Ketua LPSK RI Hasto Atmojo Suroyo

Kejahatan Seksual pada Anak dan Perempuan Terus Meningkat

Hasto Atmojo Suroyo Ketua LPSK 2019-2024.
Sumber :
  • VIVA/Muhamad Solihin

VIVA –  Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban atau LPSK punya peran penting dalam penanganan kasus hukum. Sayangnya kiprah lembaga ini tak terlalu terdengar gaungnya. Padahal, LPSK adalah lembaga mandiri yang didirikan dan bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada Saksi dan Korban. Lahirnya Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban  memakan waktu cukup panjang karena bertujuan mengakomodasi hak-hak korban. 

Nyaris 11 tahun didirikan, LPSK masih berjuang untuk mewujudkan harapan ideal terhadap lembaganya. Ketua LPSK periode 2019-2024, Drs. Hasto Atmojo Suroyo, M.Krim, mengakui banyak kendala besar yang dihadapi. Tapi itu tak menyurutkan mereka untuk berjuang melindungi saksi dan korban yang sedang terjerat hukum.

Bagi Hasto, berurusan dengan problem hukum bukan hal yang baru. Latar belakang pendidikannya di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gajah Mada, dan gelar Magister di jurusan Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia membuatnya terbiasa berurusan dengan masalah hukum dan sosial. Bahkan sejak masa mahasiswa Hasto sudah melibatkan diri dalam aktivitas advokasi dan perjuangan hak-hak masyarakat yang terpinggirkan. 

Hasto yang pernah aktif di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di Jakarta sampai tahun 1993 akhirnya memutuskan menjadi dosen hingga akhirnya terpilih menjadi Dekan di Universitas Nasional. Pada 2013, Hasto terpilih sebagai salah satu Pimpinan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan kemudian menjadi salah satu Wakil Ketua sampai pada 2018. Di awal 2019, Hasto kembali terpilih sebagai salah satu Pimpinan LPSK, dan kemudian menjabat sebagai Ketua Periode 2019-2024.

Apa saja problem yang dihadapi LPSK. Dan bagaimana lembaga ini melayani saksi dan korban dan memperjuangkan mereka meski lembaganya minim dana?

Berikut petikan wawancara antara VIVA dengan Hasto di sela-sela Rapat Kerja LPSK yang dilakukan beberapa waktu lalu di Bogor, Jawa Barat.

Setelah menjadi Ketua LPSK periode 2019-2014. Apa saja yang sudah Anda lakukan?

Sekarang ini kami sedang melakukan konsolidasi diantara pimpinan, baik yang incumbent maupun yang baru, kita melakukan konsolidasi sekaligus orientasi kepada yang baru. Orientasi itu muatannya macam-macam. Soal kelembagaan, soal kepegawaian, soal pelaksanaan undang-undang. Karena mereka masih baru, jadi belum familiar. Jadi kita sosialisasikan lewat forum pertemuan semacam ini. 

Sosialisasi ini masih cukup lama kayaknya, karena kita banyak tunggakan pekerjaan yang masih numpuk dan itu harus kita selesaikan dalam periode ini.

Apa saja pekerjaan rumah yang belum selesai?

Misalnya legislasi. Legislasi itu pembuatan peraturan-peraturan baik internal maupun eksternal yang berkaitan dengan penyiapan Peraturan Pemerintah (PP) dari Undang-Undang Nomer 5 tahun 2018 tentang Terorisme. Kita kan sekarang lagi konsen dengan itu. Karena peraturan pelaksanaannya belum selesai, oleh karena itu kita lakukan pembahasan-pembahasan terkait PP itu.  Jadi nanti pelaksanaannya akan berkaitan dengan tugas LPSK. Terkait dengan perlindungan, mengurus ganti rugi dari negara, atau kompensasi pada korban.

Bagaimana dengan program kerja, apa saja yang sudah disiapkan?

Sudah. Kebetulan kan program tahun 2019 ini sudah disiapkan sejak tahun 2018. Nah, di antaranya ini program yang juga kita lakukan, sosialisasi kepada para pimpinan baru ini. Jadi, yang kita sosialisasikan memang belum terlalu banyak, karena memang anggaran untuk LPSK tahun ini malah turun. Tahun 2019 ini anggaran kita sekitar 65 miliar. Jadi saya kira tidak banyak perbedaan dari sisi program maupun kegiatannya.

