling bawah. Mulai dari pengurus partai di tingkat desa, sampai tingkat kecamatan, setelah itu langsung jadi anggota DPR RI. Karena jadi anggota DPR RI, maka saya masuk kepengurusan pusat di Jakarta. Kemudian saya mencalonkan lagi, tapi tak terpilih. Akhirnya saya pindah ke partai Nasdem, dan akhirnya terpilih lagi.
Mengapa meniatkan diri jadi politisi dan akhirnya anggota dewan?
Karena saya dari kalangan pesantren. Dengan orang tua, pesantren itu sistem kelolanya tak jauh beda dengan kerajaan atau negara. Harus ada yang betul-betul fokus terhadap pesantren, ada juga yang bagian perekonomian, dan ada juga yang di luar pesantren, semacam Menteri Luar Negeri. Saya yang ambil peran seperti Menlu. Tupoksi saya di bagian luar.
Jadi memang ada arahan orang tua?
Ya. Karena kakak saya sudah fokus di pesantren, dan tak mau terlibat menjadi pengurus atau organisasi kemasyarakatan keagamaan seperti NU. Dia sangat fokus urus pesantren. Jadi orang tua mengarahkan saya di bagian luar, yaitu politik.
Mengapa dianggap penting ada yang terjun ke politik?
Pada awalnya semua untuk kepentingan pesantren. Pesantren bisa kuat kalau ada pembagian peran seperti itu. Kalau semua pengurusnya fokus di luar, pesantren tak akan bisa bertahan lama. Sebaliknya, kalau terlalu fokus urus pesantren, maka pesantren hanya begitu-begitu saja, tak bisa berkembang. Baik dari segi pendidikan, maupun jumlah muridnya.
Ini pesantren keluarga?
Alhamdulillah orang tua saya yang punya pesantren. Namanya al-Qodiri. Santri yang menetap ada 3.000 anak. Jenjang pendidikan dari taman kanak kanak sampai perguruan tinggi, kami punya. Bahkan ada dua, satu Sekolah Tinggi Ilmu Agama dan satu lagi Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan, perawat kebidanan. Semuanya ada di Jember.
Apa visi dan misi Anda sebagai anggota dewan?
Pertama, saya akan perjuangkan aspirasi konstituen saya yang ada di dapil. Baik pendidikannya, juga peningkatan sumber daya manusianya. Juga peningkatan ekonomi. Di dapil saya ada dua kabupaten yang sdm-nya sangat rendah sekali dari segi pendidikan, dari segi pembangunannya.
Bentuk konkretnya, apa yang akan Anda lakukan?
Dengan menjadi anggota DPR RI, maka relasi saya akan makin luas. Saya punya kesempatan untuk mengajak rekan lain untuk berbuat sesuatu di dapil saya. Misalnya, dengan posisi saya sebagai anggota dewan, saya bisa bantu mendorong agar ada peningkatan APBN untuk pendidikan pesantren, pendidikan, bantuan infrastruktur di wilayah dapil saya. Hal lain, saya bisa mengajak rekan-rekan anggota dewan untuk berinvestasi di dapil saya. Juga bisa mendorong peran Kepala Daerah, karena peran mereka sangat menentukan sekali.
Menurut Anda, apa yang membuat konstituen kembali memenangkan Anda?
Pertama, saya adalah anak tokoh. Saya sudah cukup dikenal di dapil. Apalagi, sebelumnya pernah juga terpilih, dan tahun 2014 mencalonkan lagi, tapi gagal. Tapi, itu jadi investasi saya. Saya sudah menanam gerakan sejak tahun 2014. Jadi 2019 ini hanya tambal sulam saja. Menambah sedikit-sedikit apa yang sudah saya lakukan di 2014.
Boleh tahu identitas bapak dan ibu Anda?
Bapak saya namanya Kiai Haji Ahmad Muzakki. Beliau pendiri dan pengasuh pondok pesantren al-Qodiri, di Jember. Saya terlatih di dunia politik, baik tingkat desa sampai kecamatan. Saya tak pernah terpilih dari kampung saya, tapi dari kampung tetangga. Saya orang asli Jember, tapi dapil saya Banyuwangi, Bondowoso, Situbondo. Dulu, periode 2009-2014, saya justru dari dapil Blitar, Kediri, Tulungagung. Saya terpilih dari daerah situ, dari PKB.
Kemarin Anda menghadiri pelantikan dengan membawa tiga istri. Mengapa Anda berani melakukan itu? Apakah memang ada misi tertentu yang ingin Anda sampaikan?
