Lembaga Survei Ingin Hidup 1.000 Tahun Lagi
- VIVA/Muhamad Solihin
VIVA – Lahir dari semangat demokrasi menjadi alasan utama banyak lembaga survei muncul di Indonesia. Apalagi banyak pula yang yakin, salah satu kemajuan demokrasi di negara seperti Indonesia ditandai dengan kehadiran lembaga-lembaga survei.
Itu sebab runtuhnya Orde Baru pada 1998 membuat beragam lembaga survei tumbuh bagai cendawan di musim hujan. Lembaga survei menemukan momentumnya bersamaan dengan digelarnya Pemilihan Umum (Pemilu) secara langsung pada 2004.
Lembaga survei muncul untuk ikut mengukur persepsi masyarakat guna menilai kebijakan pemerintah, opini dan harapan mereka terhadap pejabat atau politisi maupun institusi yang ada.
Saat ini, tidak ada pemilihan umum yang luput dari pantauan atau lembaga survei. Mulai dari pemilihan kepala daerah, legislatif hingga pemilu presiden dan wakil presiden. Lembaga survei menjadi kaca pembesar untuk melihat secara jelas siapa calon pemenang dan siapa calon yang kalah.
Dengan semangat demokrasi itu lah Sinergi Data Indonesia (SDI) lahir. Pendiri lembaga survei ini adalah Barkah Pattimahu. Dia dulunya adalah peneliti senior di Konsultan Citra Indonesia (KSI), yang merupakan anak perusahaan dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pimpinan Denny JA.
Memiliki keinginan membangun regenerasi dan mengembangkan diri untuk memberikan ruang kerja bagi generasi muda menjadi alasan Barkah mendirikan Sinergi Data Indonesia.
Direktur Sinergi Data Indonesia, Barkah Pattimahu
Untuk melihat lebih dalam kiprah lembaga survei dan peran serta Sinergi Data Indonesia (SDI), VIVA menemui Barkah untuk wawancara secara khusus.
"Jadi kebutuhan metodologi untuk memberikan informasi data sekarang ini memang semakin tren," kata Barkah.
Tidak hanya soal membangun demokrasi, Barkah juga bicara faktor profit yang menjadikan rangsangan bagi banyak pihak untuk mendirikan lembaga survei. Lalu apa peran dia dan SDI dalam demokrasi di Tanah Air?
Berikut petikan wawancara tim VIVA dengan Barkah Pattimahu:
Kapan Sinergi Data Indonesia (SDI) berdiri?
Selain sebagai lembaga survei, kita juga konsultan politik, dan berdiri sejak tahun 2014. Jadi setelah Pemilu Presiden (Pilpres) tahun 2014 selesai, tugas saya di lembaga saya yang lama juga selesai waktu itu. Baru saya dirikan SDI. Saya di LSI sudah sekitar 10 tahun. Jadi sejak 2004 saya masuk LSI, waktu itu LSI masih Lembaga Survei Indonesia. Baru kemudian bermetamorfosis menjadi Lingkaran Survei Indonesia dan saya di sana sampai 2014.
Apa latar belakang dan tujuan Anda mendirikan lembaga ini?
Sebenarnya ada dua hal ya, jadi kalau dari sisi aspek personal saya ingin membangun regenerasi. Kedua, dari sisi aspek kerja atau program, sebetulnya Pilkada ini sangat besar, ada 500 lebih kabupaten/kota, ada 34 provinsi. Apabila dirata-rata, jika satu pilkada saja melibatkan lima pasangan calon, bisa dibayangkan begitu luas.
Nah ini kalau kita bisa mengembangkan diri tentu akan banyak memberikan ruang kerja bagi para calon pekerja yang potensial bekerja di bidang riset dan konsultan politik. Jadi sebenarnya kalau lembaga seperti ini dikelola dengan baik akan banyak menyerap para pekerja.
SDI ini hanya fokus di survei saja?