Sebelumnya berapa anggaran LPSK?

Kita pernah sampai 80 miliar pertahun, pernah juga di atas 100 miliar ketika pembangunan gedung, karena memang ada kebutuhan pembangunan gedung itu.

Apa saja hal yang akan menjadi program unggulan tahun 2019 nanti?

Selain memberi perlindungan, LPSK juga memberikan bantuan kepada korban maupun saksi. Pemberian bantuan itu baik bantuan dalam rehabilitasi medis, rehabilitasi psikologis, psikososial, dan juga fasilitasi korban untuk menuntut restitusi maupun kompensasi. Kalau restitusi itu kepada pelaku tindak kejahatan, kalau kompensasi itu ganti rugi dari negara. Dan negara yang memberikan kepada korban.

Tega, Seorang Ayah di Tangerang Jual Anaknya Karena Butuh Uang Buat Judi Online

Nah, berkaitan dengan ini, sekarang ini sedang naik cukup signifikan itu kasus-kasus yang berkaitan dengan kejahatan seksual terhadap anak baik laki-laki maupun perempuan, maupun kejahatan seksual terhadap perempuan, juga tindak pidana perdagangan orang. Jadi itu yang kira-kira perlu mendapatkan perhatian khusus dari LPSK di tahun ini. Selain yang sudah-sudah tentunya ya, yang sudah rutin misalnya untuk kasus-kasus pelanggaran HAM berat, terorisme, dan sebagainya. 

Wakil Ketua LPSK Hasto Atmojo

Belasan WNI jadi Korban Perdagangan Orang di Myanmar, DPR: Negara Harus Segera Merespons Cepat

Ketua LPSK periode 2019-2024, Drs. Hasto Atmojo Suroyo, M.Krim,

Bagaimana dengan korban terorisme?

4 Pejabat Universitas Jambi Jadi Tersangka TPPO Mahasiswa ke Jerman, Ini Daftarnya

Nah, tantangan yang agak signifikan ini saya kira pemberian kompensasi kepada korban terorisme, karena itu belum bisa diprediksi. Tetapi karena ini sudah mulai jalan, mau tidak mau LPSK kan harus memberikan.

Dan yang kedua, dengan keluarnya PP tentang BPJS itu, saya lupa nomornya. BPJS itu tidak menerima layanan untuk tindak pidana seksual, tindak pidana kekerasan, dan itu dilakukan tanpa ada komunikasi dengan LPSK. Mestinya pada saat menyusun PP-nya kemarin LPSK dilibatkan. Kenapa? Karena kemudian BPJS ini menilai bahwa korban-korban itu bisa dilayani oleh LPSK. Tapi kenyataannya kan belum tentu, karena LPSK ini kan baru bisa memberikan layanan setelah seseorang dinyatakan menjadi terlindung oleh LPSK atau orang yang dibantu oleh LPSK. Jadi kalau orang yang belum terlindung atau tidak terlindungi, kita agak sulit. Nah, sementara BPJS ketika keluarnya PP itu langsung memberikan rekomendasi begitu saja kepada LPSK. 

Bisa dijelaskan?

Jadi misalnya ada korban tindak kekerasan atau pembegalan, waktu itu di Tangerang kalau tidak salah, nah ketika itu korban harus dioperasi. Semula biaya operasi itu dibiayai oleh BPJS, tapi kemudian dengan adanya PP itu BPJS tidak mau, dan kemudian merekomendasikan dirujuk ke LPSK. Kita jelas kesulitan. Pertama yang bersangkutan belum menjadi terlindung. Kedua, anggaran LPSK sendiri sangat terbatas. Sementara anggaran BPJS sebenarnya jauh lebih besar. Kalau ini dikomunikasikan terlebih dulu, barang kali tidak akan terjadi seperti ini.

Aturan tersebut memberatkan LPSK?

