Alat dan SDM Pemantau Gempa Sudah Bagus
VIVA – Tak ada yang menduga peningkatan aktivitas Gunung Tangkuban Perahu di wilayah Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Jumat, 26 Juli 2019. Tak ada angin, tak ada hujan, gunung tersebut mengeluarkan letusan di saat kawasan wisata tersebut masih buka dan warga yang berdagang di sana juga masih ramai.
Warga dan wisatawan lalu berhamburan, teriakan takbir dan istighfar terdengar dari video-video amatir yang beredar. Beruntung letusannya freatik, bukan magmatik. Meski menyemburkan asap dan material hingga 200 meter, dampaknya tak seberbahaya letusan magmatik.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral ternyata sudah memberikan kabar kepada pemerintah daerah setempat. Sebulan terakhir aktivitas di sekitar kawasan Gunung Tangkuban Perahu terpantau meningkat.
Pihaknya juga sudah memberikan kabar kepada pemerintah daerah dan warga agar meningkatkan kewaspadaan.
Tak hanya Gunung Tangkuban Perahu yang mengagetkan. Tapi bencana alam seperti gempa bumi juga menimbulkan kekhawatiran.
Sebagai negara yang berada di wilayah Ring of Fire, atau cincin api yang berada di atas lempeng dan sesar, gempa bumi seperti menjadi bagiannya. Dalam setahun terakhir, tercatat gempa Lombok dan gempa Palu yang mengguncang dengan kencang serta menimbulkan ratusan korban jiwa. Bahkan di Palu, likuifaksi menenggelamkan warga yang tinggal di wilayah Petobo.
Kini, guncangan gempa terasa makin sering. Sepekan terakhir, gempa terus mengguncang. Kepala PVMBG Kementerian ESDM, Kasbani berkenan menerima Vivanews untuk wawancara seputar gunung berapi, gempa, dan tsunami.
Lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Auckland University dalam bidang geologi ini menjawab dengan lugas pertanyaan-pertanyaan Vivanews. Menurutnya, publik dan pemerintah negeri ini perlu mewaspadai gempa dan gunung berapi.
Meski tak terprediksi kapan akan terjadi, warga dan pemerintah daerah perlu memperhatikan gejalanya agar mampu mengantisipasi.
Seperti apa penjelasan soal gempa bumi, gunung berapi, dan potensi bencana di Indonesia? Simak wawancara Vivanews dengan Kasbani yang dilakukan di Bandung, Jawa Barat.
Bagaimana update terkini Tangkuban Perahu pasca-erupsi beberapa hari lalu?
Jumat pekan lalu memang terjadi erupsi pada pukul 15.48 WIB. Kemarin itu adalah erupsi pertama setelah terjadi erupsi pada 2013 lalu. Meski sempat mengeluarkan semburan abu dan gas dengan ketinggian hingga 200 meter, tapi itu tidak besar erupsinya. Meski sempat mengganggu untuk berada di sekitar kawah.
Seperti apa kondisinya saat ini?
Kondisi sekarang itu memang masih fluktuatif, tetapi ada kecenderungan menurun. Dari data-data kami, baik itu data instrumen maupun data visual, memang ada kegempaan. Masih ada juga gas yang keluar dari dalam, kemudian dari visualnya memang ada gas yang keluar bersamaan asap yang tingginya bervariatif. Ada yang 50 meter, 150 meter dari dasar kawah, artinya masih ada kecenderungan atau potensi erupsi. Tapi menurun. Sampai saat ini, gempa-gempa tremor itu masih terjadi. Di data kami menunjukkan adanya gempa-gempa tremor, salah satu tandanya ada hembusan asap tadi, tapi tidak menutup kemungkinan terjadi letupan erupsi seperti yang terjadi pada Jumat kemarin.
Bagaimana pemantauannya?
Sebenarnya gunung ini kan kita monitor dengan baik. Kita menempatkan beberapa peralatan di sana. Tadi saya sampaikan ada peralatan seismik di sana untuk mengetahui detak jantung di sana. Di GTP itu ada empat seismik dan kami juga ada pos pemantauan di sana. Ada petugas kita, ada yang khusus mengamati aktivitas GTP di sana. Kami harapkan masyarakat agar tetap tenang mengikuti informasi yang berasal dari PVMBG atau Badan Geologi, jangan dari yang lain. Kemarin setelah erupsi di Jumat itu, juga sempat beredar hoaks. Makanya kami juga menginformasikan update terbaru kondisi kawah seperti apa, karena kita memantau terus itu melalui visualnya.
