- REUTERS/Muhammad Hamed
VIVA – Tiba di penghujung 2017, sejumlah peristiwa besar telah menggemparkan dunia. Muncul pula tokoh-tokoh kuat yang tergolong baru di jagat mayapada, namun sensasional dan sanggup mengubah konfigurasi tatanan politik dan keamanan internasional - yang awalnya cenderung stabil, kini belakangan menjadi rentan konflik. Yang relatif damai, akhirnya menjadi ricuh.
Kondisi dunia tarikh terakhir ini sebenarnya masih berkecamuk pada isu-isu yang sama. Persaingan senjata menyoal sengketa teritorial, isu terorisme, pengungsi dan tak ketinggalan konflik negara dan kawasan. Pada akhirnya berdampak pada masalah kemanusiaan.
Sementara perang proxy juga masih nyata terasa di tengah polarisasi kekuatan negara-negara great power seperti Amerika Serikat, Rusia dan China. Juga munculnya potensi kekuatan baru di dunia dengan laju ekonomi pesat yang otomatis berkonsekuensi pada kekuatan pertahanan yang kian berdegap.
Namun tak bisa dipungkiri, tahun 2017, animo warga dunia juga terbagi ke isu Asia Timur khususnya Korea Utara. Korut tahun 2017 ibarat anak nakal nan pembangkang yang seolah-olah tak takut diisolasi oleh dunia karena senjata nuklirnya.
Pemimpin Korea Utara, Kim Jong bersalaman dengan sejumlah ilmuwan saat memberi mereka pengharagaan medali dalam Konferensi Industri Amunisi ke-8 di Pyongyang. (KCNA/via REUTERS)
Berkali-kali disanksi PBB tak membuat Korea Utara jera. Apalagi perang urat saraf antara Kim Jong-un dan Presiden baru Amerika Serikat, Donald Trump, terus berlanjut.
[Baca juga: Korut Dicurigai Lagi Kembangkan Senjata Biologis Antraks]
Menjelang akhir warsa, perhatian bergeser kembali ke Timur Tengah. Wilayah yang senantiasa bak api dalam sekam itu lagi-lagi panas dan bergolak. Masalah kembali menerpa Yerusalem. Kota yang menjadi situs lahirnya tiga agama samawi itu kembali berada di titik perdebatan dan konfrontasi setelah Amerika Serikat mengakuinya sebagai ibu kota Israel dengan memindahkan kedutaan besarnya dari Tel Aviv ke sana.
Kebijakan itu menggoreskan kembali luka lama konflik Timur Tengah, yang hingga kini belum selesai. Gelombang protes di berbagai penjuru dunia atas kebijakan AS itu masih berlangsung hingga akhir 2017 ini dan sudah memakan korban jiwa di Timur Tengah.
Trump Bikin Ulah
Pangkal dari krisis itu adalah Trump. Dilantik pada Januari 2017 menjadi Presiden ke-45 AS, taipan yang sejak lama dikenal sebagai raja bisnis berbagai bidang itu melaju ke Gedung Putih setelah mengalahkan calon Presiden dari Partai Demokrat, Hillary Clinton. Terpilihnya Trump menjadi orang nomor 1 di AS usai Pemilu bisa dibilang mengejutkan banyak pihak. Gelombang unjuk rasa sempat terjadi di berbagai wilayah di AS.
Sejak memerintah, Donald Trump menjadi sosok yang seolah tak berhenti membuat sensasi. Cukup aktif di media sosial Twitter, Presiden AS ini kerap memicu kehebohan dan bersilang pendapat dengan Presiden negara lain maupun pejabat dan tokoh dari dalam dan luar negaranya.
Salah satu isu yang paling gencar menjadi perhatian Trump adalah Korea Utara. Negara yang memang sedang gencar melakukan uji coba rudal balistik dan pengujian bom nuklir tersebut menjadi hal yang cukup sering dikomentari Trump dalam hampir setahun kepemimpinannya.
Pada Februari 2017, Korea Utara mempublikasikan keberhasilan meluncurkan tipe baru rudal balistik. Setelah itu Korut makin getol melakukan uji coba senjata. Bahkan rudal yang diuji sudah dua kali berhasil melewati langit Jepang dan diklaim bisa mendarat di Hokkaido. Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un juga mengingatkan bahwa rudal Korea kini bisa menjangkau daratan Amerika Serikat dengan membawa hulu ledak nuklir di seri terbarunya, Hwasong V.
Sepanjang tahun 2017, Trump berusaha menekan Korut. Melalui pengaruh AS di PBB, dia mendorong agar dijatuhkan sanksi kepada negara tersebut. Usaha itu ternyata tak sia-sia, sudah tiga kali PBB menjatuhkan sanksi yang bentuknya semakin keras untuk mengganjar Korut.
Korea Utara dihempang pergerakannya melalui isolasi ekonomi dan dibatasi dalam transaksi internasional. AS berharap, dengan adanya sanksi ini, Korut segera menghentikan berbagai uji coba senjata mutakhir.