Jadi ini memang menjadi salah satu kelemahan proses legislasi di Indonesia. Tumpang tindih, kemudian secara hirarkis tidak runtut. Ini sering kali terjadi dalam legislasi kita. Saya berencana melakukan komunikasi dengan pihak BPJS, karena kita punya MoU dengan BPJS untuk membicarakan persoalan ini, karena memang tidak bisa kalau BPJS kemudian merekomendasikan begitu saja.

Apa target Anda sebagai pemimpin lembaga ini?

Dalam waktu dekat ini kami akan melakukan review (peninjauan) terhadap kinerja LPSK selama ini. Baik itu anggarannya, program-programnya, maupun kinerjanya. Jadi atas dasar review itulah baru kita akan menyusun rencana strategis yang disesuaikan dengan rencana anggaran 2019 nanti, itu target pertama. Kedua, membangun dan meredefinisikan semangat kolektif kolegial di antara para komisioner. Dan yang ketiga, untuk keluarnya, kita mencoba agar program sosialisasi terhadap eksistensi maupun peranan LPSK ini lebih bisa tersosialisasikan ke masyarakat.

Nomer telepon layanan aduan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)

LPSK ini kan sdh 11 tahun berdiri, tapi masih belum begitu dikenal oleh masyarakat. Mengapa bisa demikian?

Saya kira problemnya dari jenis pekerjaan LPSK sendiri ya. Pekerjaan LPSK ini kan perlindungan. Dan perlindungan itu sering kali harus dilakukan secara undercover, tertutup. Tapi seharusnya tidak demikian. Artinya tetap lembaganya ini bisa disosialisasikan, meskipun kerja-kerjanya memberikan perlindungan kepada saksi maupun korban. Jadi yang harus disosialisasikan adalah pekerjaan LPSK-nya, bukan perlindungannya. 

Selain itu, mungkin selama ini ada metode sosialisasi yang tidak tepat. Oleh karena itu kita perlu melakukan review. Dari hasil review itu nanti akan terlihat, apakah ada metode sosialisasi yang lebih efektif. Jika ada, nanti kita akan lakukan itu.

Apa yang akan Anda dan kawan-kawan komisioner lainnya lakukan untuk mengenalkan LPSK pada publik?

Pertama, kalau dari hasil review nanti bisa menemukan kelemahan dari metode sosialisasi selama ini, kita akan mencoba merumuskan langkah-langkah strategis dan strategi komunikasi yang lebih khas LPSK, yang lebih bisa menjangkau kepada masyarakat. Kedua, melalui upaya-upaya proaktif kita akan tingkatkan. Karena, kalau dulu kan kita lebih banyak pasif, menunggu orang mengajukan permohonan atau pengaduan. 

Lalu kita akan proaktif. Saya berharap ada media monitoring di LPSK. Dari media monitoring ini kan biasanya muncul kasus-kasus yang keluar di media, dan untuk kasus-kasus yang serius di tengah masyarakat, kita akan proaktif atau jemput bola. Kita akan tawarkan perlindungan, kita jelaskan tugas dan kewenangan LPSK, kita dorong agar saksi tetap mau memberikan kesaksian, karena ini yang penting. Kalau saksi tidak mau memberikan kesaksian, perlindungan seperti apapun tidak akan ada gunanya juga.

Apa pentingnya bersikap proaktif bagi LPSK?

Iya. Karena sosialisasi lewat penanganan kasus, menurut saya ini jauh lebih efektif, ketimbang sosialisasi lewat seminar, dan sebagainya. Tapi kita lihat nanti hasil review seperti apa, barangkali nanti ada rekomendasi lain, kita lihat nanti.

Sejauh ini berapa total saksi atau korban yang meminta perlindungan dari LPSK?

Kalau tahun 2018 sekitar 1800an. 

Untuk kasus suap atau korupsi, apakah ada saksi atau korban yang meminta perlindungan LPSK?

