- Repro data KPU
VIVA – Fenomena calon tunggal di pilkada masih tak terhindarkan. Muncul pasangan calon yang akan bertarung melawan bubung kosong di 12 pilkada kabupaten dan kota tahun 2018. Tak sampai di situ, ada pula paslon tunggal yang beririsan dengan politik dinasti. Trah penguasa lokal yang seolah tak rela melepas kekuasaan. Politik kekerabatan yang bercokol dari tahun ke tahun bahkan hingga berdekade.
Pilkada serentak akan dihelat lima bulan lagi, tepatnya 27 Juni 2018. Dari 171 pilkada tahun ini, 17 di provinsi, 39 tingkat kota dan 115 di kabupaten. Sayangnya hingga hari terakhir pendaftaran pasangan calon atau paslon pada bulan Januari, 13 pilkada menjadi sorotan lantaran hanya ada paslon tunggal yang mendaftarkan diri.
Merunut hal itu, maka dalam tiga hari setelah penutupan, Komisi Pemilihan Umum memberikan kesempatan pendaftaran kembali di daerah yang memiliki paslon tunggal. Namun upaya itu nyatanya tak membawa banyak hasil. Dari 13 daerah yang calon kepala daerahnya melawan kotak kosong hanya Kaliurang yang akhirnya "bebas" dari pilkada calon tunggal, kondisi pesta demokrasi yang terkesan kurang demokratis tersebut.
Hingga penutupan pendaftaran tambahan pilkada, KPU mencatat 12 daerah akan melangsungkan pesta demokrasi dengan satu paslon saja. Dua belas daerah tersebut dengan masing-masing paslon yaitu.
1. Kota Prabumulih: Ridho Yahya-Andriansyah Fikri
2. Kabupaten Lebak: Octavia Jayabaya-Ade Sumardi
3. Kabupaten Tangerang: Ahmed Zaki Iskandar-Mad Romli
4. Kabupaten Pasuruan: Muhammad Irsyad Yusuf-Mujib Imron
5. Kota Tangerang: Arief R Wismanyah-Sachrudin
6. Kabupaten Enrekang: Muslimin Bando-Asman
7. Kabupaten Minahasa Tenggara: James Sumendap-Jesaja Jocke Oscar Legi
8. Kabupaten Tapin: Muhammad Arifin Arpan-Syarifudin Noor
9. Kabupaten Puncak, Papua: Willem Wandik-Alus UK Murib
10. Kabupaten Mamasa: Ramlan Badawi-Marthinus Tiranda
11. Kabupaten Jayawijaya: Jhon Richard Banua-Marthin Yogobi
12. Kabupaten Padang Lawas Utara (Paluta): Andar Amin Harahap-Hariro Harahap.
Keberadaan calon tunggal di pilkada sejak beberapa lama menjadi perhatian termasuk oleh penyelenggara Pemilu. Sejak pilkada serentak tahun 2015, paslon melawan kotak kosong juga sudah bermunculan. Padahal kala itu, Undang Undang Nomor 8 Tahun 2015 mensyaratkan bahwa pilkada bisa berlangsung apabila ada sedikitnya dua calon pasangan.
Majelis Hakim Konstitusi Arief Hidayat (tengah), Suhartoyo (kiri) dan I Dewa Gede Palguna (kanan) saat memimpin sidang di Mahkamah Konstitusi, Jakarta. (VIVA/M Ali Wafa)
Menyikapi hal tersebut, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa meski dengan kondisi paslon tunggal, pilkada bisa terjadi. Alasan MK, untuk mengindari kekosongan hukum. Menurut lembaga penimbang dan penguji konstitusi itu, pilkada merupakan wujud kedaulatan rakyat, maka di tangan rakyat akan diputuskan untuk memilih di antara paslon atau menjatuhkan pilihan pada satu paslon saja saat mencoblos. Hal tersebut dinilai menjadi solusi terbaik agar partisipasi demokrasi rakyat bisa direalisasikan.
Setelah UU itu direvisi melalui Undang Undang Nomor 10 Tahun 2016, klausul dan subtansi perihal calon tunggal ini diatur dengan lugas. Melalui regulasi, keberadaan calon tunggal bisa diakomodir selama sudah dilakukan sejumlah ketentuan syarat.