Apakah sebelumnya sempat diprediksi, erupsi ini akan terjadi?
Sebenarnya begini, memang sudah ada peningkatan aktivitas sejak bulan Juni 2019 lalu. Peningkatan itu ditunjukkan dengan adanya gempa-gempa hembusan. Gempa-gempa hembusan itu, yang biasanya tidak seberapa kemudian meningkat sampai sekitar 400an pada sehari sebelum erupsi. Juga ada peningkatan bentuk agak menggelembung sedikit ya pada permukaan kawah kemarin itu. Dan informasi itu kita evaluasi juga.
Apakah hasil evaluasi dan pemantauan disampaikan?
Evaluasi terakhir pada tanggal 24 Juli. Dan hasil analisa dan evaluasi kita itu kami kirimkan kepada semua stakeholder terkait. Pertama BNPB sebagai koordinator kebencanaan di Indonesia, kemudian juga pemerintah daerah setempat, baik provinsi, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Subang, dan juga tembusan instansi terkait lainnya. Kami sampaikan bahwa ada potensi terjadinya erupsi freatik, cuma kapannya kan tidak tahu. Makannya surat itu kami kirimkan agar kemudian untuk dilakukan antisipasi apabila erupsi itu terjadi.
Memang erupsi ini jangkauannya tidak sebesar erupsi magmatik. Kalau erupsi magmatik kan dia bisa besar, dan indikasinya kelihatan sekali. Tapi kalau erupsi freatik ini tidak terlalu kelihatan, tapi ada gitu kan. Makanya kami sampaikan ada potensi erupsi freatik yang bisa terjadi tiba-tiba seperti kemarin itu, namun sudah kami informasikan kepada stakeholder terkait yaitu tiga hari sebelumnya.
Selain Tangkuban Perahu, bagaimana kondisi gunung Merapi yang ada di Indonesia lainnya?
Seperti kita ketahui, Indonesia ini memiliki gunung yang paling banyak di dunia. Ada 127 gunung yang aktif. 69 di antaranya kami sebut sebagai gunung api tipe A, yaitu tipe yang paling aktif di antara yang lainnya. Nah, ke-69 gunung ini semuanya kita pantau secara intensif. Semuanya kita pantau, kita punya pos minimal satu pos di setiap gunung itu. Total kita punya 74 pos untuk memantau 69 gunung tipe A itu.
Apa saja dan siapa saja yang ada di pos-pos itu?
Di setiap pos itu kita ada pengamat atau peneliti. Ada juga alat-alat kita yang kita gunakan untuk memantau aktivitas di 69 gunung berapi itu. Tergantung bagaimana kondisi gunungnya tentu. Ada yang sangat lengkap, ada juga yang biasa-biasa saja.
Jadi dari 69 gunung ini, memang rata-rata dalam satu tahun itu ada sekitar 20-an yang di atas normal. Gunung-gunung yang di atas normal ini adalah gunung-gunung yang berada di level 2, level 3, sampai level 4, tapi saat ini gunung yang di level 4 enggak ada. Level 2 itu artinya waspada, level 3 itu artinya siaga. Untuk level 3 itu ada sekitar 20 gunung, termasuk di antaranya Sinabung dan Gunung Agung. Untuk yang di level 2, ada Krakatau, Kerinci di Jambi, kemudian kalau di Jawa itu ada Gunung Bromo, Gunung Merapi, kemudian Gunung Semeru.
Mana lagi yang berstatus waspada?
Di Lombok ada Gunung Rinjani, ke bagian Timur lagi ada Gunung Sangiang Api. Kalau di Maluku ada Gunung Karangetang itu juga level 3. Kemudian di Sulawesi Utara ada Gunung Soputan itu juga level 3. Gunung yang berada di level 2 itu cukup banyak, sekitar 18 gunung. Dan gunung-gunung yang berada di level 2 dan level 3, potensi erupsi itu ada, dan bahkan ada yang sudah erupsi, cuma skala ancamannya saja yang beda-beda.