Nah ini penting. Memang sejauh ini undang-undang yang berbicara tentang perlindungan terhadap saksi pelaku atau justice collaborator, memang LPSK yang disebut secara eksplisit di dalam undang-undang. Tetapi dalam prakteknya, selama ini LPSK mengalami kesulitan untuk meyakinkan aparat penegak hukum bahwa LPSK mempunyai kewenangan itu. Jadi ini yang perlu kita sosialisasikan juga kepada aparat penegak hukum, termasuk KPK. Bahwa saksi pelaku atau justice colaborator, itu dalam kewenangan LPSK. Mengenai prosedurnya, sebenarnya bisa saja LPSK meminta atau memberikan rekomendasi kepada hakim atau jaksa, tapi kendalinya tetap ada di LPSK.

Bagaimana upaya yang dilakukan untuk melakukan koordinasi lintas lembaga?

Selama ini memang ada beberapa kali pertemuan, tetapi kayaknya masih kurang efektif. Jadi kita mungkin akan langsung mendatangi aparat-aparat penegak hukum untuk memberikan sosialisasi tentang kewenangan LPSK. Karena selama ini misalnya, bersama pihak Kepolisian, kalau kita jelaskan tentang saksi pelaku atau justice colaborator, mereka bilang, "kita gak kenal pak saksi pelaku atau justice colaborator itu. Karena pegangan kita KUHP dan KUHAP." Jadi di polisi tidak ada saksi pelaku. Buat mereka, saksi ya saksi, pelaku ya pelaku.

Artinya menjadi suatu kewajiban bagi LPSK juga untuk menyosialisasikan. Tapi tentu dukungan dari negara, dalam hal ini institusi kenegaraan lainnya, terutama aparat penegak hukum, maupun DPR RI itu kita perlukan, agar kinerja LPSK ke depan bisa jauh lebih efektif.

Memang selama ini bagaimana sikap dari aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, pengadilan?

Kalau Kejaksaan sudah agak mengenal untuk saksi pelaku atau justice colaborator itu adalah kewenangan LPSK. Tapi memang untuk Kepolisian masih agak kurang, karena memang Kepolisian dalam tahap penyelidikan dan penyidikan. Justru dengan KPK yang kita agak ada friksi. Karena KPK, tampaknya untuk perlindungan saksinya, itu dilakukan sendiri. Mereka ada rumah aman, dan segala macamnya. Padahal rumah aman jelas-jelas kewenangan LPSK, karena menurut undang-undang itu ada di LPSK. 

Kalau di UU KPK kan memang ada disebutkan bahwa KPK berhak memberikan perlindungan, tapi tanpa menjelaskan apapun. Nah, KPK ini mestinya koordinasi dengan LPSK juga perlu ditingkatkan. 

Hasto Atmojo Suroyo Ketua LPSK 2019-2024.

Ketua LPSK periode 2019-2024, Drs. Hasto Atmojo Suroyo, M.Krim

Mengapa menurut Anda sebaiknya saksi dan korban hanya dilindungi oleh LPSK?

Supaya menghindarkan conflict of interest. Kalau saksi itu dilindungi oleh aparat penegak hukum, termasuk KPK, ini kan bisa terjadi conflict of interest. Dia membutuhkan keterangan, keterangan itu bisa dikondisikan oleh aparat penegak hukum. Tetapi kalau perlindungan itu ada di LPSK, dia lebih netral.

Jadi sejauh ini, berarti dengan Kepolisian dan KPK masih belum menemukan kesepahaman ya?

Untuk justice colaborator, iya. Tapi kalau untuk penanganan-penanganan kasus dari Kepolisian, dari Kejaksaan, sudah banyak memberikan rekomendasi atau merujuk agar saksi atau korban dilindungi oleh LPSK. Ada beberapa kepolisian daerah yang sangat aktif untuk merujuk  atau memberikan rekomendasi untuk itu, termasuk Bareskrim Mabes Polri. 

Secara umum, bagaimana dukungan pemerintah?

Support pemerintah selama ini masih banyak bolongnya, terutama dukungan agar LPSK ini lebih dikenal di institusi-institusi pemerintahan lainnya. Kita pernah lakukan sosialisasi dengan institusi lain lewat seminar, dan sebagainya. Tapi rupanya diinternal mereka sendiri tidak melakukan sosialisasi tentang LPSK. 

