SOROT 477

Horor Tak Pernah Mati

Ilustrasi film horor
Sumber :
  • REUTERS/Mario Anzuoni

VIVA – Matanya membelalak penuh celak. Gaunnya putih menjuntai, seperti rambut panjangnya yang terurai. "Bang, sate! 200 tusuk, makan di sini," katanya ketika menghampiri pedagang sate suatu malam. Dua pria yang menjaga kedai itu saling melempar pandang.

Makin melotot ketika wanita berwajah pucat itu melahap semua sate mentah tanpa tersisa. Dia bahkan menenggak kuah soto mendidih langsung dari panci jumbo yang asapnya masih mengepul.

Kaget bukan kepalang mereka ketika nampak punggung si wanita bolong, penuh belatung. Wanita itu lalu tertawa cekikan. Dia ternyata sundel bolong. Tukang sate pun lari tunggang langgang.

Potongan adegan dari film Sundel Bolong produksi tahun 1981 ini begitu terkenal. Dan, bagi para pemirsa, adegan itu jadi salah satu ikon film horor khas Indonesia.

Pemeran utamanya siapa lagi kalau bukan mendiang Suzzanna, aktris yang berjuluk “Ratu Horor Indonesia”. Bernama lengkap Suzzanna Martha Frederika van Osch (Lahir: 13 Oktober 1942 – Wafat: 15 Oktober 2008), dia dikenal dengan deretan film horor yang melegenda.

Beranak dalam Kubur (1971), Sundel Bolong (1981), Nyi Blorong (1982), Telaga Angker (1984), Bangunnya Nyi Roro Kidul (1985), Malam Satu Suro (1988) merupakan beberapa film fenomenalnya.

Penulis artikel ini pun masih duduk di bangku SD kala film-film Suzzanna diputar di layar kaca. Kala itu, di era 90-an, konon katanya film horor, film nasional secara keseluruhan, sedang dianaktirikan. Gempuran film Hollywood tak terelakkan.

Horor Indonesia di era 2000-an lebih sering mempertontonkan seks dan tubuh perempuan. Karenanya, masa remaja saya lebih mengenal sinema franchise seram dari Hollywood, Jepang, dan Thailand. Beberapa di antaranya Saw, Ju-On, dan 4bia. Kala itu, film horor dari Asia, terutama negeri sakura dan gajah putih, memang sedang berjaya.

Pengabdi Setan

Salah satu agedan dalam film Pengabdi Setan. (Instagram.com/pengabdisetanofficial)

Film horor Indonesia kembali bergaung saat Danur sukses merajai box office setahun belakangan. Makin heboh, ketika Pengabdi Setan muncul dan disebut-sebut membuat standar baru film horor Indonesia. [Baca juga: Teror Sadako hingga Valak]

Data yang dikutip dari filmindonesia.or.id, Pengabdi Setan bahkan duduk di puncak box office film Indonesia dengan jumlah penonton terbanyak 2017. Dia sukses menutup layar dengan 4.206.103 penonton dan menggeser Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss Part 2 yang ada di tahta itu sebelumnya.

Bukan cuma sukses dari finansial, film ini juga borong nominasi di Festival Film Indonesia (FFI) 2017, yang jadi simbol supremasi dunia perfilman Tanah Air. Film yang disutradarai Joko Anwar ini berhasil borong 7 piala dari total 13 nominasi yang diraihnya dalam 22 kategori secara menyeluruh. [Lihat Infografik: Film Horor Terlaris Sepanjang Masa]

Sudah bisa ditebak, film-film horor lain mengekor. Masih dari situs filmindonesia, Jumat, 1 Desember 2017, 4 film horor sedang tayang hari ini. Mereka adalah After School Horror 2, Gasing Tengkorak, Keluarga Tak Kasat Mata, dan Mata Batin. 

Horor memang selalu dapat tempat, meski tak jarang dihujat. Seperti apa film horor dunia dan Indonesia dari dulu hingga sekarang? Mari kita bahas.