Bagaimana membedakannya?
Kalau ancamannya masih berada di sekitar puncak tidak terlalu jauh, ada yang sekitar 1-2 kilometer, artinya tidak mengganggu permukiman, hanya mengganggu atau berdampak pada jika ada yang mendaki. Kalau level 3 itu sudah lebih jauh lagi dampaknya atau potensi ancamannya. Jadi gunung-gunung kita memang seperti itu.
Jadi tidak usah khawatir, potensi erupsi itu selalu ada, bahkan beberapa sudah ada yang erupsi. Dan yang paling penting ancamannya sudah kita mitigasi, sudah kita prediksikan. Kalau terjadi sesuatu atau erupsi, jarak aman masing-masing gunung berbeda-beda. Misalnya Gunung Merapi. Sekarang berada di level 2, sekarang itu erupsi, terus dia pembentukan kubah lava, kemudian longsor menjadi gempuran lava pijar, kemudian awan panas. Tapi kan jaraknya sudah kita antisipasi.
Dari modeling yang kami sudah buat itu, jaraknya maksimal 3 km untuk Merapi. Itu batas maksimal kami. Di tiga kilometer itu masyarakat sudah tidak boleh memasuki kawasan. Tapi kondisi sekarang, daerah terdampak erupsi Merapi hanya sampai dua kilometer. Di luar itu masyarakat masih bisa beraktivitas seperti biasa. Turis-turis juga kalau mau datang silakan, tidak ada masalah. Tapi yang penting jangan sampai melewati batas yang sudah kita tentukan.
Di Bali juga sama demikian. Radius amannya itu empat kilometer dari puncak Gunung Agung. Di luar itu nggak apa-apa, silakan saja. Artinya kita tetap waspada, tetapi tidak boleh juga berlebihan. Karena kita sudah memberikan rekomendasi kepada pihak terkait terkait dengan batas-batas terdampak itu seberapa jauh, berdasarkan evaluasi data-data yang kita peroleh dari pemantauan gunung-gunung.
Apakah publik bisa ikut memantau? Bagaimana caranya?
Publik bisa mengunduh aplikasi Magma Indonesia. Di situ selalu di-update. Sebab, dari hasil evaluasi laporan yang masuk setiap enam jam sekali dan disampaikan kita tawarkan secara tertulis melalui WAG. Jadi sebenarnya semuanya juga bisa memantau kondisi-kondisi gunung-gunung tersebut.
Bagaimana mewaspadainya?
Sebenarnya ini biasa saja. Artinya gini, dari dulu juga sebenarnya gunung-gunung ini memiliki aktivitasnya masing-masing ya, kalau memang gunung itu merasa bahwa sudah waktunya untuk mengeluarkan hajatnya, ya sudah. Karena sebenarnya gunung api ini memang masih hidup. Dan dia pasti berhajat kan, hanya saja berhajatnya itu waktunya bermacam-macam, ada yang lama, ada yang sekarang terjadi seperti GTP itu kan. Artinya pada saat gunung-gunung ini berhajat, ya kita mau tidak mau menyingkir dulu, nanti setelah dia selesai berhajat ya kita kembali lagi enggak masalah. Lha wong dia lebih tua dari kita kok, kan tamunya kita kan, bukan dia yang lebih dulu kan gitu.
"Setiap gunung memiliki aktivitasnya masing-masing. Jika sudah waktunya mengeluarkan hajatnya, ya dikeluarkan. Hanya saja waktu yang mereka butuhkan untuk melepas hajatnya bermacam-macam."
Tingkat keaktifan gunung berapi yang luar biasa ini membuat kita masuk dalam sebutan Ring of Fire?
Iya betul. Memang kita kan terletak atau berada di kawasan Ring of Fire, yaitu kita memang berada di tektonik aktif pertemuan tiga lempeng, sehingga implikasinya selain daerah yang sangat subur dengan sumber daya alam melimpah, seperti minyak, gas, dan sebagainya. Tetapi di sisi yang lain juga ada ancamannya.