Kemudian yang lain. LPSK ini dari sisi anggaran lama-lama terasa berat sekali. Karena jumlah pemohon yang minta jadi terlindung dan lain sebagainya itu terus meningkat. Konsekuensinya, kalau nanti sosialisasinya sudah lebih baik, pasti jumlahnya akan lebih meningkat lagi, sementara anggaran kita terbatas. Sampai saat ini kita masih menjadi satker-nya Setneg. Meskipun secara undang-undang sudah sendiri, tapi prosesnya ini masih transisi untuk kelembagaan menjadi organisasi yang mandiri. Kalau nanti organisasinya sudah mandiri tentu bisa merancang program maupun politik anggaran sendiri.

Kalau Sekarang belum bisa?

Belum.

Jadi yang mengajukan anggaran untuk LPSK itu sekarang masih Setneg?

Bukan. Kita yang mengajukan, tapi tetap lewat Setneg. Dan Setneg kan pagunya juga terbatas, karena untuk pagu Setnegnya sendiri dan juga Satker Setneg lainnya juga.

Pernah ada wacana, LPSK dibentuk sejumlah provinsi. Bagaimana realisasi dan dukungan pemerintah untuk itu?

Dari Kementerian Keuangan, untuk anggarannya sebenarnya sudah ada lampu hijau untuk kita mengembangkan perwakilan di daerah. Dan saat ini kita sedang merintis pendirian beberapa kantor. Sudah ada delapan kantor yang sedang dipersiapkan. Tapi kita masih mempertimbangkan itu, karena diantara yang ada, yang sangat siap itu ada di pulau Jawa. Sementara kalau pulau Jawa, sebenarnya masih bisa dijangkau dari Jakarta. Kita akan prioritaskan dari luar Jawa, misalnya Sumatera Utara, ini sudah cukup siap. Bali juga sudah cukup siap. Papua yang menurut saya menjadi prioritas juga, tetapi kita masih belum memiliki persiapan yang belum memadai.

Jadi sudah ada berapa kantor perwakilan?

Ada delapan rencananya. Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Yogya, Surabaya, Bali, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, dan satu lagi ada saya lupa.

Kalau dari jumlah saksi atau korban yang minta perlindungan dengan LPSK trennya sejauh ini gimana?

Kalau permintaan atau permohonan meminta perlindungan, semakin lama semakin naik jumlahnya.

Biasanya mereka yang datang meminta perlindungan LPSK dari kasus apa saja?
Sekarang yang sedang banyak itu TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang-red), kejahatan seksual terhadap anak maupun terhadap perempuan. Kalau kasus korupsi stabil angkanya. Pelanggaran HAM berat karena kita bergantung dengan institusi lain, jadi tergantung, kalau institusi lain melakukan penyelidikan dan minta rekomendasi kepada kita, kita layani. Itu yang tergantung dari mitra kita, tapi yang murni dari LPSK yang paling banyak adalah TPPO dan kejahatan seksual terhadap anak dan perempuan.

Berapa persen peningkatannya dibanding tahun lalu?

Kalau kasus TPPO dan kejahatan seksual terhadap anak dan perempuan ini persentase naik sangat signifikan, kita agak sulit menghitung karena layanan LPSK itu kan sifatnya jangka panjang. Jadi yang tercatat di kita itu kadang-kadang ada yang kita sudah layani lebih dari satu tahun atau dua tahun gitu loh.. terutama untuk kasus-kasus pelanggaran HAM berat, terus kasus korupsi, kalau kasus korupsi ini biasanya ada beberapa kasus yang dia bisa menjadi saksi untuk beberapa kasus gitu kan, itu kan menjadi panjang daftarnya. Jadi angka untuk menyebutkan berapa-berapa persen kenaikannya itu agak sulit juga, karena akumulatif ini jumlahnya.

Hasto Atmojo Suroyo Ketua LPSK 2019-2024.

Apa saja yang diberikan LPSK terhadap saksi dan korban yang meminta perlindungan?

Pada dasarnya ini tergantung dari kebutuhan dari saksi maupun korbannya. Kita tidak bisa memberikan perlindungan tanpa persetujuan yang bersangkutan. Kita gambarkan saja, kemudian kita verifikasi, kita identifikasi, kita lakukan investigasi kualitas kasusnya. Apakah yang bersangkutan memang terancam, atau gimana. Karena kadang-kadang ada juga orang yang bilang terancam, tapi sebenarnya karena psikologis ketakutannya saja. 

