- ANTARA FOTO/Fahrul Jayadiputra
VIVA – Pria berewokan itu penuh percaya diri. Ia berdiri sendirian di panggung presentasi. Di hadapannya ratusan pasang mata menatap kagum dan tersihir ucapan pria itu.
Dialah Bertrand Zobrist, ahli bidang genetika kedokteran terkenal dunia. Dia mempresentasikan populasi di muka bumi yang kian melonjak dan terus menyesaki dunia.
Zobrist mengatakan, butuh 100 ribu tahun untuk mencapai populasi satu miliar di dunia dan butuh 100 tahun agar populasi manusia bertambah menjadi dua miliar. Zobrist terus melanjutkan presentasinya. Kata dia, butuh waktu 50 tahun untuk membuat populasi dunia menjadi 4 miliar pada 1970. "Dan butuh waktu 50 tahun lagi untuk mencapai populasi 8 miliar jiwa di dunia," kata dia.
Sorot mata Zobrist makin serius. Dia menatap semua hadirin yang khikmad menyimak. Dengan pertumbuhan populasi dunia itu, Zobrist berpendapat, lama-lama dunia akan sangat sesak. Telunjuknya menuju ke layar, dia menganalogikan pertumbuhan populasi itu dengan air yang dikucurkan di dalam gelas. Air akan cepat mengisi penuh gelas tidak sampai semenit, dan setelahnya air akan meluber.
Seperti air mengisi gelas itu, kata dia, populasi manusia akan makin terus tumbuh, dan jika tak dihentikan akan seperti air dalam gelas tersebut.
Zobrist menggeser sedikit tubuhnya. Dia berucap, dalam 40 tahun ke depan, akan ada 32 miliar jiwa menyesaki dunia. "Setiap wabah di Bumi adalah akibat overpopulasi," jelas Zobrist.
Sejumlah orang tua saat mengikuti kelas latihan berenang untuk bayinya di Kairo, Mesir. (REUTERS/Amr Abdallah Dalsh)
Namun menurutnya, langkah pengendalian kelahiran untuk menekan overpopulasi tidak efektif. "Itu keterlaluan, melanggar hak-hak Anda,” ujarnya. Nada Zobrist meninggi dan berteriak, pengendalian kelahiran pasti melanggar privasi orang, dan mengganggu hak asasi orang. Nadanya kemudian menurun.
"Ada lima kepunahan besar dalam sejarah kita, dan jika kita tak bertindak kitalah selanjutnya yang akan punah. Waktu kita hampir habis," ujar Zobrist, seraya tangannya memutar menunjuk semua penjuru hadirin di ruangan.
Materi presentasi di layar berakhir. Layar gelap, ruangan turut gelap.
Tepuk tangan membahana dari ruangan tersebut. Zobrist meninggalkan ruangan saat hadirin masih bertepuk tangan dan berdiri. Hadirin dari seluruh dunia terpukau dengan presentasi overpopulasi dunia Zobrist tersebut.
Idenya tentang overpopulasi manusia langsung menarik perhatian dunia, dan membuat WHO tersentak. Terutama gagasannya tentang mengatasi overpopulasi dikenal dengan trans humanisme, yang berlambangkan H+. Dengan gagasan itu, Zobrist menghipnotis orang dan meyakinkan orang bahwa cara terefektif menyelamatkan umat manusia yakni mengurangi populasi hingga sepertiga dari populasi saat ini.
Solusinya langsung ditolak mentah-mentah oleh WHO. Namun idenya tidak bisa dibendung. Ia menyewa konsorsium rahasia dunia, The Mendacium. Zobrist menciptakan wabah yang akan mengurangi populasi dunia secara perlahan.
Wabah yang disebarkan dan ditanam di sebuah tempat tersembunyi merupakan virus yang bertindak sebagai vektor (pembawa) yang akan masuk ke dalam tubuh manusia dengan mengubah struktur DNA manusia.
Orang yang terinfeksi virus ini tidak akan merasa bahwa dirinya sedang terinfeksi. Virus ini akan mengubah struktur DNA manusia sehingga manusia yang terinfeksi tidak akan mampu bereproduksi (mandul). Harapannya, wabah itu akan menekan populasi dunia sehingga menjadi sesuai keinginannya, bisa menjadikan populasi dunia tinggal sepertiga dari populasi saat ini.
Cerita soal wabah penyakit yang digagas Zobrist ini merupakan cuplikan dari film Inferno 2016 yang diangkat dari novel Dan Brown.