Kita memang memiliki jalur gunung api yang terpanjang, sekitar 7.000 km. Jumlah yang sangat banyak dibandingkan negara lain. Dan di sini juga ada jalur gempa karena adanya pertemuan sejumlah lempeng itu tadi. Itu menunjukkan bahwa kita juga daerah yang berpotensi gempa. Dalam satu hari pasti terjadi gempa, tapi ada yang bisa kita rasakan, ada juga yang tidak kita rasakan. Kalau dalam satu hari gempa yang kita rasakan itu berkisar satu sampai tiga kali, artinya dalam satu tahun bisa mencapai 400-an kali gempa yang kita rasakan.
Sepertinya ini adalah sebuah fenomena alam yang biasa saja?
Jadi sebenarnya kejadian-kejadian alam ini memang terjadi mengikuti jalurnya saja. Jalur gempa ini kan memang ada, sehingga kejadian gempa-gempa itu adalah proses alam yang tidak bisa dihindarkan. Dan di antaranya memang ada gempa yang merusak. Tapi jumlah gempa yang merusak jumlahnya jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan gempa-gempa yang kecil. Dan sebenarnya potensi gempa juga sama dengan potensi terjadinya erupsi gunung berapi, kapan saja bisa terjadi. Cuma, kapan kejadiannya tidak bisa diketahui dengan pasti.
Beberapa bulan terakhir, intensitas gempa meningkat. Sebagian sangat terasa. Apa yang menyebabkan fenomena itu terjadi?
Seperti yang kami sampaikan tadi. Pertama, karena Indonesia berada di kawasan Ring of Fire. Kedua, kemudian berada di kawasan tektonik aktif, maka salah satu implikasinya adalah terjadinya gempa. Dan gempa ini mengikuti jalurnya tadi.
Dari Sumatera, Jawa, kemudian Nusa Tenggara, Maluku. Kejadiannya akan mengikuti daerah-daerah itu, dan tidak jauh dari itu. Dan kejadian itu sebenarnya hal yang wajar juga, karena selama ini kan memang sering terjadi gempa, sejak jaman mbah-mbah kita juga sering terjadi gempa. Kalau jaman mbah-mbah kita itu sering dibilang Lindu, dan lain lain.
Artinya kita memang akrab dengan kondisi seperti itu sebenarnya kan. Kalau masalah sumber gempanya itu para ahli ada yang mengatakan terkait dengan patahan-patahan lempengan aktif yang menimbulkan gempa. Kita tahu itu di daerah Sumatera itu ada patahan lempengan dari utara sampai selatan yang nanti ketemu di Selat Sunda, terus ketemu lagi di situ ada patahan Ujung Kulon, itu yang terkait dengan sesar aktif yang sering disebut sumber gempa.
Apa yang menyebabkan gempa-gempa itu terjadi secara beruntun?
Gempa itu kan pelepasan energi. Kalau gempa beruntun itu sebenarnya secara statistik gempa itu kalau makin banyak atau makin sering, energinya biasanya akan semakin sedikit. Dan kalau beruntun sebenarnya tidak juga, karena gempa itu terjadi mengikuti jalurnya lempengan dia.
Memang ada jenis-jenis gempa yang dipicu oleh macam-macam ya, ada yang terkait dengan sesar-sesar. Secara patahan sesar aja ada tiga jenis patahan itu umumnya, ada naik, ada turun, ada sesar mendatar. Sesar-sesar mendatar atau sesar naik ini biasanya kalau begitu terjadi gempa akan diikuti oleh gempa-gempa susulan, agak panjang biasanya, seperti yang terjadi di Lombok beberapa waktu lalu itu. Kemudian gempa di Aceh juga agak panjang, karena dia terkait sesar mendatar juga itu, kemudian di Palu kemarin juga sama. Karena sesar itu kan banyak, sehingga ketika gempa terjadi biasanya akan diikuti gempa-gempa susulan sebagai pergerakan dari patahan-patahan itu sendiri.
Kalau sesuai pemetaan PVMBG, patahan-patahan sesar yang cukup rawan itu di mana?
Begini, karena gempa ini juga tidak bisa diprediksi kapan terjadinya gempa, maka untuk mengantisipasinya kami sudah membuat Peta Kawasan Rawan Bencana Gempa Bumi. Kalau terjadi gempa kira-kira dampaknya akan seperti apa di daerah tersebut. Pemetaan itu tentunya berdasarkan pada kondisi struktur geologinya di wilayah sekitar. Ada juga sejarah masa lalunya, jenis batuannya. Karena kalau batuannya keras agak sedikit teredam, tapi kalau batuannya lunak atau tidak terkonsolidasi itu akan menambah atau memperbesar efek guncangan. Jadi itu semua ada di Peta Kawasan Rawan Bencana (KRB). Dan itu sudah kita siapkan.
Bagaimana mitigasinya?
Ini juga salah satu mitigasi, untuk menyiapkan diri jika terjadi gempa di daerah-daerah tersebut kira-kira potensinya berapa besar sih? Jadi peta KRB itu sudah kita siapkan baik untuk skala regional maupun nasional.
Terakhir BMKG sempat menyatakan bahwa di selatan Jawa itu berpotensi gempa megathrust dan berpotensi tsunami juga. Apa benar demikian?
Iya itu tadi. Kan memang kondisi tektoniknya di Indonesia seperti itu. Ada jalur di sebelah barat Sumatera, di selatan Jawa, di selatan Pulau Nusa Tenggara, di sebelah timur Sulawesi Utara, daerah-daerah itu memang zona produksi. Zona produksi inilah yang dinamakan zona megathrust. Dan situ memang ada potensinya. Dan itu lah negara kita.
Kita juga sebenarnya sudah memetakan secara regional segmen-segmen megathrust dan potensi berapa besar kalau dia terjadi gempa. Ada sekitar 13 segmen di semua jalur itu. Dan masing-masing mempunyai potensi maksimal. Misalnya terjadi gempa di segmen A, itu dia punya potensi maksimal. Ada yang 8,1 SR, ada yang macam-macam lah skalanya. Dan memang potensi itu ada. Itu untuk kesiapsiagaan kita juga. Tetapi bukan berarti tiap saat akan terjadi gempa segitu. Jadi tergantung kondisinya juga. Nah, untuk menuju potensi gempa sebesar itu (8,1 SR), tentunya dibutuhkan semua komponen yang ada di sana itu bergerak, jadi seperti rangkaian yang bergerak sepotong-potong gitu.
Termasuk yang terjadi di Lombok?
Iya. Semua di selatan Jawa, sebelah barat Sumatera, kemudian di selatan Nusa Tenggara itu kan daerah sesar. Jadi bukan baru sekarang ini saja. Itu sejak dulu, sejak jamannya mbah-mbah kita itu memang sudah ada riwayat seperti itu.
"Masyarakat tak perlu khawatir berlebihan. Pemerintah terus mempersiapakan mitigasi bencana dengan baik. Termasuk melakukan pencatatan dengan alat yang memadai di setiap pos penjagaan dan SDM yang berkualitas".
Apa yang perlu disiapkan pemerintah dan publik?
Yang terpenting itu mitigasinya sebetulnya. Untuk daerah-daerah yang rawan seperti itu, mitigasinya seperti apa. Tentunya dari sisi peningkatan kapasitas bagaimana kita memberikan pemahaman kepada masyarakat agar masyarakat bisa lebih peduli dalam antisipasi bencana. Kemudian yang kedua, bagaimana mitigasi itu bisa dilakukan secara fungsional dan struktural. Struktural itu seperti bagaimana bangunan-bangunan yang ada bisa tahan gempa. Kemudian bagaimana kita mempersiapkan tanggul-tanggul untuk mengantisipasi tsunami. Itu kan juga perlu dipersiapkan.
BNPB sebelumnya sempat menyatakan bahwa ada ribuan desa berpotensi terpapar tsunami. Jika melihat kondisi sesar, artinya itu mungkin terjadi?
Makanya, saat ini kita sudah persiapkan peta Kawasan Rawan Bencana. Peta ini dibuat berdasarkan struktur geologi setempat, kemudian sejarahnya di situ pernah terjadi atau tidak, karena kan kita bisa lihat, bisa dicek kembali daerah-daerah mana saja yang pernah mengalami tsunami, dan seberapa besar. Dan teman-teman kami sudah bisa dan itulah yang digunakan untuk peta Kawasan Rawan Bencana untuk tsunami. Di situ akan terlihat ada kawasan KRB tinggi, menengah, dan rendah. Kemudian yang tinggi ini jangkauannya sampai seberapa.