Selain perlindungan yang menyangkut fisik, kalau menyangkut fisik kategori yang paling tinggi adalah menaruh yang bersangkutan di rumah aman. Kemudian ada juga yang sifatnya pengawalan. Ada yang sifatnya monitoring skala reguler, bisa dilakukan oleh LPSK sendiri dengan pengawalnya. Tapi untuk daerah-daerah yang jauh dari Jakarta biasanya kita bekerja sama dengan kepolisian dari daerah untuk melakukan monitoring terhadap terlindung kita. Itu tentang perlindungan.

Hak apalagi yang melekat pada saksi dan korban?

Selain itu, kita juga bisa memberikan yang kita sebut Hak Prosedural. Itu pendampingan kalau yang bersangkutan dipanggil atau dimintai keterangannya oleh aparat penegak hukum sebagai saksi. Kemudian, kita memberikan bantuan, kalau perlu ada penerjemah. Kalau perlu saksi kan ada yang takut kalau ketemu langsung dengan pelaku misalnya, itu kita fasilitasi dengan cara teleconfrence, dan itu beberapa kali kita lakukan. 

Selain perlindungan, kita berikan bantuan lainnya, seperti bantuan psikologis dan psikososial, serta memberikan atau memfasilitasi untuk menuntut restitusi maupun kompensasi.

Untuk memberikan bantuan psikologi dan psikososial, apakah LPSK bekerja sendiri?

Nah, mengenai bantuan psikososial ini disebutkan di dalam undang-undang memang itu tidak dilakukan oleh LPSK sendiri. Tetapi kita bekerja sama dengan institusi lain atau lembaga lain, termasuk dengan swasta agar hak-hak korban bisa dipulihkan. Misalnya orang kehilangan kepala rumah tangganya akibat tindak pidana tertentu misalnya terorisme. Kemudian si anak terancam sekolahnya. Nah kita bantu memfasilitasi juga, bagaimana agar Pemda dapat memberikan perlindungan. Apakah nanti diberikan sekolah gratis, dsb. Hal seperti ini yang akan kita berikan ke orang lain.

Kemudian juga kita bekerjasama dengan Kementerian Sosial. Misalnya kementerian sosial memberikan bantuan kursi roda, alat bantu dengar, dan lain lain. 

Terkait dengan saksi atau korban terorisme, apakah sejauh ini banyak korban atau saksi yang meminta perlindungan kepada LPSK?

Untuk kasus terorisme, kita melakukan upaya proaktif untuk kasus-kasus yang baru saja terjadi. Biasanya korban tidak tahu mesti kemana, dan LPSK itu apa. Biasanya LPSK melakukan upaya-upaya proaktif. Kita identifikasi, inventarisasi terhadap korban, termasuk korban yang dari aparat. Kita datangi dan kita tawarkan bantuan medis, karena pada tingkat awal keperluan pertama biasanya adalah medis. Setelah itu kalau mereka membutuhkan bantuan psikososial, misalnya tentang anak yang kehilangan ayahnya sebagai tulang punggung keluarga, kehilangan kesempatan untuk belajar, kita upayakan membantu mereka. Kita juga membantu mereka untuk menghitung kompensasi yang akan mereka tuntut kepada negara. Sudah ada beberapa kasus yang kita berhasil dalam pemberian kompensasi ini, dan ini sejarah. Karena selama ini belum pernah ada kompensasi yang diberikan kepada korban tindak kejahatan terorisme, terutama yang baru.

Pemberian kompensasi dari negara baru terjadi untuk korban bom Thamrin, Surabaya, Medan, dan Samarinda. Tapi sebelumnya banyak yang belum mendapatkan kompensasi, terutama kasus yang lama. Bagaimana proses kompensasi bagi korban teror bom yang terjadi tahun-tahun lalu?

Iya, untuk kasus terorisme masa lalu, kita belum bisa memfasilitasi kompensasi itu. Karena dalam UU Nomor 5 tahun 2018 dinyatakan menunggu Peraturan Pemerintah (PP)-nya. Jadi selama ini yang kita lakukan adalah tindak pidana terorisme yang baru saja terjadi. Itu yang baru bisa kita urus. 