Wabah Dunia
Namun wabah penyakit tidak hanya muncul di layar bioskop. Di dunia nyata, beberapa wilayah di belahan dunia diketahui beberapa kali terserang wabah penyakit mematikan. Sama halnya dengan wabah berbahaya yang ingin disebarkan Zobrist dalam film tersebut, wabah penyakit yang melanda dunia juga membuat khawatir pemerintah negara bersangkutan dan WHO.
Selain difteri di Indonesia, wabah seperti campak pernah melanda Amerika Serikat belum lama ini. Peneliti kesehatan memastikan wabah campak terbesat dalam tiga dekade di Minnesota, AS terjadi karena meningkatnya penolakan terhadap vaksin.
Sejak wabah itu teridentifikasi pada April 2017, muncul 48 kasus campak pada Mei 2017. Sebanyak 46 anak dan balita yang terkena wabah campak merupakan keturunan Amerika-Somalia yang tak divaksin. Departemen Kesehatan Minneapolis dikutip dari CNN, menegaskan orangtua anak-anak korban wabah itu telah menjadi target propaganda antivaksin.
Departemen tersebut juga mengatakan, wabah ini muncul dan menyebar dari komunitas Somalia yang menolak vaksin dengan berbagai alasan. Gerakan antivaksin juga sempat merepotkan Amerika Serikat.
Komunitas orang keturunan Somalia di Minnesota yang menolak vaksin memang terus meningkat. Alasannya vaksin bisa menyebabkan autisme pada buah hati mereka. Padahal penelitian telah membuktikan, tak ada efek samping vaksin Measles, Mumps, and Rubella (MMR), seperti autisme pada anak.
Dikutip dari Vox, Negeri Paman Sam sudah sejak 1960-an dilanda kengerian wabah campak. Kala itu muncul 4 juta kasus wabah campak. Drai jumlah ini sebanyak 48 ribu dirawat inap dan 500 kematian akibat campak terjadi tiap tahun. Wabah ini mendorong pemerintah AS mengeluarkan vaksin pada 1963.
Pada 2000, AS telah menyatakan virus campak bisa dihilangkan. Warga banyak diimunisasi sehingga wabah dan kematian ini pada awal milenium jarang terjadi.
Petugas kesehatan sedang menunjukkan vaksin campak dan BCG. (ANTARA FOTO/Rosa Panggabean)
Satu dekade berjalan, wabah campak melanda Texas. Kala itu seorang pastur mengajak anak-anak untuk melawan vaksinasi. Pada 2014, pejabat AS mencatat ada lebih dari 664 kasus campak terjadi di 27 negara bagian AS.
Ini merupakan wabah besar dalam dua dekade terakhir. Mewabahnya kembali campak di AS ini dikaitkan dengan eksistensi kelompok antivaksin, salah satunya komunitas Amish, kelompok orang antimodernitas di Ohio.
Setahun kemudian, pemerintah AS juga dibuat pusing dengan munculnya kembali wabah campak hingga hampir 150 kasus. Wabah yang berasal dari Disneyland di California ini juga terkait masyarakat yang menolak vaksin.
Meningkatnya wabah campak ini mengkhawatirkan para orangtua dan sekolah di California. Orangtua takut anak mereka terjangkit campak dari anak-anak yang tak mendapat vaksinasi di sekolah. Sementara sekolah mengambil langkah pencegahan penyebaran wabah, yakni merumahkan anak-anak yang menolak divaksin.
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) melaporkan ada kaitan antara meningkatnya wabah campak dengan gerakan antivaksin. CDC menunjukkan pada 2014, 79 persen kasus campak di Negeri Paman Sam melibatkan orang tak yang mau divaksin, dengan beragam alasan.
Beberapa alasan dari orangtua di AS yang menolak vaksin yakni berlandaskan pada pandangan pribadi yang prinsip dan keyakinan agama. Hanya orangtua di negara bagian Mississippi dan West Virginia yang dilarang menolak vaksin dengan klaim pengecualian filosofis atau agama. Negara bagian Colorado, termasuk yang paling buruk vaksinasinya, mencapai 82 persen. Orangtua di negara bagian ini menolak vaksin dengan alasan yang filosofis.
Sedangkan di Minnesota, pejabat kesehatan setempat menawarkan vaksin MMR untuk menghadang penyebaran virus campak. Vaksin diberikan pada anak dalam dua dosis yakni anak 12 bulan dan anak usia 4 sampai 6 tahun. Pejabat kesehatan di sana juga meminta anak yang tinggal di daerah mewabahnya campak untuk segera mendapatkan dosis kedua, paling tidak 28 hari setelah dosis pertama.