Saya termasuk orang yang dalam hidup mengikuti arus saja. Saya tak punya rencana tertentu. Saya ikut arus saja. Sebenarnya, sejak saya dilantik jadi anggota dewan, saya banyak tampil di media untuk menjadi narasumber mewakili komisi saya di DPR RI. Bicara soal direktur Garuda, lalu kapan hari saya juga bicara soal pesawat Boeing, dan lain lain. Tapi mungkin karena memang masyarakat antusiasnya bidang itu (poligami) ya mau gimana lagi? Masa mau saya paksakan? Saya ikut arus saja, karena memang masyarakat itu lebih suka melihat saya poligami, berita-berita tentang poligami, saya ikuti.
Apa indikasinya masyarakat lebih suka berita tentang poligami?
Ketika saya unggah di medsos, misalnya mengucapkan selamat pada presiden atas pelantikannya. Sedikit sekali yang memberi jempol. Tapi, ketika saya unggah bersama istri-istri, yang memberi jempol dan berkomentar, jauh lebih banyak. Itu kan indikasi sederhana. Termasuk komen yang tidak enak, jauh lebih banyak ketika saya bicara rumah tangga. Status itu lebih seru, dan jadi pro kontra. Ketika saya unggah status tentang pekerjaan saya, biasanya juga sepi komentar. Jadi memang itu tak bisa dipaksakan, penilaian masyarakat dan ketertarikan mereka pada sebuah isu. Karena mungkin pribadi saya lebih menarik dibanding pekerjaan saya.
Apa yang membuat Anda santai saja mempublikasikan kehidupan dengan tiga istri?
Tidak ada latar belakang atau motivasi tertentu. Sebab, saya memang sudah terbiasa menjalankan rumah tangga dengan keterbukaan. Saling terbuka. Jadi kalau pas pelantikan, saya memang ajak ketiganya. Sebab, kalau saya hanya bawa satu malah bisa jadi pertengkaran di rumah tangga kami. Saya sudah terbiasa berlaku adil. Salah satu bentuknya ya mengajak ketiganya saat saya dilantik jadi anggota dewan. Sebelum jadi anggota DPR saya juga sudah biasa posting kebersamaan kami berempat di media sosial. Dan itu kehidupan pribadi yang nyata. Bukan karena saya jadi anggota dewan. Bukan dibuat-buat. Karena sehari-hari sudah seperti itu, saya tak bisa mengubah keseharian hanya karena saya menjadi anggota dewan. Kalau saya ubah, justru saya tak menjadi diri sendiri.
Memang sudah berapa lama menjalani kehidupan dengan tiga istri?
Sudah sekitar sembilan tahun. Sudah lama toh? Tapi, semuanya butuh proses. Pak Jokowi saja menuju presiden harus mulai dari jadi wali kota, lalu gubernur, dan akhirnya jadi presiden. Semua di dunia ini tidak ada yang 'kun fa yakun,' (jadi, maka jadilah). Semuanya butuh proses. Kebetulan saya punya trik dan tekniknya. Saya juga punya doanya. Dan itu sudah berhasil berkali-kali.
Anda tak khawatir akan diprotes keras oleh mereka yang tak suka poligami?
Justru di sini saya ingin berdiskusi dengan mereka. Karena bagi saya, apa yang saya lakukan justru untuk menghargai perempuan. Cara yang saya pilih justru untuk menghormati harkat dan martabat perempuan. Sebab, saya menikah secara sah, baik agama maupun negara. Dan saya tak pernah menyembunyikan istri-istri saya. Semuanya saya tampakkan dan saya perkenalkan kepada publik. Lalu, di mana salah saya? Saya tak sembunyikan istri saya. Dan di luar sana, justru lebih banyak yang sembunyi-sembunyi, banyak yang selingkuh. Bukankah itu justru tidak menghargai perempuan? Bagaimana bisa disebut menghargai, ketika perempuan hanya dibeli dengan materi, tapi jati dirinya disembunyikan? Itu yang harusnya diserang. Bukan saya yang menikah dengan resmi, bahkan sampai hukum negara. Saya sampai ke pengadilan untuk mendapatkan rekomendasi ke KUA. Jadi, di mana salah saya? Mengapa saya diserang? Dan kami bahagia lho. Jadi tak ada alasan untuk memprotes kami kan?
Soal pilihan Anda menikahi perempuan yang masih muda dan cantik, itu dianggap bertentangan dengan sunnah Rasul dalam hal poligami?