Kalau SDI ada dua, seperti yang tadi saya jelaskan, ada lembaga surveinya atau yang disebut polster, dan juga konsultan politik. Tapi dua ini berada dalam satu rumah dengan kamar berbeda dan tidak saling mempengaruhi satu sama lain. Jadi, data survei dikelola dengan objektif dan apa adanya, dan ada divisi riset serta strategi yang nanti bisa menggunakan hasil riset itu untuk menentukan strategi dalam memenangkan pasangan calon.
Itu yang kita lakukan selama ini, dan begitu juga dengan lembaga-lembaga yang lain, kurang lebih sama modelnya. Jadi ada lembaga surveinya di sebelah kiri dan ada konsultan politik di sebelah kanan untuk memenangkan satu pasangan calon.
Sekarang banyak dan terus bertumbuh lembaga survei dan konsultan seperti SDI, bagaimana menurut Anda?
Saya tidak begitu tahu secara pasti ya berapa jumlah lembaga survei saat ini yang ada, karena memang lembaga survei itu harus terdaftar di Kesbangpol [Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik] Kementerian Dalam Negeri. Namun yang saya tahu ada beberapa lembaga survei yang bisa dikatakan mainstream.
Jumlahnya tidak lebih dari 10 sampai 15 lembaga. Selain ada di Jakarta, pasar di daerah itu juga tumbuh, sehingga banyak juga lembaga-lembaga lokal juga yang sudah membentuk dengan interest di bidang yang sama, yaitu bidang survei dan konsultan politik. Jadi memang sangat banyak.
Kenapa demikian, karena itu tadi, lahannya sangat besar sekali lembaga-lembaga seperti ini tumbuh sehingga sangat memungkinkan lembaga survei dan konsultan politik ini menjamur.
Apa lembaga survei itu harus terdaftar di Kesbangpol saja atau harus masuk ke asosiasi lembaga survei?
Iya, selain harus terdaftar di Kesbangpol Kemendagri, lembaga survei itu dia juga disarankan untuk masuk ke asosiasi-asosiasi lembaga survei politik. Seperti AROPI (Asosiasi Riset Opini Publik), ada juga Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi). Nah, kedua asosiasi inilah yang menjadi wadah berhimpun lembaga-lembaga survei politik.
Memang asosiasi ini penting, kenapa? Untuk menjaga kode etik misalnya akurasi data riset atau survei, sehingga asosiasi-asosiasi ini penting sekali. Selain itu, asosiasi lembaga konsultan politik pun ada juga, tapi memang yang paling banyak orang kenal itu asosiasi risetnya.
Kalau Sinergi Data Indonesia ini terdaftar di mana, AROPI atau Persepi?
Saya kebetulan pernah menjadi sekertaris umum di Asosiasi Konsultan Politik, dan juga terdaftar di AROPI.
Sebenarnya kapan persisnya lembaga survei ini masuk dan menjadi trend di Indonesia?
Jadi memang kebutuhan metodologi untuk memberikan informasi data sekarang ini semakin trend. Jadi ketika demokrasi di Indonesia ini tumbuh di awal-awal reformasi, bahkan sebelum reformasi sudah ada lembaga-lembaga dari luar yang mulai memperkenalkan bagaimana survei dan kemudian itu bisa tumbuh dengan cepat sekali.
Dan kemudian ketika itu LSI muncul awal 2003, tapi jauh sebelum itu sudah ada beberapa lembaga yang mulai merintis pelaksanaan survei.
Bahkan di Pemilu 97, kemudian Pemilu 99 itu sudah ada juga kita mengenal yang namanya NDI (National Democratic) yang merintis survei tadi. Kemudian, tahun 2004 itu sudah mulai lebih dikenal luas oleh masyarakat Indonesia dengan munculnya Lembaga Survei Indonesia yang pada saat itu bisa dikatakan sangat kuat sekali opininya dalam memberitakan hasil-hasil surveinya. Kemudian, setelah Pemilu 2004, di Pemilu 2009 itu semakin banyak tumbuh.
Apa yang menyebabkan lembaga survei itu semakin banyak?
Iya, salah satunya karena memang faktor profit itu tadi yang cukup menjadikan rangsangan bagi orang untuk mendirikan lembaga survei, selama orang tersebut tentu mempunyai kemampuan di bidang riset, kemampuan di bidang statistik, dan strategi kemenangan bagi calon.
Dan di satu sisi tumbuh berkembangnya lembaga survei ini juga memberikan manfaat bagi user, baik itu partai politik, calon presiden, maupun calon-calon anggota legislatif, karena mereka butuh menang dengan cara yang terukur.
Kalau dulu itu ada dukun-dukun yang menerawang atau meramal, sekarang ini ada ‘dukun politik’ juga. Lembaga survei adalah ‘dukun politik’ bahkan peramal-peramal ini bisa berkonsultasi juga dengan dukun politik “Kira-kira bagaimana ini hasil ramalan saya ini?" Kira-kira seperti itulah, karena memang tumbuh dengan pesat lembaga survei-lembaga survei sekarang ini.
Selain alasan profit, apa yang menyebabkan lembaga survei banyak bermunculan?
Sebetulnya perkembangan demokrasi di Indonesia saat ini juga mempengaruhi munculnya lembaga-lembaga survei di Indonesia yang begitu cepat. Dan ketika kita bicara demokrasi pastinya ada yang namanya pilar demokrasi, dan di mana ada media di situ, ada partai politiknya, tapi lembaga survei juga memberikan kontribusi.
Nah, tinggal bagaimana kontribusi yang diberikan oleh lembaga survei ini dapat dikelola secara benar. Karena ada sebagian lembaga-lembaga juga yang memanfaatkan kapasitas sebagai lembaga survei hanya untuk kepentingan pribadi atau kepentingan bisnis, artinya tidak memberikan manfaat yang cukup luas, tidak mengedukasi pemilih secara baik.
Sebenarnya apa tujuan awal berdirinya lembaga survei? Apakah murni bisnis, atau ada tujuan lain?
Saya kira kalau bisnis itu adalah faktor ikutan ya, artinya saya kira berdirinya lembaga survei ini dalam rangka menopang demokrasi, maka kebutuhan lembaga konsultan politik itu akan mempunyai benang merah dengan bisnis. Karena yang dikelola oleh teman-teman ini kan lembaga-lembaga personal ya atau non-pemerintah yang memang butuh kekuatan modal untuk menjalankan profesinya.
Karena dana lembaga survei dan konsultan politik bukan dana pribadi, tapi dana user. Jadi mereka yang membutuhkan jasa itu akan mengeluarkan sejumlah dana untuk memenangkan mereka dalam rangka kontestasi pemilu.
Tapi pada intinya memang bahwa salah satu pilar demokrasi itu adalah lembaga survei sebetulnya, karena lembaga survei ini memberikan informasi yang objektif tentang perkembangan isu-isu demokrasi yang ada di Indonesia.
Apa kontribusi lembaga survei dalam perkembangan demokrasi di Indonesia?
Salah satunya adalah partisipasi publik. Jadi publik memberikan partisipasi atau masukan kepada pemerintah lewat data survei, bagaimana publik menilai kinerja pemerintahan saat ini, sehingga dari hasil itulah pemerintah bisa melakukan perbaikan-perbaikan.
Bagaimana keinginan publik misalnya terkait dengan isu-isu tertentu itu bisa digolkan. Salah satunya memang lewat lembaga survei, misalnya tentang bagaimana porsi perempuan di parlemen? Harus 30 persen. Nah, survei bisa membaca itu, dan ternyata memang keinginan mayoritas pemilih itu mengharapkan seperti itu.
Soal Pilkada langsung dan Pilkada tidak langsung ini juga tentu menjadi isu yang cukup berpengaruh, nah survei juga bisa membaca itu. Dampaknya, akhirnya pemerintah mengakomodir keinginan dan kepentingan publik lewat hasil survei. Karena ternyata mayoritas publik memang menginginkan pemilihan itu secara langsung.
Apakah bisa dikatakan bahwa lembaga survei ini bisa membaca atau menentukan peta situasi nasional?
Kalau kita berkaca dari hasil pemilu 2004 yang sudah diikuti perkembangan atau tren lembaga survei, kemudian Pemilu 2009, lalu 2014, misalnya, survei memberikan informasi dini tentang bagaimana situasi politik ke depan. Jauh-jauh hari sebelum pemilu dilakukan bahkan survei itu sudah memberikan informasi.