Mengeksekusi pencegahan wabah, semua anak keturunan Somalia di Minnesota menerima vaksin pertama pada awal April 2017. Penyedia layanan kesehatan di seluruh negara bagian ini turun tangan untuk merekomendasikan pemberian vaksin kedua lebih awal.
Pejabat kesehatan Minnesota merekomendasikan semua anak berumur 12 bulan dan lebih tua yang tak menerima vaksin MMR harus segera diberi vaksin pertama. Badan kesehatan tersebut juga meremendasikan orang dewasa yang lahir pada 1957 atau sesudahnya. Tidak hanya itu, warga yang belum menerima vaksin dan tak pernah terkena campak sekali pun, harus divaksin.
Gerak gesit dan kekhawatiran pemerintah negara bagian AS atas menyebarkan campak bukan tanpa alasan. Sebab campak bisa menyebar begitu cepat. Laman Vox menuliskan, dalam populasi tanpa imunisasi, satu orang terkena campak bisa menginfeksi 12 sampai 18 orang lainnya. Tingkat keganasan penularan campak ini lebih mengerikan dibanding virus Ebola, HIV, SARS.
Director of Infectious Disease Epidemiology, Prevention and Control Division Departemen Kesehatan Minnesota, Kristen Ehresmann mengatakan, campak adalah penyakit yang serius. "Anda bisa terkena pneumonia dan dehidrasi dan orang bisa mati karena campak. Jadi kami mengambil langkah yang serius," ujar Ehresmann.
Sedangkan Direktur Pusat Penelitian dan Kebijakan Penyakit Infeksi Universitas Minnesota, Michael Osterholm membandingkan kengerian wabah campak ini dengan bencana kebakaran hutan. Campak bisa cepat menular layaknya jilatan api dalam kebakaran hutan, jika tidak segera ditangani dengan tepat. Campak menurutnya salah satu yang paling menular dari semua agen penyakit menular.
"Jika Anda mengalami wabah besar dari sebuah komunitas seperti orang Somalia-Amerika, percikan api terbang keluar dari api dan menyalakan api di sekitar negara bagian. Itulah yang kami khawatirkan," ujarnya.
Gerakan Antivaksin Eropa
Eropa juga dibuat repot dengan merebaknya wabah campak. Pada 2016 tercatat ada 35 kasus kematian yang diakibatkan wabah campak. Yang paling parah melanda Rumania, laporan BBC menyebutkan, ada 34.000 kasus campak di Rumania dan 31 warganya meninggal karena penyakit menular tersebut. Selain Rumania, pada Juni tahun lalu, ada dua kasus kematian dikaitkan dengan wabah campak terjadi di Italia.
Salah satu korban meninggal akibat campak di Negeri Menara Pisa ini masih berusia 6 tahun. Wabah yang sama juga ditemui di Jerman, Portugal dan lainnya.
Dikutip dari Independent, data Badan Kesehatan Dunia menyebutkan pada awal Februari tahun lalu terjadi kenaikan tajam kasus campak. Sedikitnya ada 559 kasus di Eropa yang dilaporkan.
Untuk kasus campak di Italia, pejabat kesehatan negeri ini menyalahkan gencarnya kelompok antivaksin yang disebut Five Star Movement (M5S). Kelompok ini gencar mengampanyekan antivaksin dengan alasan vaksin akan berdampak pada autisme.
Data Kementerian Kesehatan Italia menunjukkan lebih dari 700 kasus campak telah dicatat per Maret 2017, angka itu naik dari 220 kasus sampai Maret 2016 atau seluruhnya ada 844 kasus campak sepanjang 2016.
Tren melonjaknya wabah campak di satu sisi diikuti dengan anjloknya vaksin kepada anak dua tahun. Data menunjukkan, proporsi anak dua tahun yang diberi vaksi pada 2013 mencapai 88 persen, kemudian menurun menjadi 86 persen (2016), 85,3 persen (2015). Persentase itu masih dibawah ambang batas aman yang disarankan WHO, yakni 95 persen.
Vaksinasi bayi dibawah lima tahun. (REUTERS/Janine Costa)
Penurunan vaksin pada anak ini dituding berkat suksesnya kampanye kelompok M5S. Kelompok ini mengambil seperempat suara dalam Pemilu Italia pada 2013.
Meraih dukungan publik, M5S makin berani. Pada 2015, mereka mengajukan rancangan undang-undang yang melawan vaksin. M5S mengakitkan vaksin dengan penyakit khusus misalnya leukimia, keracunan, peradangan, mutasi genetik yang diwariskan, kanker, alergi, autisme dan immunodepression.