Apakah masih ada kemungkinan bagi korban teroris tahun-tahun lalu untuk mendapatkan kompensasi?

Pendataan sudah kita lakukan. Tetapi untuk memberikan layanan, karena ini menggunakan APBN kita tidak bisa secara gegabah kemudian mengeluarkan begitu saja. Oleh karena itu diatur dalam UU ini harus ada rujukannya dari BNPT maupun dari Kepolisian untuk menyatakan bahwa seseorang itu sebagai korban terorisme di masa lalu. Sementara, dalam kenyataannya, para korban ini sudah tidak ada lagi datanya, di Kepolisian tidak ada, di rumah sakit juga sudah tidak ada. Oleh karena itu BNPT berinisiatif untuk memberikan keterangan bahwa yang bersangkutan adalah korban.

Hasto Atmojo Suroyo Ketua LPSK 2019-2024.

Apa benar keterangan itu harus dikeluarkan oleh pengadilan?

Tidak. Itu keterangan dari BNPT saja. Kalau melalui pengadilan, kan pengadilannya sudah lewat. Keterangan yang melalui pengadilan itu malah untuk kasus yang baru. Jadi, kita mengajukan kompensasi untuk korban-korban yang baru lewat pengadilan yang baru saja terjadi. Kalau yang masa lalu pengadilannya sudah lewat, sudah tidak ada. Oleh karena itu dibutuhkan keterangan dari Kepolisian atau BNPT supaya LPSK bisa memfasilitasi. Hanya teknisnya kita masih menunggu PP itu sebagai aturan pelaksana dari UU nomor 5 tahun 2018 itu.

Apa saja kendala yang dihadapi institusi yang Anda pimpin?

Kendala yang dihadapi institusi ini, kendala sejak awal, LPSK ini kan didirikan dari dorongan masyarakat sipil. Mereka, adalah masyarakat sipil yang melihat ada persoalan hukum yang serius, terutama dua jenis pidana, yaitu korupsi dan pelanggaran HAM masa lalu. Karena itu didorong agar pemerintah mendirikan satu lembaga yang bisa memfasilitasi, memberikan perlindungan kepada saksi maupun korban. Untuk isu korupsi supaya saksinya mau bersaksi, untuk kasus pelanggaran HAM berat supaya LPSK ini bisa mendorong atau agar ada langkah-langkah solutif dari pemerintah atau negara terhadap para korban ini. 

Tahun 2018, LPSK baru memiliki gedung sendiri. Sepertinya pendanaan juga menjadi problem?

Ini kan lembaga yang disebut sebagai anak bungsunya reformasi. Sebagai kekuatan sipil, ini adalah lembaga yang terakhir. Nah, ketika didirikan, awalnya hanya ada SK presiden saja. Gedung tidak difasilitasi secara baik, anggaran juga begitu, karena harus nempel di Setneg. Jadi memang terbayang kesulitan teman-teman yang lebih dulu memperjuangkan eksistensi lembaga ini. Sampai sekarang, kendala itu masih terasa. Rekruitmen dulu itu asal rekrut saja, akibatnya secara kualitatif maupun kuantitatif kita memang mengalami masalah, dan itu cukup serius.

Bagaimana dengan SDM?

Nah, ke depan kita akan merancang suatu sistem rekruitmen sumber daya manusia yang lebih tertata, pelatihan yang lebih teratur. Kita juga akan menyusun kurikulum khusus pelatihan, baik untuk investigasi, untuk pendamping korban, dan sebagainya. Kita akan pilah-pilah, yang utama adalah pembekalan untuk para pegawai atau karyawan di LPSK tentang keberpihakan terhadap korban, empati, dan sebagainya. Karena yang kita layani ini adalah manusia, yang kebetulan manusia yang sedang kesusahan.

Selain itu, kendala apa lagi yang dihadapi?
Anggaran itu tadi. Sekarang malah turun anggaran kita. Tiap tahun kita malah mengalami defisit anggaran untuk pelayanan itu. (mus)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya