- REUTERS/Mike Blake
VIVA – Tahun 2017 berjalan dengan berbagai peristiwa dan penemuan sains. Gagasan maupun ide sains menjadi pengharapan manusia untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dari saat ini.
Salah satu yang menarik sepanjang tahun ini adalah bergulirnya gagasan membangun negara pertama di luar angkasa, Asgardia, dan misi koloni ke Planet Mars yang kian hari kian menumbuhkan harapan baru bagi peradaban manusia.
Harapan dan kenyamanan warganet di dunia digital terganggu dengan munculnya konten porno di aplikasi perpesanan. Menjawab maraknya konten porno itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika sudah menyiapkan mesin sensor internet yang diklaim lebih canggih dari sistem sensor sebelumnya.
Jalan panjang Asgardia
Sekelompok ilmuwan dan pakar luar angkasa lintas-negara berkumpul di Paris, Prancis, Oktober tahun lalu. Mereka, pakar dan ilmuwan dari Kanada, Rumania, Rusia dan Amerika Serikat, berambisi mendirikan negara pertama di antariksa, dengan nama Asgardia.
Ambisi negara di luar angkasa ini diotaki pendiri Aerospace International Research Center, Rusia, Igor Ashurbeyli.
Deretan nama penting ada di belakang ambisi ini. Selain Ashurbeyli yang juga komite antariksa UNESCO, ada juga David Alexander (Direktur Space Intitute Rice University, AS), Ram Jakhu (Direktur Institute of Air dan Space Law McGill University, Kanada), Joseph N. Pelton (Direktur Space and Advanced Communications Research Institute (SACRI), George Washington University, AS) sampai Dumitru-Dorin Prunariu (Kosmonot Rusia).
Sebagai otak utama Asgardia, Ashurbeyli, didapuk menjadi kepala negara Asgardia pertama.
Dalam keterangannya, Asgardia diharapkan bakal menjadi pintu masuk untuk misi penambangan asteroid serta berfungsi sebagai pertahanan Bumi dari meteorit, sampah antariksa dan ancaman lain yang membahayakan.
[Baca juga: Asa Negeri Antariksa]
Awalnya disambut skeptis. Namun pada pertengahan 2017, gagasan Asgardia menyihir ratusan ribu orang seluruh dunia dan puluhan ribu warga Indonesia, untuk mendaftarkan secara daring menjadi warga negara Asgardia.
Ambisi ini tak hanya mimpi semalam saja. Pencipta dan pengelola Asgardia seserius mendirikan negara. Pada Juli lalu, mereka menyiapkan keperluan untuk pendirian negara, yakni konstitusi, lembaga pemerintahan, bendera dan lagu kebangsaan Asgardia.
Daftar Asgardians dari Indonesia. (www.asgardia.space)
Asgardia juga berpikir layaknya bangsa-bangsa di dunia. Mereka menyiapkan kedaulatan negara di luar bumi dengan mengirimkan Satelit Asgardia-1 ke orbit yang meluncur pada 10 November 2017.
Satelit berukuran 2,8 kilogram itu membawa muatan utama berupa hard disk berisi data file 18 ribu warga negara Asgardia, emblem, bendera serta konstitusi Asgardia. Data harian warga negara Asgardia, Asgardian, nama dan data Asgardian akan tetap tersimpan di memori satelit. Data itu akan dipasang ulang pada tiap satelit baru milik Asgardia yang diluncurkan.
Walau satelit tersebut berukuran kecil, namun punya makna besar bagi Asgardia. Dengan meluncuranya satelit tersebut, maka Asgardia mengklaim resmi memiliki wilayah sendiri di luar Bumi. Negara Asgardia bisa dikatakan telah lahir.
"Dengan senang hati, kami mengumumkan kerajaan antariksa Asgardia kini telah mendirikan wilayah kedaulatannya di antariksa," jelas Asgardia setelah peluncuran satelit tersebut.
Wujud negara Asgardia saat ini memang masih diwakili oleh satelit mini yang ada dalam kapsul antariksa Cygnus. Satelit mini itu merupakan langkah awal untuk misi besar Argardia membuat platform seperti kapal induk luar angkasa, yang nantinya bisa menampung jutaan orang.