Ekspresi Presiden AS Donald Trump saat tiba di Danang, Vietnam. (REUTERS/Jonathan Ernst)
Trump, dalam beberapa kesempatan, sangat berang dan selalu bereaksi keras atas ejekan dan gertakan yang dilakukan Korea Utara. Trump mengingatkan bahwa AS tak akan diam dan dipastikan sanggup membumihanguskan Korut jika negara itu berani memulai perang. AS dengan gencar juga merangkul negara-negara yang kontra seperti Korea Selatan dan Jepang untuk melawan Korut.
“Jangan pernah meremehkan kami, jangan coba-coba,” kata Trump saat mengancam Korut sebagaimana dilansir laman BBC.
Tak berhenti soal Korut, pada awal Desember 2017, Trump kembali mengeluarkan kebijakan yang kontroversial. Keputusan mengejutkan itu adalah soal pengakuan Amerika Serikat atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Hal ini menggebrak dunia mengingat proses damai antara Palestina dan Israel diklaim berproses dan mencatut Yerusalem milik Israel sama artinya dengan menafikan posisi Palestina.
Keputusan soal Yerusalem ini lantas menuai protes dari dunia. Demontrasi besar-besaran berlangsung di depan kantor Kedubes AS di banyak negara khususnya negara mayoritas muslim seperti di Indonesia. Unjuk rasa besar-besaran juga berlangsung di Palestina dan Tepi Barat yang mengecam keputusan Trump yang dianggap tak adil. Demonstrasi itu bahkan kerap berujung ricuh hingga memakan korban jiwa. Tak sedikit korban yang menderita luka-luka.
[Baca juga: 620 Warga Palestina Ditangkap Sejak Klaim AS soal Yerusalem]
Bola panas Yerusalem kembali bergulir tatkala sebagian besar negara di sidang khusus Majelis Umum PBB dalam pemungutan suara memilih tak memihak AS soal klaim ibu kota Israel. Ada 128 suara menolak klaim AS sementara 9 suara menerimanya. Lainnya yaitu 35 negara menyatakan sikap abstain.
Hasil pemungutan suara itu lalu berimbas pada sikap AS di bawah Trump yang kecewa pada PBB. AS menyatakan bakal memangkas anggaran besar kontribusi negaranya selama ini ke badan-badan dunia di PBB.
Rohingya, Tragedi Kemanusiaan
Kekerasan masif terhadap etnis Rohingya di Rakhine, Myanmar, juga menjadi kabar yang sangat menarik perhatian masyarakat dunia tahun 2017 ini. Militer Myanmar dan kelompok fanatik Buddha di negara tersebut membakar desa-desa kaum Rohingya. Buntutnya, hingga 600 ribu etnis Rohingya lalu keluar dan terusir dari negara itu. Sebagian besar mereka mengungsi ke Bangladesh.
Atas kekerasan dan pembantaian ini, puluhan ribu orang diperkirakan tewas. PBB bahkan menyebutkan bahwa memang terjadi pembersihan etnis di Myanmar. Sayangnya, State Counsellor Myanmar, Aung San Suu Kyi, yang sebelumnya dikenal sebagai peraih Nobel Perdamaian dan pejuang demokrasi, justru bergeming menyaksikan situasi di negerinya itu.
Myanmar mengatakan bahwa etnis Rohingya tidak pernah diakui di negaranya. Mereka memilih suku tersebut dinamai Bengali. Padahal diketahui, sejak lama suku Rohingya secara turun-temurun sudah berdiam di Myanmar.
Kekejaman Myanmar terhadap etnis Rohingya menjadi perhatian di berbagai belahan dunia. Sejumlah negara mengirimkan bantuan kepada Rohingya yang ditampung di Cox’s Bazar, Bangladesh.
[Baca juga: Ternyata Korban Terbunuh Rohingya Mencapai 6.700 Orang]
Di berbagai wilayah terjadi protes massa di kantor-kantor perwakilan pemerintah Myanmar yang menuntut agar kekerasan terhadap Rohingya dihentikan. Muncul pula aspirasi agar penghargaan Nobel Aung San Suu Kyi ikut ditarik.
“Kekerasan, krisis kemanusiaan ini harus segera dihentikan,” kata Presiden Joko Widodo dalam keterangan pers di Istana Merdeka, 3 September 2017, sebagaimana dilansir VIVA.
Pengungsi Rohingya Saddam Hussein (23) dan Shofika Begum (18) saat merayakan pesta pernikahan di kamp Kutupalong, dekat Cox's Bazar, Bangladesh. (REUTERS/Damir Sagolj)
Peristiwa ini pecah pada Agustus 2017 dan berlanjut krusial hingga September 2017. Sementara saat ini, dengan dukungan berbagai negara termasuk Indonesia, diupayakan kebijakan repatriasi yaitu mengembalikan para pengungsi Myanmar ke Rakhine melalui kesepakatan Myanmar-Bangladesh.