Dan itu terjadi juga di Pilkada-pilkada. Tahun 2015 Pilkada itu, hasil survei memberikan gambaran tentang hasil akhir, walaupun tidak semuanya sama, tetapi bisa dikatakan lebih banyak lah hasil yang sama, karena banyak memberikan gambaran apa yang akan terjadi dan itu terbaca terus oleh survei misalnya.
Seberapa signifikan hasil survei itu bisa membaca peta politik nasional?
Saya kira cukup besar ya pengaruhnya terhadap peta politik nasional. Misalnya, ketika kita bicara tentang Pilpres 2019, misalnya dari hasil survei banyak yang menyatakan bahwa 2019 ini akan banyak pemilih milenial, misalnya.
Nah, informasi ini kan juga tentu akan memberikan gambaran sehingga partai politik ataupun calon presiden bisa memberikan strategi yang tepat agar bagaimana memilih calon.
Karena jumlah pemilih pemula yang sangat besar itu tadi. nah, salah satunya bisa seperti itu. ataupun isu agama. Isu agama ataupun politik identitas menjadi cukup kuat, dan dari hasil survei itu terbaca kan, sehingga calon presiden atau koalisi partai harus bisa menentukan isu apa yang harus diambil, isu apa yang harus dijual ke masyarakat dengan melihat basis hasil survei tadi misalnya.
Ketika orang menginginkan tokoh agama, maka calon pasangan tertentu bisa mengakomodir tokoh agama masuk ke dalam koalisi partai politiknya, misalnya.
Kalau dalam konteks membentuk opini publik seperti apa? Apakah dapat membentuk serta mempengaruhi opini publik?
Memang dari survei ini kan kita mengambil persepsi publik kan, dan opini itu terbentuk dari persepsi publik. Dan Persepsi itu sumbernya dari data atau informasi yang dihasilkan oleh media. Media menghimpun itu lewat informasi atau pemberitaan, salah satunya adalah lewat lembaga survei, sehingga opini yang terbentuk melalui pemberitaan.
Misalnya opini tentang kinerja Presiden Jokowi saat ini. Ketika kinerja Presiden dianggap buruk, maka ini memberikan opini yang negatif tentang pemerintahan saat ini, dan ini akan menguatkan kompetitor atau calon-calon penantang, jadi memang sangat-sangat kuat sekali opini yang dihasilkan oleh lembaga survei, karena basisnya adalah data. Dan saya kira masyarakat Indonesia sekarang sudah sangat melek terhadap informasi. Jadi sangat kuat saya kira.
Hasil riset bisa berdampak pada pro-kontra publik, bagaimana cara untuk mengantisipasi hal itu?
Jadi memang opini seperti itu ada di masyarakat ketika lembaga yang mengeluarkan hasil survei itu ada pada afiliasi politik pada partai politik tertentu. Namun demikian, sepanjang data yang disampaikan itu adalah data yang benar dan sebetulnya bisa memotret apa yang ada di masyarakat, saya rasa masyarakat dapat percaya dengan sendirinya, meskipun tadi bahwa dia punya afiliasi politik kepada salah satu pasangan calon tertentu misalnya.
Jadi itu memang mempunyai dampak, tapi dampak itu nanti akan terjawab dengan sendiri ketika hasil itu memberikan gambaran. Oh ternyata benar apa yang diopinikan atau apa yang digambarkan dari hasil lembaga survei itu. Tapi rasa ketidakpercayaan itu kan rata-rata muncul karena subjektifitas mendukung salah satu pasangan calon yang berbeda dengan calon yang diunggulkan oleh lembaga survei.
Namun catatan yang terpenting sekali lagi adalah bagi lembaga survei, memberikan data yang apa adanya, jadi boleh salah, tapi tidak boleh berbohong. Kira-kira itu idiom untuk lembaga survei. Jadi hasil survei itu bisa saja salah karena dinamika suara yang ada di masyarakat, persepsi masyarakat terhadap salah satu isu, nah itu yang bisa mempengaruhi apa yang disebut sebagai preferensi pemilih. Nah, ini yang bisa memungkinkan terjadi perubahan, tapi bukan berarti bahwa lembaga survei itu tidak bisa dipercaya, kira-kira seperti itu.