Maka yang itulah yang perlu diperhatikan jika terjadi gempa. Baik itu gempa megathrust, maupun gempa tektonik. Dan peta itu yang kemudian dapat digunakan untuk memprediksi, jika terjadi tsunami maka akan terpapar seberapa jauh, itu yang dipakai sebagai acuan untuk memitigasi kita.
Artinya publik tak perlu khawatir berlebihan?
Iya. Karena sebenarnya untuk memitigasi bencana baik itu gunung meletus, gempa, tsunami, sebenarnya kita sudah memetakan daerah mana yang dapat berpotensi gempa. Daerah mana yang bisa berpotensi tsunami atau tidak. Kalau yang tidak, ya masyarakat juga tak perlu khawatir. Wilayah yang berpotensi terjadi tsunami inilah jika terjadi gempa, paling tidak sudah bisa diantisipasi.
Bagaimana dengan fenomena likuifaksi seperti yang terjadi ketika gempa bumi dan tsunami di Palu?
Hampir semua gempa-gempa besar itu diikuti dengan likuifaksi. Cuma skalanya saja yang berbeda-beda. Dan itu tergantung kondisi tanah dan bebatuan di situ. Untuk terjadi likuifaksi ada persyaratannya, artinya tidak ujug-ujug terjadi pergeseran tanah atau likuifaksi itu. Likuifaksi itu kan karena ada peluruhan, harus ada material yang berupa pasir, lumpur, dan harus ada ceruk air di daerah itu. Gempa di Lombok juga diikuti likuifaksi, cuma skalanya kecil. Karena di sana itu, di bawah permukaan tanah itu pasir, begitu digoncang gempa maka terjadilah peluruhan itu tadi. Di Aceh juga terjadi likuifaksi, cuma skalanya berbeda dengan yang terjadi di Palu.
Kalau di Palu, lembah di dalamnya ada sesar. Kemudian di pinggir-pinggir pulaunya itu banyak perbukitan sepanjang itu, dan bukit-bukit ini kan dengan material lepas. Berkumpul di bawah itu, airnya juga berkumpul di bawah situ. Jadi persyaratan untuk terjadinya likuifaksi itu sangat mungkin terjadi.
Begitu terjadi goncangan besar, kan terjadi peluruhan, dan kebetulan di sana juga sudah pernah dipetakan sebenarnya oleh Badan Geologi, salah satu peneliti air tanah itu, bahwa lokasi itu berpotensi terjadi likuifaksi di sana. Dan itu publish di tahun 2012. Kalau sampai terjadi ada bangunan atau rumah yang tenggelam itu karena memang kondisi bebatuan yang tercampur pasir dan air di bawah permukaan tanah itu yang berada di lereng-lereng itu tadi.
Kalau dari hasil analisis dan pemetaan PVMBG, potensi likuifaksi bisa terjadi di daerah mana saja?
Untuk sementara ini, dari hasil pemetaan yang kami sudah lakukan tidak ada. Belum ada potensi likuifaksi yang sebesar itu (Palu). Karena letak geografis tanahnya tidak ada yang seperti di Palu. Seperti di Lombok misalnya, itu kan hanya sumurnya yang kering. Karena memang tidak terlalu tebal potensi likuifaksinya. Terus kemudian di Aceh juga begitu, paling rumah-rumah yang miring lah kalau terjadi gempa besar, paling sumur-sumur kering. Kalau di Palu itu memang kondisi lereng-lereng pegunungannya sangat memungkinkan untuk terjadi seperti itu.
Bagaimana Anda melihat kemampuan mitigasi kita?
Kalau kita untuk identifikasi. Mitigasi di kami itu ada beberapa yang kami lakukan. Pertama kita melakukan identifikasi potensi melalui pemetaan, penelitian, sehingga menghasilkan pemetaan kawasan rawan bencana itu seperti apa. Kemudian kita juga melakukan monitoring atau pemantauan, terutama untuk gunung berapi. Kita juga turun ke lapangan jika terjadi bencana bersama stakeholder yang lainnya. Termasuk juga sosialisasi peta rawan bencana. Dan itu umumnya sudah kita lakukan.