Jadi Asgardia menegaskan, mereka bukan ingin menjajah planet. Juga bukan ingin mengambil teritorial planet, yang jelas akan melanggar hukum luar angkasa internasional.
Meski sudah mendeklarasikan resmi negara pertama di luar angkasa, Asgardia belum diakui oleh bangsa di bumi sebagai entitas negara maupun pengakuan dari PBB. Untuk wilayah dan populasi, lambat laun jika mulus, Asgardia bisa mendapatkannya.
Nada minor menyambut Asgradia disampaikan pakar hukum antariksa.
Pakar sangsi bagaimana Asgardia akan menyelesaikan persoalan, misalnya, kewarganegaraan, sampai pelanggaran hak cipta Satelit Asgardia-1.
Belum lagi, negara baru ini perlu menyelesaikan persoalan hukum di luar Bumi, yang tercakup dalam The Outer Space Treaty atau Traktat Luar Angkasa yang berlaku pada 1967. Traktat ini menjadi dasar hukum luar angkasa.
Perjanjian yang telah ditandatangani 102 negara per Mei 2013 itu mengatur eksplorasi area luar angkasa hanya untuk tujuan damai, bukan untuk kepentingan militer atau percobaan senjata.
Traktat ini secara jelas juga melarang klaim negara di Bumi atas benda langit, Bulan dan lainnya. Objek langit adalah warisan bersama untuk manusia.
Hal yang sama juga disampaikan oleh United Nations Office for Outer Space Affairs (UNOOSA), lembaga yang berwenang untuk mengatur isu luar angkasa. Lembaga ini menegaskan pelarangan penggunaan Bulan dan benda langit untuk klaim sepihak entitas tertentu, sesuai ketentuan traktak tersebut.
"Jadi terserah kepada masyarakat internasional, khususnya negara pihak dalam traktat ini, untuk membahas traktat ini," jelas Direktur UNOOSA, Simonetta Di Pippo, dalam sebuah SpaceWatch Middle East di Dubai belum lama ini dikutip dari Spacewatchme.com.
Dalam pandangan Di Pippo, tantangan yang dihadapi manusia dalam relasi luar angkasa ke depan yakni banyaknya entitas negara yang eksplorasi dan hadir dalam ruang angkasa. Untuk itu, Komite Pemanfaatan Luar Angkasa untuk Tujuan Damai (CUPUOS) dan UNOOSA menyediakan forum internasional untuk mendiskusikan praktik terbaik penggunaan luar angkasa yang damai dan kooperatif.
UNOOSA terbuka untuk membahas topik definisi dan batasan luar angkasa, penggunaan sumber daya nuklir di antariksa, keamanan, keselamatan dan keberlanjutan pedoman mitigasi puing sampah antariksa.
"Beberapa tantangan utama yang dihadapi komunitas antariksa global yakni memungkinkan kerja sama dengan peningkatan jumlah aktor di antariksa, memfasilitasi akses terbuka dan adil negara baru dalam antariksa dan sektor swasta dalam akses data antariksa untuk penerapan di Bumi," ujarnya.
Menanggapi tembok besar tersebut, Asgardia tak peduli dengan suara-suara yang melemahkan tersebut. Ashurbeyli mengatakan, Asgardia akan mengajukan pengakuan sebagai entitas negara kepada PBB pada 2018.
Untuk menghadapinya, Ashurbeyli menegaskan, Asgardia akan berdinamika seperti negara pada umumnya.
"Kami harus seperti negara yang normal. Semua negara memiliki masalah dan segera kami akan mengalami masalah yang sama. Tapi kami akan lebih dari sekadar negara normal, sebab kami tidak berada di Bumi," ujarnya.
Koloni ke Planet Mars
Mimpi dan ambisi mencari kehidupan luar bumi terus menyala. Perusahaan antariksa negara sampai swasta berlomba menjadi yang pertama bisa berkoloni di Planet Merah.
Perusahaan antariksa swasta SpaceX menjadi salah satu yang paling serius mewujudkan ambisi koloni di Planet Mars. Pada akhir September 2017, Pendiri dan Chief Executive Officer SpaceX, Elon Musk mengenalkan wahana antariksa baru, BFR pada International Aeronautical Conference di Adelaide, Australia.