Menariknya daerah yang menjadi kantung wabah campak di Italia merupakan daerah konstituen M5S. Sebagian besar, wabah campak terkonsentasi di area kaya di Piedmont, Lazio, Tuscany dan Lombardy.
Beberapa dokter di daerah kaya ini secara aktif mendorong orangtua untuk tidak menyuntikkan vaksin kepada buah hatinya. Turin di Piedmont dan Lazio merupakan daerah lumbung suara M5S dalam pemilihan wali kota dari M5S pada Juni lalu.
Para orangtua di Italia yang tidak memberi vaksin MMR pada anak mereka, blak-blakan melakukannya karena mendapat pengaruh dari kelompok antivaksin. M5S selalu mendengungkan campak adalah hal yang normal dan penangannnya mereka berdalih tak harus dengan suntikan vaksin.
Orangtua lainnya yang menolak vaksin yakin betul kaitan vaksin bisa menyebabkan autisme. Keyakinan itu makin menguat setelah ada sebuah kasus di pengadilan yang memutus seorang menyandang autisme lantaran karena vaksin.
Ibu dari anak kembar 16 tahun korban campak, Elettra De Marches mengaku memang menghindari vaksin. "Kedua anak saya menderita campak. Tapi ini penyakit yang bisa ditangani. Tak perlu suntikan, ini hanya tujuan komersial saja," ujarnya dikutip dari The Guardian.
Jelas saja, mewabahnya campak dan keyakinan soal dampak pada autisme membuat Menteri Kesehatan Italia, Beatrice Lorenzin angkat suara tegas. Menurutnya cara mengakhiri dan menekan wabah campak hanyalah dengan vaksin, tidak ada cara lain.
"Satu-satunya senjata yang kita hadapi untuk penyakit serius seperti campak adalah vaksinasi. Cukup dengan informasi palsu. Tak ada korelasi antara vaksin dan autisme," tegas sang menteri.
Merespons Lorenzin, kubu antivaksin meminta pemerintah harus jujur dan transparan dengan munculnya wabah campak itu, bukan melempar bola panas ke kubu antivaksin. Petinggi M5S di wilayah Umbria, Andrea Liberati menuturkan, peningkatan kasus campak secara nasional merupakan informasi yang membingungkan.
Liberati berdalih kelompoknya tidak sepenuhnya antivaksin. Mereka hanya meminta pemerintah transparan memberikan informasi.
"Orangtua sangat bingung dengan informasi yang kontradiktif. Jelas ada unsur komersial untuk ini (vaksin) dan kebutuhan perusahaan farmasi besar dalam menghasilkan uang," jelasnya.
Petinggi kelompok M5S yang lain, Laura Ferrara membantah kubunya melarang orangtua memvaksin anaknya. Ferrara menekankan mereka hanya mendesak orangtua selektif dan waspada dengan vaksin yang akan diberikan ke buah hati mereka.
Menyadari adanya ketakutan tak berdasar atas dampak vaksin, pemerintah Italia mengambil strategi baru. Pemerintah memberi informasi dan edukasi tentang pentingnya vaksin dengan fokus media sosial.
Director General for Preventive Health Kementerian Kesehatan Italia, Ranieri Guerra mengakui strategi baru itu ditempuh, lantaran komunikasi konvensional tak berjalan optimal.
"Saluran komunikasi kelembagaan yang biasa tak berjalan. Nilai imunisasi perlu dikomunikasikan dalam bahasa yang mudah dipahami orangtua yang lebih muda. Sebab di situlah banyak keraguan terbesar saat ini," ujarnya dikutip The Guardian.
Guerra menuturkan, melalui media sosial pemerintah akan menyediakan informasi yang sesuai dengan kebutuhan dan pilihan yang tepat untuk diakses orangtua. Cara ini menurutnya lebih baik, agar mereka tidak mengakses informasi sampah yang terpublikasi di internet.
Selain itu, Italia juga mencari cara untuk mengadili para dokter yang aktif mengampanyekan orang tua agar menolak vaksin. Dalam kacamata pemerintah, dokter nakal itu sudah termasuk pidana. "Itu tak bisa diterima dan ini nyaris menjadi sebuah kejahatan," kata Guerra.
Cara lainnya, anak yang tidak divaksin dilarang untuk datang ke sekolah, sebab akan berpotensi menularkan penyakit jika memang terkena campak. Pemerintah juga mewajibkan syarat bukti vaksin saat orangtua mendaftarkan anak mereka ke PAUD.
Cara Prancis
Membuka tahun 2017, Perancis khawatir dengan munculnya wabah campak. Dalam dua bulan pertama 2017, dilaporkan ada 79 kasus campak di Negeri Mode tersebut.