Saya jelaskan. Pertama, tidak semua istri nabi berusia tua. Ada juga istri nabi yang masih muda. Kedua, soal janda. Kalau hanya ingin menafkahi, tak perlu saya nikahi. Saya banyak menyantuni janda-janda yang sudah tua, bahkan ada yang saya umrohkan. Tapi, kan tak harus saya nikahi. Kalau saya hanya nikahi mereka, tanpa saya beri nafkah batin, apakah itu tak menjadi dosa bagi saya? Bagaimana saya mau memberi nafkah batin jika saya tak bisa memiliki nafsu ke mereka. Dan bukankah mereka yang sudah tua biasanya juga sudah menopause, bisa jadi sudah tak tertarik dengan urusan laki-laki. Padahal, dalam pernikahan, ada kewajiban memberi nafkah lahir dan nafkah batin, dan itu wajib. Jadi ini yang salah di persepsi masyarakat. Dalam tuntutan agama, untuk menikah, nabi mengajarkan tiga hal. Carilah yang cantik, carilah perempuan yang kaya, dan dari keturunan baik-baik. Tak ada nabi mengajarkan untuk menikahi janda tua.
Tapi, nabi sendiri berpoligami dengan menikahi yang lebih tua?
Nabi mencontohkan, tapi itu sunnah, tak ada kewajiban untuk diikuti. Dilakukan berpahala, tak dilakukan tak berdosa. Kalau kita berpegangan pada sunnah rasul secara mutlak, maka saat ini kita jangan naik mobil, kita naik unta. Karena nabi selalu naik unta. Jadi kehidupan nabi itu sunnah, diikuti berpahala, jika tak diikuti tak berdosa. Ini yang salah di persepsi masyarakat.
Kembali ke pernikahan saya. Dalam pernikahan wajib memberi nafkah lahir batin. Jika tidak saya lakukan, maka saya berdosa. Memberi kecukupan sandang pangan, ekonomi dan kebutuhan biologis istri adalah kewajiban suami. Kalau itu tak terpenuhi, maka saya berdosa sebagai suami? Padahal, kita maunya dapat pahala. Ini analoginya seperti kalau pergi haji, ingin mencium Hajar Aswad. Mencium Hajar Aswad adalah sunnah. Tapi, kita sikut sana, sikut sini, untuk mendapatkan sunnah itu. Padahal, menyakiti orang lain adalah dosa. Kita sakiti orang lain, demi mengejar sunnah. Kan aneh. Nah, pemahaman-pemahaman seperti ini yang harus kita ubah.
Anda menikah dengan seizin istri?
Ya. Dari istri pertama ke istri kedua, saya izin. Jadi saya kenalkan ke istri pertama, setelah itu istri pertama mengizinkan saya menikah. Tak langsung resepsi, mungkin ada jarak sekitar satu atau dua bulan. Tapi ketika resepsi, istri pertama saya ikut mengantarkan. Bahkan, demi Allah, kami foto bareng. Tapi, tak saya simpan arsipnya.
Bagaimana reaksi istri ketika Anda minta izin ingin menikah lagi?
Saya tahu, 99 persen wanita di dunia ini, apapun status sosialnya, tak ada yang mau dipoligami. Sebaliknya, 99 persen laki-laki, sangat ingin berpoligami. Tapi, ada laki-laki yang setia? Tak semua. Bisa saja mereka tak mau poligami secara terbuka karena takut. Takut mertuanya marah-marah, takut jabatan hilang, karena UU ASN kan melarang poligami. Juga takut secara ekonomi tak mampu menghidupi istrinya. Tapi, coba saja, semua ketakutan itu dihilangkan dan, misalnya, datang para pejabat negara, mertuanya, istri pertamanya dan memberitahu dia boleh menikah lagi, pasti dilakukan.
Bagaimana Anda bisa terlihat percaya diri dengan berpoligami?
Karena di agama dan UU kita dari dulu tidak masalah. Buat saya, yang penting saya tidak mengajarkan poligami. Jika pun ada yang mau mengikuti saya, syarat pertama adalah bahagiakan dulu istri pertama. Kalau kamu tak bisa membahagiakan istri pertama, bagaimana mau membahagiakan istri kedua dan seterusnya. Apalagi perempuan pada dasarnya memang tak mau dipoligami. Tapi ada prosesnya untuk membuktikan. Saya yakinkan istri saya, bahwa cinta saya tak akan berkurang karena saya menikah lagi, sebaliknya cinta saya pada istri saya malah bertambah besar.
Anda tak merasa menyakiti istri Anda?
Justru saya memuliakan istri dengan tak mengubah apapun di diri saya. Apa yang salah ketika istri akhirnya bisa menerima? Justru yang salah adalah mereka yang melakukan dengan sembunyi-sembunyi. Mereka yang selingkuh. Lihat saja di tempat-tempat 'karaoke.' Laki-laki yang datang ke sana, justru tidak menghargai perempuan. Mendatangi tempat itu dengan sembunyi, menghargai wanita sebatas materi, dan mengkhianati istri di rumah. Selingkuh, tapi mengaku cinta. Itu yang salah.
Bagaimana dengan anak-anak Anda?