Musk menjelaskan nantinya BGR akan mewujud sebagai gabungan dari seluruh fungsi roket Falcon 9, Falcon Heavy dan kapsul Dragon, yang selama ini mereka sediakan.
Dari segi desain, BFR yang merupakan berupa roket pendorong dan wahana berawak, lebih raksasa dan super dibandingkan dengan tiga wahana SpaceX sebelumnya.
Roket Falcon 9 milik SpaceX di langit Orange County California Amerika. (Twitter.com/@SirishM/via REUTERS)
SpaceX merancang wahana BFR multifungsi untuk misi luar angkasa. Pertama bisa dipakai sebagai kendaraan terbang dari kota ke kota di seluruh dunia, dengan menawarkan waktu tempuh kurang dari 30 menit. Kedua, wahana ini diproyeksikan untuk jadi angkutan bolak balik dari dan ke Bulan, serta terakhir BRF akan menjadi wahana berawak koloni ke Planet Mars.
Untuk berkeliling antarkota di dunia, BFR didukung dengan kemampuan terbang dengan kecepatan maksimal 27 ribu kilometer per jam. Skemanya BFR akan diangkut ke orbit oleh roket SpaceX, kemudian sesampai di orbit, BFR akan meluncur ke kota tujuan.
"Hal luar biasa pergi ke antariksa (dengan sistem BFR) yaitu tidak ada friksi, ini lembut layaknya sutera. Tak ada turbulensi, dan tak ada (gangguan) lainnya," katan Musk.
Menariknya lagi, penumpang tak perlu khawatir dengan biaya terbang di bumi dengan wahana BFR. Musk menegaskan biaya terbangnya bisa disetarakan dengan biaya maskapai pada umumnya.
Wahana BFR juga bisa dimanfaatkan untuk bolak balik ke Bulan. Misi ke bulan tak sekompleks misi ke Planet Mars. Untuk ke Bulan, tak memerlukan produksi propelan di permukaan satelit Bumi tersebut, sebab jaraknya relatif dekat dengan Bumi.
Dengan demikian, maka BFR memungkinkan untuk kembali ke Bumi begitu mengirimkan awak ke Bulan. BFR hanya perlu mengisi bahan bakar di tengah perjalanan menuju Bulan.
Untuk memuluskan misi di permukaan Bulan, SpaceX sudah menyiapkan Moon Base Alpha, atau basis di permukaan Bulan.
"Saat ini adalah 2017, sudah saatnya kita harus memiliki basis di Bulan," ujarnya.
BFR memungkinkan untuk mengirim awak ke Planet Merah. Pada bagian wahana berawak atau bagian atas dari BFR, berisi 40 kabin yang mana masing-masing kabin idealnya ditempati dua atau tiga awak. Sehingga 40 kabin pada BFR akan bisa membawa 100 orang untuk sekali penerbangan.
Masalah pengisian bahan bakar selama menuju Planet Mars teratasi. SpaceX akan mengirimkan tangki reusable ke orbit untuk mengisi ulang bahan bakar BFR. Selanjutnya wahana ini bisa fokus melaju ke Planet Merah.
Musk menargetkan bisa segera mengirimkan misi SpaceX ke daratan Planet Mars. Pada 2022, atau lima tahun lagi, dia ingin setidaknya mendaratkan dua wahana kargo ke Mars. Kargo itu akan menjalankan misi menemukan titik sumber air di Mars. Begitu menemukan sumber air, misi akan membangun pembangkit produksi propelan atau bahan bakar di permukaan Mars. Pembangkit ini akan dibangun oleh dua misi berawak yang ditargetkan mendarat pada 2024.
Basis di permukaan Mars akan dibangun dari waktu ke waktu sejalan dengan banyaknya kebutuhan dan awak yang datang ke Planet Mars. [Baca juga: Ilmuwan akan Tanam Sayur dan Buah di Planet Mars]
Memburu konten porno
Pengguna WhatsApp di Tanah Air waswas pada awal November lalu, terutama kalangan emak-emak. Musababnya, konten mesum berupa gambar bergerak (Graphics Interchange Format/GIF) yang bisa diakses lewat salah satu fitur di WhatsApp.