Pilkada dengan paslon tunggal diperbolehkan apabila KPU sudah melakukan perpanjangan pendaftaran, namun tak ada juga yang mengajukan diri. Kemudian, bisa dimaklumi dalam kondisi lebih dari satu paslon mendaftar namun pasangan rival tidak memenuhi syarat. Hal ini diatur dalam Pasal 54C ayat 1 UU Nomor 10 Tahun 2016.
UU Pilkada juga mengatur mekanisme kemenangan. Paslon tunggal tak serta-merta bisa menang meski tanpa lawan. Untuk bisa keluar jadi pemenang, calon harus merebut suara di pilkada sedikitnya 50 persen plus 1 dari partisipasi pemilih.
Jika tak menyentuh angka itu, maka pasangan calon otomatis dikalahkan kotak kosong. Hingga diadakannya kembali pilkada, maka jabatan kepala daerah setempat akan dipegang pelaksana tugas alias plt yang ditunjuk oleh Kementerian Dalam Negeri.
Pasal 54D ayat 4 UU Pilkada memuat hal tersebut:
"Dalam hal belum ada pasangan calon terpilih hasil Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Pemerintah menugaskan penjabat Gubernur, penjabat Bupati, atau penjabat Wali Kota"
Anak Bupati Pemborong Parpol
Di antara 12 daerah dengan paslon tunggal di Pilkada 2018, Kabupaten Padang Lawas Utara atau Paluta menjadi contoh menarik. Selain pilkada melawan kotak kosong, calon pasangan Bupati dan Wakil Bupati, Andar Amin Haharap merupakan putra Bupati Paluta yang akan lengser pada tahun ini. Selain bagian trah Bupati sebelumnya, Andar Amin juga didampingi Hariho Harahap, figur yang di namanya melekat marga yang sama.
Pada kekerabatan Tapanuli dan dalam hal ini Tapanuli Selatan, keidentikan marga artinya memiliki pertalian dari kekerabatan nenek moyang atau asal-usul dan relasinya biasa masih dijaga oleh keturunan hingga saat ini.
Diketahui bahwa duo Harahap memang bukan figur baru di daerahnya. Andar Amin Harahap yang merupakan putra Bupati Paluta, Bachrum Harahap tak lain sedang menjabat Wali Kota Padang Sidempuan. Namun dia tahun ini akhirnya mencoba peruntungan di Pilkada Paluta. Meski sebenarnya Andar memiliki kesempatan sebagai incumbent ‘petahana’ di Padang Sidempuan. Sementara pasangannya, Hariho Harahap merupakan ketua DPC Partai Gerindra Paluta sejak tahun 2017.
Hebatnya, duo Harahap maju menjadi calon tunggal setelah memborong dukungan 11 partai politik atau parpol yang memiliki kursi di DPRD Paluta. Sebelas partai yang akhirnya resmi mengusung mereka yaitu Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai NasDem, PPP, PDI Perjuangan, Partai Demokrat, PKB, Partai Hanura, PKS, PAN dan PKPI.
"Mereka didukung oleh 11 partai politik yang memiliki kursi di DPRD Padang Lawas Utara. Di sana jumlah kursi DPRD hanya 30 kursi," kata Ketua KPU Kabupaten Padang Lawas Utara, Rahmat Hidayat, Rabu 17 Januari 2018.
Rahmat mengatakan, pihaknya sudah membuka pendaftaran tambahan hingga 16 Januari 2018 namun tak ada pasangan calon lainnya yang mendaftarkan diri. Meski diakui bahwa dengan adanya borongan dukungan partai, maka yang seandainya masih dimungkinkan adalah paslon dari jalur independen alias nonparpol. Satu hal, persyaratan maju di jalur itu, tergolong sulit.
Ditemui terpisah oleh VIVA, Komisioner Panwaslu Kabupaten Paluta, Pangabean Hasibuan mengomentari soal aksi borong partai dan pilkada kotak kosong di daerahnya. Dia mengatakan, duet Harahap memang memborong 100 persen dukungan partai di DPRD namun Panwaslu akan melakukan pengawasan ketat agar pelaksanaan pilkada tetap pada koridor yang ditetapkan UU.
Pangabean mengatakan, sebenarnya sebelumnya ada paslon jalur independen yang menjadi calon penantang Andar-Hariho. Sayangnya mereka gagal di seleksi pemberkasan administrasi. Sementara melalui jalur dukungan parpol, setidaknya paslon di Pilkada Paluta harus mendapat dukungan 6 kursi di DPRD.
"Kami tidak melihat dari itu (politik dinasti), kami tetap melakukan pengawasan untuk keseluruhannya," kata Pangabean, Kamis siang, 18 Januari 2018.