Sikap Indonesia soal masalah ini sudah jelas, yaitu berupaya menghentikan sesegera mungkin tragedi kemanusiaan di negara tetangganya itu. Namun, Indonesia tidak bisa berjalan sendiri tanpa kerja sama tuan rumah Myanmar dan juga sesama negara anggota ASEAN.
Indonesia pun jelas sekali mengandalkan penyelesaian secara regional melalui ASEAN, ketimbang secara langsung menekan Myanmar untuk mengatasi krisis tersebut. Berulang kali Pemerintah RI mendesak negara ASEAN untuk bertindak konkret soal tragedi kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya di Rakhine, Myanmar. Apalagi Myanmar pun anggota ASEAN.
"Sudah waktunya bagi ASEAN untuk menunjukkan kepada masyarakat dan dunia bahwa ASEAN dapat melindungi rakyatnya dan mampu merespons tantangan di Asia Tenggara," kata Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi. Maka pendekatan diplomasi melalui meja perundingan di berbagai forum dan bantuan kemanusiaan secara langsung kepada pengungsi Rohingya merupakan jurus yang selama ini dilakukan Indonesia untuk mengatasi masalah itu.
ISIS Takluk
Sementara itu, sepanjang 2017 dunia juga masih disibukkan dengan kampanye melawan kelompok militan Daulah Islamiyah Irak dan al-Syam atau ISIS (IS). Namun, hasil peperangan itu mulai terasa.
Setelah dua tahun menguasai sebagian wilayah Suriah dan Irak sejak tahun 2014 lalu, ISIS akhirnya harus angkat kaki dari wilayah-wilayah yang diklaim mereka sebagai kilafah. ISIS yang digempur sejak medio 2017 akhirnya hengkang dari Raqqa di Suriah dan dari Mosul di Irak serta dari beberapa kota kecil yang sempat dikuasainya.
Tahun ini bisa dikatakan sebagai masa pembebasan dari ISIS setelah banyaknya korban tewas dan korban perempuan yang teraniaya akibat kekejaman jaringan Islam garis keras yang militan. Rakyat Raqqa dan Mosul bersorak, akhirnya lega bisa merasa bebas dari belenggu teroris yang sempat mengontrol sistem.
Sebagian militan dan simpatisan ISIS ditahan otoritas setempat. Yang lainnya kocar-kacir melarikan diri.
Tentara Kurdi saat menangkap sejumlah militan Negara Islam di sebelah barat daya Kirkuk, Irak. (REUTERS/Ako Rasheed)
Demi menggempur ISIS, militer AS dan Rusia dikerahkan untuk menyokong tentara yang negaranya sedang diduduki. Suriah berkoalisi dengan tentara Rusia sementara Irak khususnya di Mosul disokong oleh tentara Amerika Serikat. Dua negara tersebut melakukan serangan udara mengebom basis-basis ISIS.
Pembebasan Raqqa pada warsa ini diumumkan oleh Tentara Pembebasan Suriah pada Selasa, 17 Oktober 2017 sebagaimana diberitakan Reuters. Kemenangan itu diraih setelah empat bulan terjadi kontak intensif dan pertempuran sengit melawan para militan ISIS.
Sementara warga Mosul juga bersorak tatkala kotanya berhasil dibebaskan dari ISIS. Setelah perayaan sehari semalam, kota itu mulai berbenah agar kembali seperti semula. Toko-toko kembali buka dan aktivitas ekonomi mulai kembali pulih di Irak.
[Baca juga: Ibadah Natal Pertama Mosul Usai Bebas ISIS, Dihadiri Muslim]
Namun demikian, meski Irak dan Suriah bebas dari ISIS, pemimpin ISIS Abu Bakar al Baghdadi belum bisa dipastikan keberadaannya. Dia diduga masih bersembunyi di suatu tempat. Informasi dari Rusia yang sempat beredar mengabarkan bahwa Baghdadi telah tewas dalam serangan udara di Raqqa.
Sayangnya, laporan itu belakangan tak bisa dikonfirmasi kebenarannya. Tak lama AS menyatakan bahwa informasi Rusia tersebut tak memiliki dasar yang kuat.
Sementara di Asia Tenggara, ISIS menyokong pemberontak Maute di Marawi, Filipina Selatan juga berhasil takluk di bawah militer Filipina. Infiltrasi ISIS ke Marawi diduga sebagai awal untuk menguasai Asia Tenggara.
Setelah dijadikan sebagai wilayah operasi militer oleh Presiden Filipina Rodrigo Duterte tengah tahun ini, Marawi diisolasi. Melalui pertempuran berbulan-bulan, pentolan pemberontak Maute berhasil dibekuk tentara. Marawi lalu diumumkan bebas dari ISIS.
“Saya menyatakan bahwa Kota Marawi sudah bebas dari teroris dan kini saatnya merehabilitasi,” kata Duterte, seperti dikutip kantor berita Reuters. (ren)