Akses ini bisa dibuka oleh pengguna iOS, Android, maupun desktop/komputer jinjing. Tak pelak, hal ini membuat para orangtua khawatir dan Kementerian Komunikasi dan Informatika meradang.
Kominfo langsung menyurati 'empunya' WhatsApp, Facebook, sebanyak tiga kali untuk meminta penjelasan sepanjang 4-6 November 2017. Kominfo juga memaksa WhatsApp memblokir enam domain name system (DNS) terkait pornografi di aplikasi perpesanan tersebut.
Keenam DNS yang diblokir adalah tenor.com, api.tenor.com, blog.tenor.com, qa.tenor.com, media.tenor.com, dan media1.tenor.com.
[Baca juga: Blokir Konten Porno di WhatsApp]
Direktur Jenderal Aplikasi dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika, Semuel Abrijani Pangerapan, kala itu mengancam siap memblokir WhatsApp, sepanjang tak mematuhi perintah Kominfo.
Tapi WhatsApp berdalih. Mereka menjelaskan konten GIF pada platformnya bukan dalam kendali sistem mereka, sebab konten itu merupakan layanan yang tersedia dari luar WhatsApp.
Mereka juga mengaku tidak bisa memonitor GIF di WhatsApp, karena konten tersebut memiliki enkripsi end-to-end. Dalam pernyataannya, WhatsApp bilang mereka menggunakan database GIF milik Giphy dan Tenor.
"Kami telah berkoordinasi dengan pemerintah Indonesia untuk secara langsung bekerja sama dengan layanan pihak ketiga tersebut dalam memonitor konten mereka," bunyi keterangan resmi WhatsApp.
Seseoran tengah mengakses aplikasi whatsapp. (REUTERS/Dado Ruvic)
Kominfo dikenal galak dengan urusan konten porno. Alasannya, konten dewasa dan syur telah diatur oleh undang-undang secara khusus, maka mereka langsung bertindak.
Konten negatif yang dimaksud merujuk pada Undang Undang Nomor 19 Tahun 2016 perubahan atas Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), khususnya dasar hukumnya di Pasal 2 dan Pasal 40 ayat (2).
Wajah galak Kominfo bisa dilihat dari statistik penapisan lebih dari 700 ribu situs dari 28-30 juta situs porno di dunia. Kominfo berdalih, hanya bisa memblokir 700 ribuan situs syur lantaran selama ini menapis dengan sistem manual.
Untuk meningkatkan kekuatannya, pada awal tahun 2018, Kominfo akan menggunakan mesin sensor. Mesin bersistem crawling ini ditargetkan untuk menangani secara masif situs-situs porno yang saat ini diperkirakan sekitar 28-30 juta situs di dunia siber. Crawling artinya mesin tersebut akan menganalisis secara otomatis sesuai kriteria konten negatif yang ditetapkan.
Dalam uji coba pada November lalu, mesin sensor bisa melakukan crawling 10 kali lebih cepat dalam mendeteksi konten negatif.
Sistem sensor ini akan dilengkapi dengan teknologi kecerdasan buatan, sehingga makin serba otomatis. Berbeda dengan pendeteksian konten negatif terdahulu yang diproses secara manual dengan sistem ticketing melalui situs Trust Positif.
Kominfo menegaskan mesin sensor bukan mesin penyadap penggunaan internet yang memakai sistem Deep Packet Inspection (DPI). Salah satu realisasi DPI adalah pemantauan atau surveillance dan pemblokiran.
Sistem tersebut diterapkan di router untuk memantau aliran data secara real-time dan melakukan tindakan atas aliran tersebut, sehingga dikhawatirkan bakal menggerus privasi pengguna internet di Indonesia.
Selain menyasar konten porno, mesin sensor internet ini akan memberangus konten judi dan hoaks yang belakangan banjir di media sosial.
Serah terima mesin sensor dari PT Inti (Persero) atau Industri Telekomunikasi Indonesia selaku pemenang tender akan berlangsung pada 29 Desember 2017. (ase)