Anak saya senang-senang saja. Karena mereka bisa dapat uang jajan lebih banyak. Ada tiga sumber kan. Umi, bunda, dan mama. Anak saya ada lima, ada yang meninggal satu. Dan saat ini istri ketiga sedang hamil. Anak pertama saya, usia 20 sudah menikah. Saya sudah punya cucu, umurnya 11 bulan.
Mengapa izinkan anak menikah di usia muda?
Kami di pesantren sangat meyakini, dalam Islam, apa yang kita dapat dalam hidup adalah rezeki bersama. Jadi, menurut kami, Tuhan tidak memberikan kita pekerjaan, tapi memberikan rezeki. Ketika kita punya istri, pasti ada rezekinya. Kita tahu bagaimana pergaulan anak sekarang. Banyak di dapil saya, anak SD sudah bergaul sangat bebas. Saya hindari anak saya dari berbuat dosa. Sebagai orang tua, saya merasa mampu membantu ekonominya, saya bantu. Alhamdulillah, pengalaman saya, ketika saya menikah ada saja rezekinya. Saya tahu itu bukan rezeki pribadi, tapi rezeki sebagai suami istri. Bahkan, rasanya cukup sekali meski istri bertambah, dan anak juga banyak. Jadi itu urusan yang kuasa memberikan rezeki. Bukan urusan kita.
Tapi, poligami menyakiti perempuan. Dan itu yang ditolak oleh pegiat hak-hak perempuan. Anda dianggap mencederai itu. Tanggapan Anda?
Tapi, terbukti tak ada yang tersakiti di kami. Saya bisa membuktikan itu. Silakan wawancara istri saya. Media sosial milik istri tak pernah saya atur-atur. Semua mereka pegang sendiri. Saya bahkan tak tahu password-nya. Jadi, jika mereka tersakiti oleh saya dan ingin menulis di media sosialnya, ya silakan saja. Bahkan, istri pertama saya juga tak pernah mengatur-atur istri kedua dan ketiga. Mau komentar apa saja bebas, tak perlu izin. Orang tua saya selalu mengajarkan, manusia berbeda dengan alat berat. Alat berat dinaikkan ke truk, maka dia diam saja. Tak akan bergerak, kecuali diturunkan. Kalau manusia, meski dinaikkan ke mobil mewah, kalau dia tak suka, dia akan mencari cara untuk turun lagi. Bahkan kalau perlu loncat. Logikanya, jika istri saya tidak bahagia, dia pasti akan menggugat cerai. Apalagi, mereka semua dari keluarga berada. Istri ketiga, ayahnya pegawai negeri dan dia pernah bekerja di bank. Istri kedua, lulusan sekolah perawat, ayahnya adalah TNI, dan ia anak satu-satunya. Kalau istri tak terima pada saya, orang tuanya juga pasti tak terima. Tapi, itu tak terjadi. Semuanya dukung, orang tuanya juga dukung. Jadi menurut saya, tak ada masalah.
Tadi Anda menyebut menjaga harkat dan martabat perempuan. Apa persepsi Anda tentang harkat dan martabat perempuan?
Secara umum, perempuan adalah representasi ibu kita. Maka kita hormati perempuan selayaknya kita menghormati ibu. Hal sederhana, mendahulukan mereka. Di kendaraan umum, di jalan, di rumah, dan di tempat lain. Dahulukan perempuan. Saya dulu pernah di Komisi VIII dan studi banding ke luar negeri tentang kesetaraan gender yang ingin dijadikan UU. Menurut saya di Indonesia tak perlu kesetaraan gender diungkap terlalu dalam. Saya hidup di masyarakat kalangan paling bawah, dan tinggal di daerah. Menurut saya, kita sudah sangat setara. Di kampung saya, banyak perempuan jadi pengemudi ojek. Tak ada yang larang. Bahkan, bupati dan gubernur kami perempuan. Di Indonesia semua sudah terlindungi. Sejak Megawati jadi presiden, semua sudah setara. Menurut saya, untuk menghargai perempuan, laki-laki harus bekerja demi melindungi perempuan.
Apa persepsi Anda tentang perempuan?
Pada dasarnya perempuan adalah mahluk yang ingin disayangi, ingin dimengerti. Semua perempuan seperti itu, apapun status sosialnya. Semua perempuan ingin dimengerti, ingin dihargai.
Inti dari RUU Penghapusan Kekerasan Seksual adalah melindungi perempuan. Anda siap mendukung RUU tersebut sebagai bagian dari melindungi perempuan?
Saya belum bisa terlalu banyak komentar soal RUU ini. Saya belum membacanya secara utuh, cuma baca sepotong-sepotong di media sosial. Jadi saya tak ingin berkomentar dulu.