Meski calon tunggal sudah tak lagi bisa dihempang, namun kondisi tersebut tetap disayangkan oleh berbagai pihak. Anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar mengatakan, pilkada melawan bubung kosong adalah wujud kemunduran dalam praktik sistem demokrasi.
Fritz juga menuding partai-partai politik andil menciptakan kondisi yang tak ideal tersebut. Padahal tugas partai yang cukup penting adalah mendidik kader-kadernya untuk siap memimpin daerah dan negara. Pada saat ini diketahui bahwa banyak partai di pilkada yang malah tak mengusung kader partai sendiri.
"Kader-kader parpol harusnya bisa bertanya, untuk apa saya bertumbuh di suatu partai kalau akhirnya partai saya memilih orang lain," kata Fritz Edward Siregar.
Jujur, Ini Soal Modal
***
Saat partai-partai politik ditunjuk hidungnya tak mampu memajukan kader atau malah tak peduli dengan kemajuan berdemokrasi, para petinggi partai buka-bukaan soal kondisi politik praktis di Indonesia. Iklim kontestasi pilkada diakui belum bisa bisa memenuhi model sempurna.
Realitasnya, partai politik bisa tersandung modal dan sandera koalisi yang membuatnya tak mudah mengusung kader sendiri atau calon yang diinginkan. Apalagi untuk mengusung paslon, jumlah kursi mereka tak cukup sehingga harus bergabung dengan partai lain. Di sanalah koalisi sandera politik mulai terjadi. Tawar-menawar bakal calon yang dimajukan dan barter yang bisa diajukan. Yang memiliki posisi tawar lebih tinggi cenderung akan menjadi penentu.
Belum lagi, alasan pragmatis dengan munculnya pertanyaan partai politik mana yang mau kalah. Oleh karena itu, mata partai biasanya akan melirik calon-calon yang cukup populer, pula berelektabilitas tinggi di daerah itu meski figur tersebut tak ada sangkut pautnya dengan si partai.
Ketua DPP Partai Hanura, Inas Nasrullah Zubir membantah bahwa alasan munculnya pilkada kotak kosong karena kurangnya kader mumpuni di partai. Dia mengingatkan bahwa sistem Pemilu di Indonesia masih berbiaya tinggi antara lain calon harus menyediakan atribut, panggung kampanye dan hal yang berkaitan dengan pemenangan.
"Tiap kader partai kan biasanya finansial enggak begitu hebat. Mereka pengen turun tapi siapa yang biayai. Partai juga terbatas, enggak mungkin duit partai, dari mana?" kata Inas Nasrullah.
Menurutnya, perlu ada aturan yang lebih ramah kepada kader-kader partai antara lain pembatasan atribut dan saksi dibantu pemerintah. Selain itu sistem e-voting juga dinilai akan lebih memudahkan kader untuk maju di pilkada tanpa dibebani modal uang yang memberatkan.
"Ada hal lain, finansial. Kalau kaderisasi semua partai jalan. Yang menyedihkan ketika kami mengkader anggota partai untuk diterjunkan ya enggak ada dananya," kata dia lagi.
Sementara Ketua DPP PDI Perjuangan, Andreas Pareira juga membantah bahwa partainya gagal dalam hal kaderisasi. Dia juga tak setuju jika partai mengusung calon hanya berdasarkan kedekatan dengan figur-figur penting di partai tersebut.
Andreas bahkan menilai, partai tak cari aman jika bersedia mengusung calon yang masih ada di lingkaran dinasti politik. Andreas mengatakan, satu hal yang diinginkan partai tak lain adalah kemenangan.
"Tapi ya pertimbangan utamanya adalah orang itu dianggap mampu untuk memenangkan pilkada itu dan itu juga melalui proses penjaringan," kata Andreas.
Dia melanjutkan, Partai Moncong Putih tak perlu diragukan dalam hal kaderisasi. Menurutnya, dari 171 pilkada tahun 2018, PDIP cukup banyak mengusung kader sendiri. Dia mengatakan, bukti jelas kaderisasi PDIP berjalan tak lain adalah Presiden Jokowi yang bisa memenangkan Pemilu. "Presiden sendiri itu muncul dari bawah," lanjutnya.
Senada, Wasekjen Partai Golkar Dave Laksono beranggapan bahwa tujuan kemenangan adalah pertimbangan prioritas partai di pilkada. Dia mengatakan, anggapan partai politik tak percaya diri dengan kadernya bukan alasan partai mengusung calon luar.