Menurut European Centre for Disease Prevention and Control, dikutip dari Independent, wabah campak masuk ke Perancis karena adanya 50 kasus campak di wilayah timur laut Lorraine.
Riwayat wabah campak di Perancis sudah melanda beberapa tahun sebelumnya. Data pejabat Perancis menunjukkan, antara awal 2008 sampai akhir 2016, lebih dari 24 ribu kasus campak terjadi di negeri tersebut. Dari 24 ribu kasus itu, sekitar 1.500 kasus punya komplikasi serius dan 10 korban meninggal.
Menara Eiffel dan pemandangan kota Paris, Perancis. (REUTERS/Charles Platiau)
Melihat wabah mematikan yang pecah pada 2017, Perdana Menteri Perancis, Edouard Phillippe pun murka. Dia tak terima anak-anak Perancis menderita campak dan menginginkan penyakit itu musnah dari negerinya. Maka Phillippe mewajibkan agar semua orangtua di Perancis wajib untuk memvaksin buah hati mereka pada 2018.
Selama ini, anak di Perancis wajib disuntik tiga vaksin yaitu difteri, tetanus dan polio. Vaksin lainnya yaitu hepatitis dan batuk rejan (pertusis), hanya bersifat rekomendasi.
Dalam pengumuman kewajiban vaksin terhadap anak, Phillippe mengatakan, 11 vaksin yang direkomendasikan oleh otoritas kesehatan, wajib disuntikkan ke anak di Perancis.
Terkait dengan mewabahnya campak di Eropa, WHO menuding gerakan antivaksin sebagai biangnya. Kelompok ini mendorong penurunan imunisasi untuk melawan campak di berbagai negeri Eropa.
Dalam sebuah survei, dikutip dari Independent, tiga dari 10 orang Perancis tidak mempercayai vaksin. Sementara hanya 52 persen responden dalam survei itu mengatakan manfaat vaksin lebih baik dibanding risiko vaksin.
No Jab No Pay
Wabah campak yang melanda Jerman juga membuat negeri ini mengubah perundang-undangan. Laporan European Center for Disease Prevention and Control yang dikutip CNN menunjukkan, dari awal tahun sampai Mei 2017, setidaknya ada 634 kasus campak melanda negeri ini. Jumlah kasus itu melonjak tinggi dari periode yang sama tahun sebelumnnya, hanya 62 kasus.
Dengan munculnya wabah itu, pemerintah Jerman memutuskan mengganti undang-undang lama yang tak mendukung vaksinasi. Undang-Undang baru mewajibkan orangtua menunjukkan bukti telah menghadiri konseling vaksinasi sebelum mendaftarkan anak mereka di TK.
Berlaku mulai Juli 2017, undang-undang itu menandai perubahan aturan lama yang berlaku tiga tahun terakhir. Undang-undang lama tidak mewajibkan sekolah untuk melaporkan orangtua yang belum diberi konseling oleh dokter mereka.
Pemandangan kota Sidney, Australia. (Flickr/Gabriel Ribeiro)
Lain halnya di Australia. Pemerintah Negeri Kanguru ini menerapkan kebijakan 'No Jab No Pay' atau 'tidak ada vaksin maka tak dapat insentif'.
Kebijakan tersebut tentu ada konsekuensinya. Menurut Wakil Presiden Australian Medical Association, Tony Bartone mengatakan, jika orangtua secara berkala memperbaharui vaksin anak mereka sesuai arahan pemerintah, maka orangtua akan mendapatkan insentif berupa tambahan potongan pajak keluarga. Sebaliknya, jika orangtua tak menaati ketentuan vaksin anak mereka, konsekuensi tidak mendapatkan insentif pajak.
Dampak dari kebijakan 'No Jab No Pay' terbilang efektif. Departemen Pelayanan Sosial Australia menuturkan, sejak kebijakan ini aktif pada Januari 2016, lebih dari 210 ribu keluarga telah mengambil tindakan vaksin dan memastikan mereka memenuhi persyaratan imunisasi.
Selain itu, Bartone mengatakan, Australia juga mengamanatkan pusat penitipan anak dan fasilitas prasekolah hanya menerima anak-anak dengan imunisasi terbaru. Cara lainnya, Negeri Kanguru ini memberi insentif kepada dokter serta perawat yang giat memberi vaksin kepada anak.
Meski terbilang sukses, Bartone mengakui masih saja ada orangtua yang antivaksin. Proporsinya kecil, sekitar 1-2 persen. Mereka menolak vaksin karena mendapatkan informasi dari situs web serta dipengaruhi oleh kelompok aktif antivaksin. (umi)