Artinya kemungkinan salah itu tetap ada?
Tentu, itu tetap ada. Misalnya di Pilkada DKI kemarin ada lembaga survei yang memprediksi calon A menang, dan calon C tidak akan lolos pada putaran kedua, namun ternyata hasil pilkada menunjukan yang berbeda. Jadi kemungkinan salah itu ada karena perubahan dinamika suara masyarakat di bawah dan konsolidasi tim yang begitu kuat sehingga mempengaruhi pemilih dibawah dalam menentukan pilihannya.
Apakah perubahan itu bisa dikatakan sesuai dengan besaran margin errornya?
Tidak serta merta sesuai dengan margin error sebenarnya. Kalau kita lihat pilgub di Jawa Barat misalnya, itu kan terjadi perubahan yang sangat drastis sekali tuh. Nah, itu karena memang ada isu yang bergulir di masyarakat, sehingga calon yang tadinya diprediksi sebagai underdog justru bisa muncul melebihi calon yang diunggulkan diawal. Artinya perubahan itu bisa melebihi margin error.
Saat ini banyak sekali lembaga survei yang bermunculan, bagaimana anda menanggapi ini?
Saya kira ini kebebasan berdemokrasi, kebebasan lembaga survei untuk memberikan warna dalam wajah demokrasi di Indonesia. Tapi yang terpenting adalah ada etika atau kode etik yang harus dipegang oleh masing-masing lembaga survei.
Ada profesionalisme yang harus diemban, nah ini lah yang seharusnya tetap dan terus dijaga, sehingga wajah demokrasi ini tidak dikotori oleh lembaga survei yang semata-mata hanya mengejar 'kepentingan pribadi' karena masyarakat sebetulnya mempunyai harapan juga kepada lembaga survei ini agar lembaga survei ini dapat memberikan data yang benar, data yang valid.
Karena masyarakat ingin tahu juga, apa yang kira-kira terjadi enam bulan ke depan. Sebenarnya masyarakat mendambakan itu juga, bahwa nanti ada kritikan lembaga survei saya fikir itu adalah sesuatu yang wajar saja. tapi yang terpenting pada alam demokrasi seperti ini lembaga survei saya kira harus menjaga itu tadi (etika) dan validasi data.
Apakah benar peran lembaga survei saat ini telah bergeser yang tadinya ingin menyampaikan data sesuai dengan persepsi publik, kini lebih pada unsur atau kepentingan bisnis semata?
Kalau menurut saya sah-sah saja apabila ada masyarakat yang mempotret lembaga survei seperti itu. Tapi tentu saja tidak bisa digeneralisir bahwa semua lembaga survei ini berprilaku seperti itu. karena lembaga survei ini ingin hidup 1.000 tahun ke depan, dan tidak ingin mati hanya karena persoalan sepele misalnya, atau untuk kepentingan sesaat. Sekali lagi ini tidak bisa digeneralisir.
Beberapa ada yang dianggap seperti itu oleh masyarakat mungkin iya, karena masyarakat mempunyai berbagai sumber informasi untuk membentuk persepsi seperti itu. tapi sekali lagi saya katakan, lembaga survei harus dapat menjaga marwahnya sebagai lembaga profesional yang bisa melakukan penelitian dengan cara-cara ilmiah, seperti itu.
Artinya sebenarnya peran lembaga survei sudah jelas ya?
Perannya sangat jelas sekali, menyampaikan apa yang dipotret oleh publik, untuk kepentingan publik. Dan sebetulnya apa yang dipotret oleh masyarakat pasti itu apa yang dirasakan oleh publik.
Apakah lembaga survei yang saat ini banyak bermunculan itu semuanya memang menyikapi atau bekerja di bidang politik?
Ada juga sebenarnya lembaga survei yang konsentrasi dalam isu ekonomi, dan ada juga beberapa lembaga-lembaga yang konsentrasi terhadap isu-isu lokal. Tapi dalam waktu-waktu saat ini lembaga yang konsentrasi terhadap isu-isu politik memang sangat besar. Dan lembaga survei yang ada sekarang ini memang banyak sekali yang bicara soal itu (politik).
Kalau SDI sendiri seperti apa? Apakah hanya konsen pada lembaga survei poliitk saja atau ada yang lain?
Dalam divisi riset itu ada survei yang berkaitan tentang sosial politik masyarakat, ada survei kinerja pemerintah, itu juga kita lakukan. Kita pernah melakukan survei bagaimana kinerja pemerintah daerah dengan indikator-indikator yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah, dan kita ada melakukan survei seperti itu.
Dan ada juga kita melakukan semacam feasibility study untuk mendirikan sebuah bank di suatu daerah, misalnya. Otoritas Jasa Keuangan mempercayakan itu kepada kita untuk melakukan survei, apakah bank itu layak didirikan di daerah A, B, atau C seperti itu. Jadi tidak di sosial politik saja. tapi selama ini sejak awal berdiri sampai sekarang ini memang lebih banyak melakukan survei politik.
Bagaimana alur kerja lembaga survei itu?
Jadi kita memulai kerja itu berawal dari kerja sama, jadi ketika ada yang ingin menggunakan jasa kita, kita kemudian melakukan kerja sama. Dalam konteks Pilkada misalnya, kita melakukan survei awal, setelah survei awal selesai dilakukan, datanya sangat jelas, kita kemudian memberikan rekomendasi untuk dipaparkan kepada calon klien.
Nah, ketika calon klien ingin didampingi, barulah kemudian kita buat kerjasama pendampingan sampai dengan masa pilkada. Nah, dari hasil survei awal itu akan keluar apa strategi yang akan dilakukan. Apa program yang harus dilakukan, isu apa yang memang harus kita jual di masyarkat sehingga akan menambah elektabilitas kandidat tersebut.
Kedua, dari survei itu juga kita akan ketahuan berapa dana yang fear, berapa dana yang ideal untuk kemudian program ini bisa berjalan dengan sukses. Jadi tidak serta merta ketemu kandidat kemudian menawarkan program pendampingan. Karena tidak ada basis datanya kan, berapa dana yang dibutuhkan yang paling ideal untuk menjalankan program. Jadi basis utamanya memang pada survei awal.
Kira-kira itu, jadi mulai dari kontrak, survei awal, rekomendasi , kalau melakukan pendampingan, survei reguler kita lakukan pertiga bulan sesuai dengan kesepakatan, dan terakhir kita melakukan quick count. Kira-kira itu sebetulnya tahapan-tahapan kerja dari lembaga survei dan konsultan politik, dan ini hampir setiap lembaga melakukan seperti itu.
Nantinya Pileg, Pilpres dan Pilkada akan dilaksanakan bersamaan. Apakah ini akan mempengaruhi lembaga survei politik?
Jadi kita punya cerita sebetulnya, jauh dari pemilu tidak langsung dan pemilu langsung. Dari sisi kerja, pemilu yang dilakukan secara bersamaan, secara langsung, itu memberikan ruang gerak untuk kita mengeksplorasi atau membantu jumlah calon kandidat yang tidak sedikit, artinya cukup banyak yang kita bantu. Karena waktunya kan tidak bersamaan.
Nah, ketika itu nanti dilakukan secara bersamaan, ketika kita memberikan program kepada kandidat tentu harus dilakukan dengan waktu yang bersamaan, tentu hal ini akan berpengaruh pada sebuah lembaga, karena kita akan menjaga kualitas, bukan kuantitas semata.
Ketika kuantitasnya banyak yang membutuhkan sumber daya yang banyak, itu akan mempengaruhi kualitas. Dan itu akan berdampak juga pada reputasi, misalnya. Jadi ini memang mempunyai dampak tersendiri sebetulnya. Konsekuensinya tidak banyak klien yang kita bisa ambil kan, karena kita kan memprioritaskan calon. (ren)