"Kami kan enggak mau mencalonkan orang yang tingkat kemenangannya sulit atau pasti kalah. Apalagi sudah pasti kalah, siapa yang dicalonkan adalah orang yang kita perhitungkan pasti jadi," kata Dave.
Merespons berbagai tudingan ke partai politik yang dinilai terkesan lepas tanggung jawab menyiapkan calon pemimpin, PAN tak sepenuhnya sepakat. Wakil Ketua Umum PAN, Hanafi Rais saat ditemui di Gedung DPR, Jakarta mengatakan partainya tak segan-segan memajukan calon yang dianggap mumpuni.
Bakal Calon Gubernur Sulawesi Tenggara, Asrun (kanan) dan Huqua (kiri) berada di Kantor KPU Sulawesi Tenggara saat mendaftarkan diri untuk maju pada Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara tahun 2018, di Kendari, Sulawesi Tenggara. (ANTARA FOTO/Jojon)
Dia menyebut sederet nama antara lain Desy Ratnasari, Bima Arya dan Taufik Kurniawan. PAN juga mengajukan kader sendiri di Sultra dan Maluku Utara. Namun demikian dia mengakui, kondisi tidak selalu bisa ideal. Pasalnya, partai dalam beberapa pilkada memang harus bergabung dengan partai lain karena tak selalu memiliki cukup kursi sebagai syarat pengusung.
"Ya kritik itu selalu muncul dari pemilu ke pilkada. Jadi otokritik kita terima dengan lapang dada dan konstruktif karena partai kalau tak dikritik malah terlena," kata Hanafi Rais.
Asalkan Menang
***
Pilkada paslon tunggal versus kotak kosong mau tak mau memang harus kembali terjadi. Apalagi hal tersebut terakomodir dalam UU Pilkada. Namun disayangkan jika partai-partai politik tak berusaha lebih keras untuk mencegah hal ini terulang.
Sebab bagaimana pun, menurut Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno, kondisi ini adalah bentuk kegagalan partai politik mencetak kader terbaik di daerah.
Baca juga: Menguak Harta Calon Tajir yang Lawan Kotak Kosong di Banten
Adi makin menyayangkan jika kebanyakan partai politik menolerir alasan butuhnya modal besar akibat politik berbiaya tinggi. Dia menilai partai politik yang diberi kepercayaan berperan mengusung dan mendapatkan dana dari negara seharusnya tak semata memikirkan kemenangan.
"Fenomena calon tunggal ini menegaskan bahwa parpol memang cukup abai terhadap persoalan kaderisasi calon pejabat publik yang mereka lahirkan," kata Adi di Jakarta, Jumat 19 Januari 2018.
Bendera sejumlah partai politik terpasang di Jakarta. (ANTARA FOTO/ Fanny Octavianus)
Partai-partai politik, menurut dia, harus kembali ke khitah memiliki tugas mulia menyaring dan mengantarkan figur yang berkualitas untuk diperkenalkan kepada rakyat sekalipun awalnya calon mereka tidak memiliki elektabilitas tinggi. Oleh karena itu, sikap pragmatis dengan ukuran rupiah seharusnya tak melulu menjadi alasan.
"Hanya berorientasi kemenangan dan kekuasaan. Parpol tak berani menyodorkan kader mereka melawan kandidat kuat, padahal kalah menang perkara biasa di pilkada. Namun yang terpenting, parpol memunculkan kader terbaik mereka di setiap daerah," lanjut pengamat politik ini.
Di samping dua hal tersebut, Adi melanjutkan catatannya yang menunjukkan bahwa parpol memang tak punya itikad menghempang munculnya calon tunggal. Apalagi dalam kasus-kasus tertentu terdapat paslon tunggal yang sanggup memborong dukungan seluruh partai yang jelas-jelas memiliki platform berbeda.
Menurutnya, pilkada yang hanya satu putaran juga menjadi faktor parpol tak terlalu mau berkeringat menggerakkan mesin partai memenangkan kader internal.
Pada akhirnya kata dia, yang diinginkan partai adalah mendapatkan jatah dari kekuasaan. Mereka masuk perkongsian politik dengan meniadakan persaingan alih-alih menjaganya. Dalam praktik calon tunggal borong partai, rasanya sangat sulit meyakini sebuah alasan logis bahwa hal itu dilakukan partai-partai politik demi kemaslahatan masyarakat. (umi)