Iko Uwais: Daripada Aktor, Saya Lebih Nyaman Disebut Fighter!
- Netflix
VIVA – Kami duduk melingkari meja kecil bundar, menanti Iko Uwais yang katanya sedang Salat Ashar. Sore itu, Netflix memperkenalkan serial original terbarunya, Wu Assassins di hadapan awak media Indonesia. Bincang-bincang dengan Iko serta tim Netflix dan nonton bareng episode pertamanya. Iko Uwais, bintang utama serial tersebut pun ikut nonton bersama kami.
Tak berselang lama, yang dinanti akhirnya tiba. Iko Uwais menjabat tangan kami sambil mengurai senyum cerah.Â
"Gimana, Bang, rasanya setelah nonton tadi?" tanya saya dalam wawancara spesial Iko Uwais bersama dua orang dari media lainnya.
"Lega, selama ini kan cuma lihat trailernya doang. Ya enggak sia-sialah, kerja empat bulan ninggalin istri, anak, keluarga, ke negara orang jauh 4 bulan. Hasilnya Alhamdulillah, temen-temen juga tadi seneng banget, kerja kerasnya terbayar," kata Iko penuh sukacita.
Wu Assassins merupakan serial 10 episode yang menceritakan seorang koki berdarah China-Indonesia yang hidup di Chinatown, Amerika Serikat. Bertema fantasi, Wu Assassins penuh adegan laga yang bikin penonton ikut meringis kesakitan.
Iko Uwais juga bertindak sebagai produser eksekutif dalam serial ini. Tugasnya bertanggung jawab pada konten, termasuk urusan koreografinya. Dibantu Uwais Team, Iko mengatur semua koreografi untuk semua pemain di semua episode.Â
Dalam wawancara kali ini, Iko Uwais membicarakan bebannya sebagai pemeran utama di proyek internasional, julukan sebagai The Next Jackie Chan, dan metamorfosanya sebagai aktor laga yang mulai mendunia. Simak wawancara lengkap VIVA.co.id bersama Iko Uwais berikut ini.
Untuk pertama kalinya Iko Uwais jadi pemeran utama di proyek internasional, bagaimana perasaan kamu?
Ini pengalaman pertama saya jadi lead actor, action choreographer, dan executive producer. Yah, memang pengalaman yang sudah pernah saya alami, cuman baru pertama kali di Hollywood.
Beban enggak, sih?
Beban banget, apalagi ini film pertama saya jadi lead actor berbahasa Inggris. Alhamdulillah adaptasi dibantu juga oleh coaching actor, dia sangat membantu saya. Memang ada perbedaan, saat kita ngomong Bahasa Inggris dengan ketika kita lagi baca skrip.Â
Mereka juga punya aksen, jadi ada perbedaan tiap kata, penyebutannya salah, itu banyak banget saya belajar di sana. Bukan hanya belajar akting, saya juga banyak banget belajar Bahasa Inggris di sana.
Ceritain dong kesulitan-kesulitannya selama syuting!
Saya didampingi sama Abraham (acting coach), memang saya udah baca naskahnya. Jadi misal, 2 minggu ini saya harus syuting 2 episode dari 1 sutradara, jadi saya harus menghapal keseluruhan skrip 1 sampai 2.Â
Itu sama seperti saya sekolah, saya pikir saya udah lulus sekolah ya, Mbak, hahaha. Â Tapi pas sekarang, kerjaan saya (sama kayak sekolah). Saya balik lagi ke skrip, ke buku, saya harus baca-baca. Ternyata teori di sekolah saja enggak cukup, harus sekolah dengan pengalaman.Â
Apa benar kabarnya enggak pakai stuntman untuk adegan laga?
Ya, benar. Saya bawa teman, bawa tim. Untung saya bawa tim, karena di series ini kayaknya impossible kalau saya mengerjakan semuanya sendiri. Dan waktunya juga enggak bisa, karena saya harus ngebuat koreo, semua episode, semua adegan, semua karakter, semua pemain. Lalu saya harus belajar, baca buku, baca script, akting.Â
Kalau di film, (gerakan) udah terencana. Kalau di sini enggak, hari itu kita bikin, hari itu kita buat, hari itu kita bikin video board, hari itu kita syuting.Â
Saya udah enggak ada waktu lagi (bikin gerakan), jadi yang buat koreo temen-temen. Mereka bikin koreo mentahnya pakai handphone, kasih lihat ke saya. Begini (kasih unjuk handphone), paling saya tinggal menyesuaikan dari segi gerak dan kartakter fighter masing-masing.Â
Wah, keren banget, Bang! Gimana cara menyinkronkan gerakan dan chemistry-nya?
Anak-anak (Uwais Team) udah paham. Mereka buat aja, saya enggak pernah latihan, jadi on set, langsung main. Sentuhan udah hapal, udah dapat chemistry-nya. Â
Kalau soal cedera, pernah enggak Bang Iko dan tim mengalaminya?
Jangan sampe, amit-amit (samil mengetuk-ketuk meja dan kursinya). Alhamdulillah sejauh ini ya kalau lebam-lebam segala macem itu wajar, soalnya kita bersentuhan, beradu fisik, bener-bener kita full body contact.Â
Enggak ada yang bisa dibilang bohong-bohong. Karena kita lihat posisinya. Kalau misalkan ada angle buat mukul ke muka, pasti otomatis saya akan lihat posisi kamera di mana, saya akan nge-block pukulan itu, dalam arti bisa keliatan di dalam gambar tuh terlihat mukul bener dan hasilnya si kerja sama dengan aktor dan fighter.Â
Tapi kalau cedera yang fatal, sejauh ini sih enggak. Jangan sampe lagi. Soalnya pernah, Mbak, waktu The Raid 1. Waktu itu pas saya lagi casting semua fighter. Saya coba semuanya. Dari 120 orang dan ada 1 orang, yang jadi (karakter) pakai golok matanya keluar.Â
Dia enggak punya kontrol. Ada adegan fighting kan, pas dia banting saya, BUM! Dari belakang ke atas, itu kan lepas, saya kontrol sendiri, jatuh. Ama dia dilempar, ditarik lagi. Jadi posisi saya bukannya jatuh tapi hampir berdiri lagi, jadi jatuh kayak gini. Dengkulnya agak sdikit bengkok.Â
Abis itu saya terapi kurang lebih 3 minggu, saya enggak bisa jalan sama sekali. Itu mau syuting The Raid 1. Pas udah selesai, bye segala macem, ketemu tukang urut dibetulin tulangnya, udah mau syuting 2 minggu lagi, kena cacar. Ada aja penyakitnya. Itu salah satu penyakit yang menurut saya paling terberat yang pernah saya alami.
Kalau soal fighting kan, Bang Iko udah jagonya nih. Nah bagaimana dari segi dramanya?
Pasti itu drama. Saya adaptasi, Mbak. Apalagi di sini sutradara beda-beda, kan. Ada 6 sutradara. Nah sebelum saya memasuki episode 3 atau 4 ataupun 5 ke 6, itu pas di tengah-tengah syuting saya harus ketemu lagi sama sutradara selanjutnya. Ada meeting dulu, ada brainstorming, segala macem, kemauannya seperti apa.Â
Jadi sutradara juga adaptasi ke saya. 'Oh karakter lo kaya gini,' dia akan ngikutin. Cuma kan untuk karakter yang dia mau enggak sama, sama yang sebelumnya. Jadi pas saya udah enak lagi, udah 2 minggu, DAR! berubah lagi, adaptasi lagi, itu lumayan kompleks sih, kesulitan yang saya alami di series ini.
Yang paling dirinduin pas syuting di Indonesia apa aja sih, Bang? Apa bedanya sama di luar negeri?
Kekeluargaanny, Mbak. Kan kita satu sama lain udah kenal dan akrab. Waktu film Berandal itu 8 bulan, Mbak. Ketemu keluarga aja paling jarang, paling sering sama kru gitu kan. Headshot saya 2 bulan di Batam. Dua bulan di Batam, apa-apa semua serba bareng, The Night Comes for Us 7 bulan. Setiap hari sama kru segala macem. Jadi sifat kebersamaannya itu salah satu plus minusnya sama di negara sendiri, di sana (luar negeri) kita enggak temuin.Â
Jadi pas lagi libur, misalkan dua hari, sehari libur itu enak banget kan, bisa santai di rumah, bisa ke mana-mana, masih bisa ketemu sama keluarga. Kalau di sana kan walaupun sehari, dua hari, tiga hari libur ngapain kan, enggak ke mana-mana, mending kerja sekalian kan. Kita asing sama negara orang dan cuacanya beda, dari segi makanan agak enggak begitu mudah buat kita gitu kan. Yaa plus minus sih, Mbak.
Tawaran main film atau serial kan banyak, hal apa yang paling mendasar yang dijadikan Bang Iko sebagai standar terima tawaran itu?
Sejauh ini sih saya emang lagi action ya Mbak, jadi sangat jarang ya untuk di Indonesia ataupun di luar masih bisa dihitung tangan ya. Action banyak, cuma  masih bisa dihitung dengan tangan apalagi di Indonesia gitu. Ehm... sekarang lumayan tercium sih, budaya Indonesia ada silatnya, akhirnya di sini saya, ya karena saya atlet silat, walaupun apapun gerakan yang diberikan ke saya, pasti otomatis kuda-kudanya pencak silat.Â
Jadi udah menjadi darah daging, mau karate, taekwondo, capoeira itu mah gerakannya, otomatis ending-nya silat. Jadi ada yang berbau sedikit budaya saya, Indonesia. Saya sangat tertarik untuk di luar, untuk di sini apalagi. Jadi temen-temen yang ada di sini, misalkan ada film, drama, sama sekali enggak ngeliat ada bonyok di muka saya, itu pasti sedikit aneh sih. Jadi sejauh ini saya nikmatin dulu buat ke action fighting.
Iko Uwais masih antusias menjawab semua pertanyaan-pertanyaan kami. Iko tampak berpikir sejenak, ketika salah satu dari kami menanyakan soal pernyataannya dalam sebuah wawancara bahwa aktor kelahiran Jakarta ini masih enggan disebut sebagai seorang aktor.Â
"Eeengg... belum jawab aja, saya udah merinding, Mbak," katanya membuat kami tertawa. Iko Uwais tampak lebih serius dari sebelumnya.
"Soalnya yang dibilang aktor tuh apa ya. Mungkin orang banyak yang baru main sekali film udah dibilang aktor. Aktor itu nama yang tanggung jawabnya besar banget buat saya," katanya kemudian.
"Aktor itu dia harus bisa memerankan semua karakter apa yang ditawarkan oleh sang sutradara, seperti kayak Mbak nonton wayang kulit ataupun wayang golek. Wayang golek itu dalangnya, itulah aktor. Dia bisa menerapkan masing-masing wayang, berbeda-beda dari segi suara, attitude-nya, gesture badannya wayang, itu pun kita bisa ngelihat oh itu Cepot, oh itu si Fulan, itu si Fulan segala macem.Â
Itu dari boneka lho mba, di mana dia menunjukkan gesture-nya sebagai diri sendiri untuk menjadi oke, 'saya harus menjadi siapa.' Itu harus bertolak belakang sama diri saya sendiri gitu. Itu yang namanya aktor.Â
Jadi memang saya banyak belajar, untuk berperan, mendalami karakter. Misalnya saya berbicara dengan orangtua, itu salah satu attitude atau peran buat saya. Itu yang saya dalami. Jadi aktor itu bukan hanya menghapal sebuah script, mengerutkan mata, atau melototkan mata, bukan. Tapi bagaimana lo mengkesplor diri lo sendiri, mengeluarkan dari tubuh lo sesuai dengan diri lo sendiri. Nah itu pun saya belum, belum ke situ.Â
Walaupun ada banyak film yang harus mengkarakterkan saya sebagai siapa. Sejauh ini saya masih mengkarakterkan saya sebagai diri saya sendiri. Kai Jin (nama karakter Iko Uwais di Wu Assassins) pun tidak beda jauh dengan karakter saya sehari-hari, dengan perannya, santai, yaa apa adanya, cuma perannya sebagai koki kayak gitu. Tapi pembawaan dirinya saya masih nyaman, masih kelepasan, refleks dengan saya sendiri, apa adanya.
Maksudnya, orang akan terlihat lebih bagus, berakting tapi natural, enggak dibuat-dibuat, tapi bagaimana caranya berakting natural tapi tidak dibuat-dibuat tapi sebagai orang lain, itulah aktor, hahahaha kompleks!" serunya mengakhiri penjelasan.
Saya kemudian menegaskan semua penjabaran Iko soal makna aktor baginya.
“Jadi apakah sekarang sudah confident disebut sebagai aktor?" tanya saya.
"Dibilang confident, saya harus mencoba, tapi kalau dibilang menyebut diri saya sendiri menjadi aktor, saya belum hahahah. Saya lebih nyaman dibilang sebagai fighter! hahahahha," kata Iko Uwais mantap.
Sambil mengenang memori di masa lalunya, Iko Uwais juga bercerita betapa dia mengidolakan Jackie Chan. Sosok legendaris dalam urusan film laga Asia yang mendunia itu punya peran dalam karier Iko. Suami Audy Item ini mengaku, kegilaannya pada pencak silat sempat membuatnya bingung, ingin menjadi apa di masa depan.Â
"Saya pikir, cuma latihan silat mau jadi apa sih? Jadi centeng gitu? Â hahaha," katanya bercerita soal perdebatan dalam dirinya kala itu.
Namun akhirnya, film-film Jackie Chan yang kerap ditontonnya membuka pikiran Iko lebih luas. Iko pun terkesima dengan bagaimana Jackie Chan menuangkan gerakan beladiri ke dalam adegan film.
"Film-film Jackie Chan tuh jadi salah satu film buat motivasi saya bisa berkreasi lebih banyak lagi, untuk di koreo. Ya beda, karena dia kan bisa sedikit diselipkan dengan adegan-adegan yang lucu, ada komedinya dikit kan. Cuma tidak menjiplak secara persis ada lucunya juga, cuma lebih reality-nya sih, ke Jackhie Chan," katanya menerangkan.
Ketika saya menegaskan, "Berarti Iko Uwais The Next Jackie Chan?"
Iko Uwais membasuh wajah dengan kedua tangannya, mengamini saja. "Aamin, Insya Allah," jawabnya, sederhana.
Sebelum mengakhiri wawancara, saya bertanya, "Lalu, apa pesan Bang Iko untuk aktor-aktor muda lain yang ingin menjajaki film production di internasional?"
"Temen-temen di Indonesia, saya sih lihatnya banyak ya. Indonesia nih udah tidak dipandang sebelah mata dari segi talentanya, kualitas filmnya, dan akting segala macem. Ya kalo saya bilang sih terjun, basah, basah sekalian, enggak setengah-setengah dan jadi diri apa adanya.Â
Satu lagi, saya pernah ketemu sama senior. Mbak pasti inget namanya Om Josh Rudy. Saya pernah dibilangin, 'Iko sebelum melakukan sesuatu ataupun sudah melakukan sesuatu, maksudnya sesuatu tuh berakting, harus banyak-banyak istighfar. Soalnya apapun karakter yang lo perankan, itu bukan lo,' seperti itu.Â
Makanya saya akan pisahkan, di mana saya kerja, di mana saya menjadi seorang bapak, dan menjadi seorang suami di dalam rumah tangga. Kayak gitu. Jadi saya cuma bisa membedakan bagaimana saya masuk ke ruang lingkup kerja dan saya sebagai di keluarga, dan mungkin saya pesan sama yang lain, teman-teman juga, jadi diri sendiri aja. Jadi pas di film, kita putus di film, di layar lebar, putus layar lebar, pas lagi reguler kayak gini, ya apa adanya," jawab Iko Uwais sambil mengatupkan tangan kanannya ke dada dan tersenyum.