Hantu Dahulu dan yang Sekarang

Film horor sudah ada sejak era perfilman dimulai. Film bergenre ini pertama kali lahir dari tangan seorang sutradara Prancis bernama Georges Melies yang berjudul The Devil's Castle pada tahun 1896. Dikutip dari buku Sinema dalam Sejarah: Horor karya Mark Wilshin (Kepustakaan Populer Gramedia, 2010), era film bisu banyak melakukan beragam eksperimen untuk menakut-nakuti penonton.

"Antara lain dengan vampir, iblis, dan dokter-dokter gila. Namun, dalam perfilman setelah Perang Dunia I, adalah gambar orang-orang aneh dan bertubuh ganjil yang paling mengerikan," tulis Wilshin.

Dia menggambarkan, film horor pada awal kemunculannya banyak terpengaruh ekspresionisme Jerman di mana menggambarkan alam pikiran orang gila. Jalanan dan rumah-rumah miring, pencahayaan seram, dan rias wajah menor jadi khas untuk memenuhi adegan misteri dan horor.

Ketika era film bisu mulai tergantikan dengan film bersuara, Universal memegang sejarahnya. Studio inilah yang menghasilkan tokoh-tokoh horor ikonik bertema gotik sepanjang masa. Ada Dracula (1931), Frankenstein (1931), The Mummy (1932), dan lain sebagainya.

Saking melegenda, film-film tersebut kerap dibuat ulang seiring dengan perkembangan teknologi perfilman. Universal bahkan merilis Dark Universe, khusus untuk film-film bertema horor dan monsternya pada Mei lalu. The Mummy yang dibintangi Tom Cruise jadi film pembuka dari Dark Universe ini. Beberapa proyek yang sedang direncanakan adalah membangkitkan lagi Bride of Frankenstein dan The Invisible Man, dilansir dari darkuniverse.com.

Yang terjadi selanjutnya, film horor klasik terus menampilkan wujud-wujud dari vampir, monster, mumi, hingga zombi. Pada era 1950-an, film horor dunia masuk dalam tren adegan telanjang dan darah. Terpengaruh dengan tema thiller psikologis, maka film-film slasher mulai marak pada era 1980-an. Film-film ini banyak menampilkan kekejaman dengan benda-benda tajam.

Di Indonesia, kemunculan genre horor dalam dunia perfilman ditandai oleh Tengkorak Hidoep (1941) karya Tan Tjoei Hock dan Lisa pada (1971). Keduanya kerap dianggap sebagai pionir film horor Tanah Air. Setelah itu, film horor tumbuh subur, ada Beranak dalam Kubur (1971), Pemburu Mayat (1972), Ratu Ular (1972), Cincin Berdarah (1973), Si Comel (1973), Si Manis Jembatan Ancol (1973), dan daftar panjang lainnya.

"Ciri-ciri film horor di tahun 70-an, tema film berkisah seputar setan dalam wujudnya yang dapat terlihat, persis sekali mitos-mitos soal setan yang dipercaya masyarakat mewujud dalam film. Dengan ditambah bumbu-bumbu sadisme, seks, dan komedi, hampir seluruhnya menampilkan kisah-kisah demonic horror yang bercampur dengan okultisme (kepercayaan pada hal-hal supranatural), sadisme, seks, dan komedi," kata Shandy Gasiela, pengamat film kepada VIVA, Rabu, 29 November 2017.

Tahun 1980-an dianggap sebagai tahun emas bagi genre horor di Indonesia. Namun semata-mata karena di tahun itu banyak sineas dan pemain film horor mendapat pengakuan lewat Festival Film Indonesia.

"Rina Hasyim dalam 'Genderuwo' (1981) misalnya masuk unggulan FFI 1981 untuk Pemeran Pendukung Wanita Terbaik, Suzzana dalam 'Ratu Ilmu Hitam' (1981) bahkan diperhitungkan sebagai unggulan Pemeran Utama Wanita Terbaik FFI 1981, WD Mochtar lewat film yang sama juga masuk unggulan Pemeran Pendukung Pria Terbaik," tambah Shandy.