Untuk gunung api, kita sudah petakan kawasan gunung-gunung api juga. Jadi daerah-daerah bahayanya juga sudah kita lokalisir. Daerah bahayanya itu jika terjadi erupsi besar, dan itu kita mengacu pada sejarah gunungnya juga. Peralatan yang tersedia sudah memadai, SDM juga sudah bagus. Banyak langkah yang sudah kita lakukan. Mulai dari penelitian, pemetaan, monitoring, kemudian tim tanggap daruratnya, dan juga sosialisasi daerah rawan bencana kepada masyarakat.
Tapi sosialisasinya tak menggema di publik?
Memang harus kita akui, untuk sosialisasi saat ini belum sangat masif kita lakukan. Misalnya kalau ada kasus-kasus tertentu baru sosialisasi kita lakukan. Karena wilayah atau negara kita ini kan luas sekali ya, dan juga untuk pemetaan KRB-nya sudah selesai semua. Sehingga yang lain, atau yang bisa kita lakukan dari sisi skala petanya yang kita lakukan.
Apa yang harus dilakukan pemerintah untuk menguatkan mitigasi yang dilakukan oleh PVMBG?
Mitigasi bencana ini kan untuk mengurangi atau meminimalisir dampak yang diakibatkan dari bencana yang terjadi, dan itu tidak bisa dilakukan hanya satu institusi saja. Kita memerlukan sinergitas sesuai dengan porsinya masing-masing. Kalau kita kan misalnya lebih banyak memberikan rekomendasi dari hasil penelitian kita, hasil monitoring kita, kemudian kita berikan rekomendasi.
Nah, inilah harus disambung dengan instansi lainnya untuk membantu menginformasikan rekomendasi kita kepada masyarakat, dan itu bukan hal yang mudah. Menerjemahkan bahasa teknis kepada bahasa yang dimengerti oleh masyarakat. Makanya di gunung api ini selalu ada pengamatnya, karena pengamat ini yang setiap hari bisa berkomunikasi dengan masyarakat dan bisa menerjemahkannya.
Dan dia juga yang memastikan kalau alat itu berfungsi, dan juga kalau ada kerusakan dia langsung melaporkan. Makanya di internal kita juga saling terangkai sebenarnya, demikian juga dengan institusi lain, yang kita perlukan adalah sinergitas antara BNPB, atau BPBD untuk di daerah, kepala daerah, Muspida juga demikian. Jika ada rekomendasi dari kami, mereka yang bisa menindaklanjuti agar dapat meminimalisir dampak bencana atau korban.
Artinya sebenarnya bencana alam seperti erupsi gunung berapi, gempa bumi, tsunami sebenarnya itu sudah bisa diprediksi jauh-jauh hari ya? Artinya sebenarnya kita sangat mungkin untuk meminimalisasi jatuhnya korban jiwa?
Iya, bisa diprediksi sebenarnya. Tapi persisnya kapan kejadian itu, maka tidak bisa kita pastikan kapan. Tapi antisipasinya itu bisa kita persiapkan.
Gunung di Indonesia kan kita monitoring, kita amati itu, pengamat kita itu kan selalu memberikan laporan hasil pengamatannya kepada kita, dan kita selalu melakukan evaluasi, dan memberikan rekomendasi kepada pihak-pihak terkait. Dan pengamat kita juga selalu berkoordinasi dengan BPBD, Muspida, baik unsur TNI, kepolisian itu kita lakukan untuk mengantisipasi terjadinya bencana dan meminimalisir korban.
Apa saja yang menjadi kendala selama ini?
Kalau dari sisi teknis, sebenarnya, masing-masing gunung kan punya karakteristik yang berbeda-beda. Kemudian kita ini kan terkait dengan masyarakat juga, di mana budayanya tidak sama, tingkat mereka merespons bahaya bencana juga beda-beda. Ada yang cepat merespons, ada juga yang lama merespons. Belum lagi bicara kultur komunitas di daerah pegunungan yang berbeda-beda. Untuk daerah yang sudah terbiasa dia cenderung cepat dalam merespons informasi dari kita, baik itu pemerintah daerahnya, masyarakatnya. Warga yang sudah terbiasa dengan erupsi misalnya, dia pasti lebih peka, lebih cepat merespons jika erupsi itu terjadi. Kalau yang belum pernah mengalami, responsnya pasti beda, tidak secepat mereka yang sudah terbiasa menghadapi erupsi.
Artinya kesadaran masyarakat sangat penting untuk cepat tanggap apabila ada bencana?
Iya. Untuk gunung berapi misalnya, kita tahu tidak sedikit masyarakat kita yang tinggal di wilayah pegunungan karena daerah pegunungan memang daerah subur. Misalnya di Gunung Agung, orang yang tinggal dan beraktivitas di sana jaraknya berada di radius empat kilometer dari puncak Gunung Agung. Bisa dibayangkan itu bahayanya. Padahal ancamannya bisa mencapai radius 12 km. Begitu juga Gunung Tangkuban Perahu. Tapi memang Tangkuban Perahu itu dari sejarah tidak terlalu inilah, cuma sekarang daerah itu menjadi daerah wisata, maka itu harus diantisipasi. Kalau permukiman tidak terlalu dekat lah dari daerah rawan di sana.
Berapa banyak warga tinggal di kawasasn rawan bencana?
Saat ini ada sekitar 4 juta lebih orang yang tinggal di kawasan rawan bencana di seluruh gunung berapi yang ada di Indonesia. Ini kan juga harus menjadi PR kita bersama. Kami tentu sudah memberikan informasi bahwa daerah ini berbahaya, dan berupaya memberikan imbauan kalau terjadi erupsi tolong segera keluar dari wilayah ini, dan seterusnya.
Bagaimana komunikasi dengan pemerintah daerah?
Untuk di wilayah gunung berapi sebenarnya komunikasi dan koordinasi kita cukup baik ya. Memang ada beberapa daerah yang kurang cepat merespons lah ya, mungkin karena daerah itu tidak terbiasa dengan bencana erupsi ya, karena juga kawasan pegunungannya yang sulit dijangkau oleh pemerintah daerah kan juga ada, kan ada juga wilayah gunung yang termasuk remote area kan, sehingga komunikasi juga sedikit terhambat. Tapi pada dasarnya semua berjalan baik, koordinasi kita dengan pemerintah daerah ya.
Kalau dengan BNPB atau instansi pemerintah pusat lainnya?
Kalau dengan BNPB kita lancar komunikasi dan koordinasi, dengan BPBD juga sangat bagus ya. Karena kita selalu melaporkan juga misalnya ada peningkatan status, ada rekomendasi dari hasil penelitian atau pengamatan kita, itu secara formal selalu kami Kementerian Pariwisata, dan sebagainya.
Closing statement?
Laporkan kepada mereka (BNPB). Baru tembusannya ke instansi terkait, misalkan Kementerian Perhubungan, Kementerian KLHK. Jadi kalau yang terkait dengan kami itu kan pengamatan gunung berapi, pergerakan tanah, gempa bumi, dan tsunami. Kami akan selalu memberikan rekomendasi dan informasi terkait dengan kebencanaan geologi itu tadi.
Kami harapkan juga, masyarakat dan para stakeholder yang lain pun mengacu pada informasi yang kami rekomendasikan itu tadi. Dan kapan persisnya terjadinya bencana itu tidak bisa dipastikan kapan bencana itu datang. Akan tetapi kita harus terus melakukan antisipasi dengan membuat Kawasan Rawan Bencana itu tadi. Kami untuk gunung api juga sudah memantau kondisi gunung-gunung setiap saat, dan kami juga memberikan laporan atau rekomendasi dari hasil pantauan kami kepada pemerintah atau stakeholder terkait.
Kami juga mengharapkan para stakeholder lainnya juga dapat membantu menyosialisasikan terkait dengan informasi yang rawan bahaya kepada masyarakat dengan cepat dan tepat. Karena kita tahu yang namanya bahaya ini berpacu dengan waktu. Kalau ada informasi dari kami, kami harapkan kerja samanya kepada para pemangku kepentingan lainnya untuk segera menindaklanjuti. Begitu juga dengan masyarakat. Kami mengharapkan juga kepada masyarakat agar mengikuti informasi dari sumber-sumber resmi saja, informasi yang benar, sehingga masyarakat juga bisa tetap tenang, melakukan evakuasi mandiri.
Jadi sekali lagi, kita hanya bisa memprediksi terjadinya bencana, tapi kita tidak bisa memastikan kapan tepatnya bencana itu datang. (art)