Sorot Film Horor Bioskop

Pengunjung melakukan swafoto di depan rumah tua yang merupakan lokasi syuting Film Pengabdi Setan di Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. (ANTARA FOTO/Novrian Arbi)

Secara garis besar, film-film horor dahulu memang lebih suka mengangkat makhluk-makhluk seram klasik yang dipadu dengan budaya dan mitos lokal setempat. Memasuki era modern, film-film horor pun mengangkat tema yang lebih kontemporer. Dari makalah Film Horor Indonesia: Dinamika Genre, oleh Suma Riella Rusdiarti, tema urband legend atau legenda kota mulai marak di tahun 2000-an yang melahirkan film-film seperti Jelangkung, Rumah Pondok Indah, Hantu Jeruk Purut, Hantu Bangku Kosong, dan lain sebagainya. Jenis film ini juga dicampur dengan tema remaja.

Lantas bagaimana dengan sekarang? Setelah film-film (seks) hantu berkeliaran dan akhirnya benar-benar ditinggalkan penonton, horor kembali menunjukkan kekuatannya setahun belakangan. Lewat Danur yang diangkat dari novel Gerbang Dialog Danur oleh Risa Sarawati, ada angin segar untuk genre ini merebut penonton lagi.

Film-film horor legendaris pun didaur ulang, dibuat lebih kekinian dan segala macam polesannya. Tapi tentu saja, Pengabdi Setan (2017) yang benar-benar merontokkan stigma negatif terkait film horor 'seks' di masa lampau. Trennya, memang masih seputar hantu, mitos, dan budaya lokal. Lebih klasik, namun ditunjang dengan teknologi modern, dan paling penting punya jalan cerita dan karakter yang benar-benar kuat.

Sunil Samtani, Produser Film Pengabdi Setan menjelaskan, tren film horor sebenarnya memang tak pernah lepas dari penonton. Namun jika berbicara masa kini, penonton Indonesia lebih ingin melihat sesuatu yang punya kualitas bagus, karena terbiasa menonton film Hollywood.

"Mereka lihat Conjuring, Insidious, ini horor yang quality luar biasa nah otomatis dari situ juga mereka mengharapkan film Indonesia suatu hari bisa, mungkin minimal mirip-mirip lah gitu. Mereka butuh film horor yang quality bagus, cerita bagus, akting bagus, semua bagus," katanya kepada VIVA.

Dongkrak Kualitas Film

"Saya rasa dari dulu horor enggak pernah mati. Fans horor selalu strong sekali," ujar Produser Rapi Films menanggapi tren film seram tersebut.

Seperti kata Sunil, horor memang salah satu genre yang diburu penonton bioskop. Bukan cuma di Indonesia, tapi juga dunia. Berdasarkan data the-numbers.com yang kami kutip, Jumat, 1 Desember 2017, horor adalah genre keenam terpopuler dari 14 jenis film lainnya sejak tahun 1995 hingga 2017.

Genre horor meraup total box office US$9,9 miliar dan 1,5 miliar lebih penjualan tiketnya. Jumlah ini bahkan berada di atas genre film komedi romantis. Namun, masih dua kali lipat di bawah film berjenis thriller atau suspense.

Berdasarkan tahunnya, 2017 rupanya adalah yang tertinggi karena share film horor dunia mencapai 10,19 persen, sementara tahun-tahun sebelumnya rata-rata 4-5 persen saja. Terima kasih pada master horor, Stephen King, karena It benar-benar jadi film horor terlaris sepanjang masa. Film ini begitu tangguh di box office, bahkan untuk digeser franchise blockbuster yang punya basis fans besar sekali pun.

Kondisi di Indonesia pun tak jauh berbeda. Catherine Keng, Corporate Secretary Cinema 21, mengatakan, horor adalah salah satu dari tiga genre terpopuler di Indonesia.

"Untuk film Indonesia, komedi, horor, drama," katanya saat dihubungi melalui panggilan suara.

Tahun ini, Pengabdi Setan jadi standar baru film horor Tanah Air. Seperti yang sudah saya jelaskan di atas, film ini kini yang tertinggi jumlah penontonnya di Indonesia selama tahun 2017. Bukan hanya laris manis diserbu penonton, Pengabdi Setan disebut punya kualitas yang akhirnya, setidaknya, dianggap layak disebut film horor bagus.

Film Art Tak Dapat Jatah Tayang Lebih Lama, Melly Goeslaw Protes

"Secara keseluruhan, hingga saat ini sejak film horor kembali menggeliat pada 2000-an awal, tidak ada peningkatan yang berarti dalam menaikkan mutu cerita, atau pun production value yang memadai yang membuat film horor betul-betul ditangani dengan serius. Sejak 2000 awal dari kemunculan Jelangkang, baru Pengabdi Setan lah yang memenuhi ekspektasi saya bahwa beginilah film horor semestinya dibuat," kata pengamat film, Shandy Gasiela.

Joko Anwar

Ratu Felisha hingga Hana Malasan Bintangi Film Horor Sorop, Diadaptasi dari Thread X karya Simpleman

Sutradara Pengabdi Setan, Joko Anwar saat ditemui VIVA di Jakarta. (VIVA/M Ali Wafa)

Sutradara Pengabdi Setan, Joko Anwar, mengatakan, film horor, komedi, atau apa pun jenisnya, punya formula yang sama untuk menjadikannya film berkualitas. Untuk menyampaikan kisahnya, maka film harus punya teknis dan estetika yang tinggi.

Pendalaman Karakter Psikiater, Shaarefa Daanish Lakukan Riset di RSJ

"Jadi filmmaker harus punya teknis, paling enggak teknis standarnya bercerita dalam film seperti apa. Itu meliputi teknis penyutradaraan, sinematografi, editing, dan segala macem yang bisa dipelajari di pendidikan," ujar Joko Anwar kepada VIVA.

Sementara untuk estetika, menurutnya adalah gabungan dari semua yang filmmaker alami di hidupnya, apakah dia membuat dirinya terpapar ke hidup ini atau tidak.

"Jadi dari kita kecil, musik yang kita dengar, film yang kita tonton, keluarga, seni yang kita nikmatin itu akan membentuk estetika kita," tambahnya.

Anggaran Ideal

Film dengan bujet tinggi memang bukan patokan untuk membuat film berkualitas. Namun tak dimungkiri, untuk membuat sebuah film dengan teknik yang apik bukan perkara murah.

Bukan apple to apple untuk membandingkan kualitas film horor Indonesia dengan Hollywood. Namun, jika ingin sekadar berkaca, industri tersebut memang punya sumber daya melimpah, baik manusia maupun dananya, untuk bisa memproduksi film-film horor yang keren.

Pengamat film Shandy menyebut, Rp4 miliar sampai Rp10 miliar adalah bujet paling ideal untuk memproduksi sebuah film horor Indonesia yang bagus. Produser Sunil pun mengakui, jika Pengabdi Setan dibuat dengan bujet di atas Rp5 miliar.

"Andai kata sutradara Joko Anwar, misalnya, diberikan bujet yang sama dengan bujet pembuatan film The Conjuring (film horor Hollywood berada di kisaran US$10 juta - US$25 juta), saya percaya ia bakal bisa membuat sebuah film yang jauh lebih bagus ketimbang The Conjuring dan akan terlihat jauh lebih mahal," kata Shandy optimis dengan kemampuan sutradara Indonesia.

 

Sorot Film Horor Bioskop

Seorang operator film sedang mengoperasikan pemutaran film di Bogor. (REUTERS/Beawiharta)

Sementara yang terjadi, industri perfilman Indonesia lebih sering latah dengan harapan bisa mengekor kesuksesan serupa. Kontennya jadi kurang maksimal, sebab, terkesan dibuat asal jadi. Meski memang, alasan kecenderungan tren di kalangan penonton tak bisa juga diabaikan.

"Iya arahnya memang ke sana (selera penonton), tapi beberapa case yang kurang beruntung plotnya saya pelajari. Di sini kita kemas lagi gimana sih kira-kira yang bisa bikin profit, dengan konten yang kayak gimana," kata Ody Mulya, Produser film Keluarga Tak Kasat Mata.

Tugas bagi para sineas untuk terus menelurkan film-film horor berkualitas agar tak dianggap sebelah mata lagi. Horor pernah terpuruk karena mengeksploitasi tubuh wanita dan seks dengan dalih seni hingga penonton tinggal pergi. Jangan sampai itu terjadi lagi, karena gairah perfilman Indonesia, dalam genre apa pun, kini sedang tinggi.

Film horor akan selalu mendapat tempat jika produksi dan mutunya jelas kuat. Horor juga tak pernah mati, tapi jangan juga dibuat asal jadi. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya